☘ Lima ~

910 100 31
                                    

"Aku mau tanya, rasanya disayang sama orang tua itu seperti apa, sih?"

_I'm Sorry, Good Bye!_

"Aku pulang dulu, ya, Kak," pamitnya membereskan mejanya sendiri. Lalu memasukkan beberapa barang yang menurutnya penting ke dalam tas sekolahnya.

Zia memasang jaketnya ditubuh mungilnya, lalu menatap Regas yang tengah berkutat dengan setumpuk kertas.

"Ah, iya. Mau gue anterin?" tawar Regas tanpa mengalihkan pandangannya dari kertas.

"Nggak usah, Kak. Aku bisa sendiri," sahut Zia tersenyum tipis seraya memakai sepatunya.

"Kakak jaga kafe aja," lanjutnya, ia berdiri lalu mendekati Regas dengan helaan napas.

"Yaudah, hati-hati," pesan Regas menatap Zia dari atas bawah. Regas sudah menganggap Zia sebagai adiknya, sungguh bangga dengan Zia, diusianya yang cukup muda bisa membangun kafe ini. Zaza's cafe.

Gadis itu tersenyum lebar, menyalimi tangan kekar Regas. "Tenang aja, Kak. Zay udah jemput kok."

"Duluan, ya, Kak!" pamit Zia yang dibalas anggukan oleh Regas, lalu berlari kecil keluar ruangan menuju parkiran.

Matanya menjelajah ke sana ke mari mencari seseorang. Ia mengeryit saat melihat motor Zay yang terparkir rapi di parkiran. Ke mana orangnya? Menghilang?

"Udah?" tanya seseorang dari belakang Zia membuat Zia terlonjak kaget.

Zia menoleh ke belakang mendapati Zay yang tengah menaikkan satu alisnya heran. Ia langsung memukul lengan Zay keras hingga mengaduh kesakitan.

"Kamu kenapa, sih?" tanya Zay meringis pelan, ia berusaha menghindari pukulan Zia.

Zia berhenti memukul, lalu menatap Zay sengit. "Kenapa-kenapa! Bikin jantungan aja!" sentak Zia mengembuskan napasnya kasar, kemudian membuang muka kesal.

"Ya ... kamu lama, sih, di dalam. Betah banget berduaan sama dia," cibir Zay sinis, ia berjalan terlebih dahulu untuk mengambil motornya.

"Ih, harusnya aku yang marah," gerutu Zia mengentakkan kedua kakinya kesal, ia mengembungkan pipinya lucu.

"Ayo naik!" pinta Zay yang sudah berada di depan Zia dengan motornya. Di balik helm-nya, Zay terkekeh geli melihat tingkah gadisnya yang sangat lucu dan menggemaskan.

Gadis itu mencibik kesal, lalu menurut dengan apa yang diucapkan oleh Zay. Selama diperjalanan, keduanya diselimuti keheningan malam. Zia menghela napasnya, menyenderkan kepalanya dipunggung Zay.

Bayangan ketika dirinya dicaci maki, dihina, dipukul, terlintas dalam hati Zia. Ia terus mencari akar sumber masalahnya ini. Ia 'tak ingin terus-terusan seperti ini. Bagaimanapun juga, Zia ingin merasakan disayang oleh kedua orang tuanya. Ia iri, sangat iri kepada orang yang dengan mudahnya mendapatkan kasih sayang orang tua.

Zay menghentikan motornya di depan rumah besar, ia menatap rumah itu, kemudian menghela napasnya pelan. Mengapa ia 'tak rela, gadisnya masuk ke dalam rumah ini?

"Zi, udah sampai," ucap Zia melepaskan helm-nya, lalu menatap Zia yang tengah melamun.

"Zi?" panggil Zay mengerutkan keningnya.

Hening, 'tak ada jawaban. Lagi-lagi, Zay menghela napasnya.

"Zi!" pekik Zay 'tak sengaja mengeraskan suaranya membuat Zia mengerjapkan matanya polos.

"Kenapa, sih? Daritadi ngagetin aja. Kalau jantung aku copot, kamu mau gantiin!" ketus Zia mendelik tajam.

"Enggak."

"Sana masuk, udah malam banget. Hati-hati di dalam, kalau ada apa-apa lagi, kabari aku," pesan Zay mendorong paksa punggung Zia untuk masuk ke dalam rumah.

"Oke, Kapten!"

"Bye, love you." Sebelum Zia membalas, Zay sudah terlebih dahulu melajukan motornya, meninggalkan Zia yang mendengkus sebal.

"Love you too."

Zia membuka pintu rumahnya pelan, ia mengembuskan napasnya lega. Untuk hari ini, tiada tamparan atau cacian dari keluarganya. Seketika ia teringat, ia belum mencuci baju milik Zoa, ah, kenapa ia bisa lupa. Gadis itu berlari menaiki anak tangga satu per satu.

"Puas lo?" Zia berhenti tepat di anak tangga kesebelas. Ia menatap Zoa dengan menaikkan satu alisnya.

"Puas bikin malu gue?" tanya Zoa melipat tangannya diatas dada.

Zia mengerjap. "A-aku nggak-"

Plak!

Zoa terkekeh sinis, lalu tangannya kembali ia lipat diatas dada. "Udah cukup semuanya lo rebut, sekarang gantian gue yang ngerebut Zay dari lo."

"Zo! Kamu yang udah rebut semuanya! Ayah, Bunda, Kak Zaro. Sekarang mereka mihak ke kamu, belain kamu. Sedangkan aku?" Zia terkekeh pedih. "Aku nggak pernah ngerasain dipeluk Ayah, Bunda, bahkan kamu, Zo."

Zoa berdecak malas menatap adiknya. "Buat gue, itu semua kurang."

"Asal lo tahu, ya. Gue itu iri sama lo, semuanya bisa lo dapat dengan mudah. Sedangkan gue?" Zoa tertawa hambar. "Gue mati-matian buat ngerubah keadaan."

"Bahkan, suatu saat nanti, gue yakin. Lo bakal mati ditangan Kakak tercinta lo ini," ujar Zoa mengangkat tangan kanannya di hadapan Zia.

Zia mengatur napasnya sejenak. "ZOA!" pekik Zia yang mulai tersulut emosi.

"APA SEGITU DENDAMNYA LO SAMA GUE?" teriak Zia hampir menumpahkan air matanya. Zoa 'tak tinggal diam, ia tidak terima jika ada orang yang membentaknya.

Plak!
Wajah Zia tertoleh ke samping kiri, tamparan Zoa cukup kuat hingga kakinya 'tak sengaja memundur hingga kehilangan keseimbangan.

"Aaaaaaa!" Gadis itu terjatuh ke lantai dasar, dengan kening yang berdarah, kepalanya pusing. Untungnya, ia jatuh bukan dari lantai atas, melainkan di tengah anak tangga yang dekat dari lantai dasar.

"Zia!" Zero terkejut bukan main saat melihat Zia yang tergeletak lemas di atas lantai, ditambah keningnya yang berdarah. Dia berjalan mendekati Zia, namun ia urungkan saat Zoa memanggilnya.

"Ayah, Bunda!" panggil Zoa yang berjalan sempoyongan menuruni anak tangga. Tangannya memijat pelipisnya pelan.

"Astaga, kenapa ini?" tanya Rea yang baru saja keluar dari kamarnya, ia mengerjapkan matanya berkali-kali, lalu berlari memeluk Zoa dengan sangat erat.

"Bunda, pusing," adu Zoa yang merasakan pusing. Menyakiti Zia sama dengan menyakiti dirinya sendiri, namun Zoa tidak sadar akan hal itu.

Zero menatap kedua putrinya dengan tatapan khawatir. "Zia-"

"Mas, Zoa kesakitan! Biarin anak itu!" sahut Rea dengan cepat, membuat Zero mengurungkan niatnya.

Hatinya sakit saat melihat Zia, rasa bersalah itu ada, ingin meminta maaf, tetapi egonya lebih besar. Bagaimanapun juga, Zia adalah putrinya. Namun, apa pantas, ia menyebutnya putrinya? Apa ia 'tak sadar, perlakuannya selama ini kepada putrinya itu?

"Bibi! Urus anak ini!" teriak Zero nyaring.

Bi Ina, selaku pembantu di rumah Zero pun terkejut saat melihat Zia yang terkapar lemah. Dengan cepat, Bi Ina mengangguk, mengiyakan permintaan tuannya.

"Baik, Tuan," patuh Bi Ina.

"Kamu nggak papa, 'kan, Sayang?" tanya Zero dengan nada khawatirnya, ia berjalan mendekati Zoa yang nampak kesakitan.

"Pusing, Ayah," rintih Zoa menahan sakit dikepalanya.

"Kita ke rumah sakit, ya." Zero mengangkat tubuh lemas Zoa, lalu menatap Zia sendu. Dengan segera, ia membawa Zoa keluar dari rumah menuju rumah sakit, diikuti oleh Rea, Bundanya.

"Bahkan di saat seperti ini, mereka lebih mentingin kamu dibanding aku."

●○●○●○●○

Jangan lupa vote and comment, ya❤

I'm Sorry, Good Bye! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang