"Lah, Yog, kok udah mau balik aja sih lo?"
Yoga nyengir menanggapi protes Faisal, menyampirkan tasnya ke bahunya. Hari itu Yoga menghadiri opening café Faisal, teman satu kelompoknya ketika orientasi kehidupan kampus, saat mereka masih mahasiswa baru. Sejak masih di kelompok OKK, Faisal adalah satu-satunya mahasiswa baru yang Yoga langsung kenal baik wajahnya dan namanya, bukan karena apa-apa, tapi karena Faisal ketua kelompok.
Faisal pun begitu. Kalau ada sesuatu dalam kelompok, pasti ia meminta Yoga untuk membantunya. Bukan karena apa-apa, tapi karena menurut Faisal, Yoga yang lumayan bisa diandalkan. Alasannya pertama kali cukup sepele,
"Soalnya di antara yang lain, muka lo yang paling meyakinkan, Yog."
Meyakinkan apanya juga Yoga masih bingung hingga detik ini. Tapi ya sudahlah. Sudah berlalu.
Karena dasar senasib sepenanggungan mengurusi kelompok OKK yang anggotanya banyak dan suka mental kesana kemari ketika diajak kumpul, hingga OKK selesai Faisal dan Yoga masih sering bertemu apalagi Faisal orangnya banyak acara dan dia sering mengajak Yoga untuk berpartisipasi. Lumayan juga, soalnya sering dapat insentif. Yha.
Pembangunan café ini pun salah satunya. Yoga menyaksikan sendiri jatuh bangun Faisal dari optimis, pesimis, optimis lagi, pesimis lagi, begitu terus. Sebagai teman yang suportif, Yoga berusaha membantu dengan melakukan apa saja yang bisa ia lakukan, termasuk membantu mendesain café, walaupun Yoga sendiri masih amatiran dan masih dibikin pusing dengan portofolio untuk tugas akhirnya.
Kalau sedang begini, Yoga kagum sekaligus agak iri dengan Faisal dan merasa malu dengan dirinya sendiri. Mereka seumuran tapi Faisal seperti sudah melangkah jauh mendahului Yoga. Café ini bukan usaha pertama Faisal. Mobil Faisal di depan ia cicil dengan hasil kerja kerasnya sendiri. Setiap bulan ia mengirim uang untuk orang tuanya di Bandung.
Sedangkan Yoga? Walaupun hasil dari proyek-proyek sudah bisa memenuhi kebutuhannya sehari-hari tanpa harus meminta lagi, tapi Yoga sendiri belum bisa memberikan apa-apa. Uang kosnya pun masih ditanggung kedua orangtuanya.
Yoga menghela napas. "Iya, gue mesti lanjutin portofolio. Selamat sekali lagi ya, Sal, semoga lancar, pelanggannya mengalir kayak air terjun." ujar Yoga, mencoba melucu walau jayus.
Faisal tertawa.
"Aaminn, thanks banget coy udah bantuin dari ni café cuma ide doang ampe jadi beneran. Oh iya ngomong-ngomong," Faisal berdiri, merangkul Yoga sambil cengar cengir. "Apresiasinya kayak biasa ya?"
Yoga ikutan nyengir, menepuk punggung Faisal. "Yoi. Santai aja Sal, take your time. Pengeluaran lo lagi gede-gedean juga."
"Mantap. Jangan lupa kapan-kapan ajak Sarah ke sini, Yog."
Yoga mengangguk. "Pasti lah. Tadi dia mau ikut dateng padahal, tapi hari ini dia ngajar."
"Santuy. Bilangin di sini milkshake oreo-nya enak banget, lidah dia kan lidah anak SD." Faisal masih promosi, sekalian ngeledek.
"Heh, gue juga suka milkshake oreo."
"Itu mah karena lo bucin."
Yoga tertawa lagi, sebelum betul-betul pamit dan berjalan keluar café. Letak café itu berdekatan dengan kosannya, ditempuh dengan berjalan kaki pun masih bisa dijangkau. Lagipula, motornya sedang dirawat di bengkel karena businya rusak alhasil selama seminggu ini, ia mengandalkan Yuda sebagai tebengannya, atau jalan kaki dan naik bis kampus.
Untungnya dari kosannya sampai ke fakultas teknik masih dapat ditempuh dengan berjalan. Ke FIB pun masih dekat, tinggal menyeberangi jembatan. Sarah yang excited sendiri karena dia adalah pegiat jalan kaki dan bis kampus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sewaktu
Teen FictionSewaktu aku, sewaktu kamu, sewaktu kita, dan waktu-waktu lainnya--yang semoga tidak habis-habis, untuk waktu yang lama sekali.