Dulu waktu Sarah pertama kali membaca Laskar Pelangi, banyak sekali bagian dari buku itu yang masih membekas di hatinya dan ia ingat sampai sekarang. Salah satunya waktu Ikal berdoa supaya dia bisa jadi atlet bulutangkis. Atau, penulis. Atau, jadi penulis yang menulis tentang bulutangkis. Atau jadi apa saja, asalkan jangan jadi tukang pos karena tukang pos harus bangun pagi-pagi sekali, suka dikejar anjing pula.
Dan akhirnya, dia malah betulan jadi tukang pos. Dunia memang lucu.
Waktu Sarah SMA, setiap ikut kepanitiaan maupun organisasi, ia selalu komat-kamit berdoa agar tidak ditunjuk menjadi sekretaris. Namun memang manusia kalau meminta mesti hati-hati, ya. Soalnya, semesta suka bercanda, sepanjang sejarah Sarah ikut organisasi dan kepanitiaan dari SMA sampe kuliah, ia jadi sekretaris melulu.
"Loh, kok belom ditandatanganin, Pak?" tanya Sarah, menatap proposal di tangannya yang cuma dihadiahi post-it dengan tulisan yang tipis dan panjang-panjang, yang adalah (menurut Sarah) tipe tulisan orang-orang berinteligensi tinggi.
Bapak-bapak utusan Pak Danang, dekan FIB si pemilik tulisan tipis nan panjang, hanya berkata lempeng,
"Kalo dikasih pesan kayak gitu, mending kamu temuin Pak Danang langsung aja."
Satu-satunya yang bisa dilakukan Sarah hanyalah memasang tampang pasrah. "Yaudah deh, makasih ya Pak."
Sarah menyipitkan mata membaca tulisan di post-it itu sambil tangannya yang satu lagi menekan-nekan layar ponsel, ingin menghubungi Oka, project officer festival jurusan yang kalau Sarah boleh jujur dan sedikit jahat, orangnya lelet, nggak konsisten, dan late respon. Suka dadakan pula.
Bayangkan, jam sembilan malam Sarah disuruh membuat surat untuk besoknya. Ini orang ngerti birokrasi nggak sih. Mungkin dia kira ngurus surat segampang metik daon.
Isi post-it itu cuma kalimat pendek yang intinya menanyakan apakah pihak panitia sudah koordinasi dengan panitia dies natalis fakultas atau belum. Menurut post-it tersebut, karena festival jurusan akan diadakan di bulan yang sama dengan dies natalis fakultas, lebih baik dijadikan bagian dari rangkaian dies natalis saja.
Asdfghjklmnkdnksf. Apaan lagi sih nih. Sarah menggerutu dalam hati.
Diteleponnya Oka berkali-kali. Seperti yang sudah diduga, telepon Sarah tidak diangkat-angkat. Lama-lama Sarah emosi juga. Dengan geram dibukanya aplikasi LINE untuk mengirim berpuluh-puluh chat untuk Oka.
Masalahnya, Sarah kesal karena acara sudah sebentar lagi tapi banyak sekali yang belum diurus sementara orang-orang kenapa lelet banget dan santai-santai saja. Apalagi namanya persuratan dan segala macam izin kegiatan mana ada semalam jadi. Bahkan Sarah sudah memminta list dari tiap divisi mengenai surat apa saja yang mereka butuhkan sudah dari entah kapan dan masih ada saja yang belum mengirimkan.
Setelah memborbardir Oka melalui chat, Sarah mengecek chat-chat lainnya.
"Sar, surat izin kegiatan buat publikasi ruang luar ke humas universitas udah jadi belom ya?"
"Saarr bantuin trenslet abstrak gue dong:("
"Saarrrr boleh minta fotoin catetan lo gak?"
Ugh. Rasanya Sarah ingin melempar sesuatu. Tidak mungkin ponselnya, sih, yang dilempar.
Dikuncinya layar ponselnya, kemudian ia duduk di kursi panjang depan gedung 2, memelototi rerumputan yang terhampar di depannya. Kesal.
Pop-up chat tiba-tiba muncul di layar ponsel Sarah yang terkunci.
"Wah, itu dies natalis itu dekan koordinasi ke mahasiswanya lewat DPM kayaknya, Sar. Coba tanya Arfi, Arab'14."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sewaktu
Ficção AdolescenteSewaktu aku, sewaktu kamu, sewaktu kita, dan waktu-waktu lainnya--yang semoga tidak habis-habis, untuk waktu yang lama sekali.