5. Sewaktu Berada di Tempat yang Tidak Aman

163 20 35
                                    

"Ayolah, Ga, sekali doang ini. Kan buat kelancaran proyek juga," suara Adhi membujuk Yoga terdengar memelas, seakan-akan kalau Yoga menolak sekali lagi, dunianya bakal hancur lebur tak bersisa.

Dasar, Adhi dan kemampuan membujuknya yang adiluhung. Cara dia berbicara, gesturnya, ekspresinya dalam membujuk bisa bikin kamu merasa memang kamu satu-satunya orang di dunia ini yang berarti untuknya dan cuma kamu yang bisa menyelamatkan hidupnya. Kedengarannya memang berlebihan sekali, tapi itulah Adhi. Makanya, dia hampir tidak pernah menerima penolakan. Kemampuannya betul-betul mengerikan sekali kalau dipikir-pikir.

Yoga menghela napas. Entah sudah keberapa kalinya Adhi membujuknya untuk ikut bertemu dan hang out dengan klien proyekan kali ini. Sebetulnya Yoga malas betul, apalagi Yoga merasa klien mereka kali ini tidak memiliki prinsip dan visi yang sama dengan Yoga—walaupun memang prinsip dan visi yang dimaksud di sini lebih ke arah personal.

Jadi kalau bukan berhubungan dengan kerjaan, Yoga merasa tidak perlu kontak lama-lama dengan mereka. Ketika Adhi mengajaknya dalam proyekan kali ini pun, kalau bukan karena memang Yoga sedang butuh sekali pekerjaan ini mengingat ia sedang proses skripsi, mungkin Yoga akan menolak untuk turut berpartisipasi. Adhi-lah yang lebih sering berkomunikasi dengan mereka. Udah kayak sohib banget pokoknya.

"Tempatnya malesin banget, Dhi." ujar Yoga akhirnya.

"Yaelah Ga, club tuh nggak semaksiat yang keliatan di sinetron-sinetron hidayah. Di sini tuh lo bisa ngelepas stress, ketemu orang macem-macem, kenalan, memperluas koneksi! Penting tuh bro."

Kayaknya Adhi mesti mempertimbangkan meniti karir jadi PR, deh.

Yoga menghela napas lagi. Masalahnya, club memang bukan tempat di mana Yoga akan dengan sukarela menghabiskan waktunya. Ia pernah ke club beberapa kali, sekali ketika semester dua kuliah dan sekali ketika semester empat kuliah. Pertama kali karena penasaran dan diajak teman, pake izin pula ke ibunya. Agak sedikit heran juga ia ketika ibunya mengizinkan, dengan nasihat yang penting ia berhati-hati. Kedua kali masih diajak teman juga, ketika acara angkatan ke Bali.

Sepulangnya dari dua kunjungan tersebut, ia selalu merasa sangat lelah dan yang ada di pikiran Yoga selalu sama; anjir, gue ngapain sih? Karena itu Yoga memutuskan bahwa mungkin tempat-tempat seperti itu memang tidak cocok untuknya.

"So? Udah ikut aja ya, Ga. Lo boleh balik duluan dah, yang penting setor muka aje! Jadi gak kemaleman banget nyampe kosan. Oke?"

Yoga mendengus. Acaranya jam 11 malam, biar dia balik duluan juga paling banter tengah malem.

"Iya gak kemaleman, tapi kepagian. Lewat dari jam dua belas malem tuh udah pagi."

Adhi terkekeh menyebalkan. "Ya nggak apa-apa lah, kan lo juga suka balik dari studio jam segitu."

Enak betul si kunyuk ini ngomong.

"Ga, lo tau kan proyek gede kayak gini kita mesti jalin hubungan yang baik. Si bemper mobil itu suka baperan orangnya, gue tau banget. Sekitaran dia juga sama aje. Makanya gue maksa lo banget gini biar nemenin gue, at least ada satu orang waras gitu, gue sadar kok gue nggak waras-waras banget. Kalo doi seneng terus proyek kita lancar kan jadi bisa cepet-cepet selesai, terus kita juga bisa jadi cepet-cepet lepas. Plis?"

Nah, kalau sudah begini ini lah pertahanan Yoga biasanya akan goyah. Selain dia juga dari awal sudah setuju untuk turut serta, dengan syarat Adhi yang lebih banyak menghandle urusan dengan orang-orang tersebut dan dia hanya teknisnya saja, dia juga jadi agak tidak tega melihat Adhi. It must be a lot, to deal with different kind of people while trying not to lose yourself.

Menggaruk belakang lehernya yang tidak gatal, Yoga akhirnya mengangguk kecil.

"Ya udah, gue ikut. Tapi beneran nggak lama-lama, ya."

SewaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang