3. Sewaktu ke Pesta Pernikahan

211 26 22
                                    

"Ga, nih ada kiriman buat lo."

Yoga yang sedang membuat sketsa rancangan pedestrian untuk daerah pinggiran kota, mendongakkan kepalanya. Seno bersandar di pintu kamar Yoga yang terbuka. Pintu kamar Yoga biasanya tertutup kalau ia sedang butuh konsentrasi mengerjakan sesuatu, tapi tadi Yoga memang lupa menutupnya setelah mengambil minum. Benar kan, ada-ada saja yang mengganggunya. Untunglah bukan Yuda yang berisik.

"Oh? Apa?"

Seno berjalan masuk ke kamar Yoga, mengacungkan sebuah amplop cokelat yang bertuliskan nama Yoga beserta alamat kosnya.

"Undangan deh, kayaknya." Seno membaca nama yang tertera di undangan yang berwarna biru laut tersebut. Iya, amplop cokelatnya sudah dibuka. Gitu-gitu Seno songong juga, padahal kan itu punya Yoga.

"Aldo? Senior lo itu bukan? Yang waktu lo maba beberapa kali bantuin lo soal maket? Dia mau nikah?"

"Oh," Yoga menyahut pendek lagi. "Iya, dia emang mau nikah. Udah ngundang langsung juga minggu lalu pas ketemu dia di FT. Terus gue bilang gue nggak mau dateng kalo nggak dikirimin undangannya, hahaha."

"Ye, songong banget lo jadi junior."

"Gue cuma bercanda. Eh, beneran dikirimin ternyata," Yoga terkekeh, kemudian mengulurkan tangannya. "Mana sini coba gue liat."

Seno memberikan undangan tersebut. Sementara Yoga melihat-lihat isinya, Seno memerhatikan meja Yoga yang berantakan. Sebetulnya Seno gatal sekali ingin ceramah karena ia benar-benar tidak bisa melihat workplace yang berantakan. Tapi yah, kalau tidak berantakan bukan workplace namanya.

Apalagi anak arsitektur. Gulungan-gulungan kertas, cutting board, segala jenis penggaris, styrofoam, bahkan masih ada beberapa potongan kecil bambu yang Seno sudah lupa pernah digunakan untuk apa oleh Yoga. Ini belum seberapa. Di gudang bawah ada lagi berbagai bahan yang digunakan Yoga untuk proyek-proyeknya, belum lagi gergaji mesin kecil dan peralatan lainnya.

Namun di sana-sini, Seno juga bisa melihat jejak-jejak Sarah. Jam kayu buatannya sendiri yang merupakan hadiah untuk ulang tahun Yoga, lampu fluorescent di meja samping tempat tidur Yoga, scrapbook di atas rak buku Yoga, dan lain-lain.

Seno melirik ke arah Yoga yang kini sedang sibuk dengan ponselnya, kelihatannya mencari lokasi undangan pernikahan tersebut di Google Maps.

"Lo dateng kan?"

Yoga mendongak lagi. "Hah? Iya lah."

"Sama siapa?"

"Sama anak-anak yang lain palingan. Kenapa? Lo mau ikut? Tumben. Biasanya Yuda yang semangat, mau ngeceng sekalian makan gratis."

Sejak kapan Yoga jadi bawel begini?

"Nggak, kok. Lo nggak dateng sama Sarah?"

Hampir saja ponsel Yoga tergelincir dari tangannya.

"Kayaknya nggak.. Kenapa lo tiba-tiba nanya gitu?"

"Nggak apa-apa," Seno menggabrukkan dirinya di atas tempat tidur Yoga, meraih lampu fluorescent-nya. "Cuma nanya aja. Emang lo nggak pengen ngajak dia?"

"Pengen." Jawaban Yoga terucap lebih cepat dari yang Yoga sendiri duga.

"Terus?"

Yoga termenung. "Dia nggak terlalu suka pesta. Lagian bakal rame banget, belom suasananya. Nanti... nanti gue bikin dia susah."

Seno memati-nyalakan lampu yang warnanya berganti-ganti hijau biru itu. Ia mengerti yang Yoga bicarakan. Diletakkannya lampu tersebut, kemudian berjalan menuju pintu kamar Yoga.

SewaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang