☘ Tiga ~

1K 104 19
                                    

"Tuhan memberikan cobaan karena Dia percaya, kamu bisa melaluinya."

_I'm Sorry, Good Bye!_

"Eungh." Matanya kian mengerjap pelan, menatap sekelilingnya dengan kerutan di keningnya. Ah, ia lupa, semalam ia kehilangan kesadarannya di sini, di toilet.

Ia menegakkan tubuhnya dengan hati-hati, ia melihat banyak sayatan yang ia lukis dilengan tangannya. Senyuman lebar tercetak diwajah cantiknya. Ia menjalankan rutinitas paginya selama lima belas menit.

Seragam sekolah sudah ia kenakan, menatap dirinya dipantulan cermin kecil di kamarnya. Bibirnya memucat, tatapannya sayu, melelahkan. Ia memoleskan lipbalm dibibirnya untuk menutupi bibir pucatnya. Meraih tas biru langit, lalu menentengnya keluar menuju dapur.

Ia bergerak ke sana ke mari, tangannya lincah memotong wortel, kentang. Ia memutuskan untuk membuat sop ayam. Setelah selesai, ia langsung menyajikannya di atas meja makan, lalu berangkat ke sekolah.

"Zay," sapanya tersenyum lebar, Zay sudah berada di depan rumah Zia seperti biasanya.

Zay tersenyum, lalu mengacak pelan rambut Zia. Keningnya mengerut. "Kenapa pakai jaket? Lukain diri lagi?"

Senyuman Zia luntur, ia menunduk takut. "Aku ... kalau nggak lakuin itu, aku nggak bisa Zay. Sayatan ini," ucap Zia sembari melipat lengan jaket memperlihatkan banyak sayatan di sana.

"Candu buat aku," imbuhnya kembali menutup lengan telanjangnya dengan jaket.

Zay mengembuskan napasnya pelan, harus ekstra sabar menghadapi gadis di depannya ini. "Apa yang kamu lakuin itu salah, Sayang. Kamu bisa lampiasin ke aku," ujarnya lembut.

Gadisnya tersenyum tulus, ia benar-benar merasa spesial pada kehidupan Zay. "Aku nggak mau jadi beban kamu."

Zay menghela napasnya gusar, mengusap wajahnya. "Justru itu, Tuhan memberikan cobaan karena Dia percaya, kamu bisa melaluinya," ujarnya, lalu tersenyum lebar.

"Dan aku yakin, kamu ... akan ada kebahagiaan yang menantimu," imbuh Zay dengan kepercayaan dirinya.

"Kebahagiaan aku ada dikamu, jangan pernah pergi," pinta Zia sendu, ia menunduk dalam. Ia takut, semua orang yang ia sayang akan pergi meninggalkannya, kemudian mengangkat pandangannya menatap Zay.

Zay terkekeh pelan. "Dan kebahagiaan aku juga ada dikamu," balas Zay tanpa mengalihkan pandangannya dari kontak mata Zia yang indah, dan banyak menyimpan kesedihan di sana.

"Zay!" pekik seseorang berlari dengan napas yang 'tak beraturan. Ia berhenti di samping Zia, kemudian mengatur napasnya.

Zay menatap Zoa sekejap, lalu menatap Zia. "Kenapa?" tanyanya kepada Zoa.

"Anterin aku ke sekolah, ya. Hari ini Ayah sibuk banget, Bunda juga nginap di rumah temannya," ujar Zoa memelas.

"Nggak peduli," sahut Zay datar, wajahnya berubah dingin.

"Zay," rengek Zoa memegang lengan Zay.

Lelaki itu menepis tangan Zoa yang ada dilengannya. "Gue bareng Zia."

"Ck, Zia bisa sendiri," decak Zoa sinis.

Zia mengembuskan napasnya pelan, sebenarnya ia 'tak rela jika Zay berangkat bersama Zoa. "Zay, udah. Kamu berangkat bareng Zoa aja, aku bisa jalan kaki atau naik angkot, kok," ucapnya memaksakan senyumnya.

Zay berdecak sebal. "Tapi, Zi ... aku nggak mau," elak Zay kesal.

"Aku jalan kaki, yang terpenting Zoa berangkat sekolah," kekeh Zia.

I'm Sorry, Good Bye! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang