"Mengapa hidup se-menyakitkan ini, Tuhan?"
_I'm Sorry, Good Bye_
"Sebentar lagi, aku ke sana."Sambungan terputus, ia segera mengganti bajunya dengan baju berlengan panjang, dan setelah itu memakai jaket oversize miliknya. Setelah dirasa sudah, ia berjalan mengendap-endap ke pintu belakang rumah. Bukan tanpa sebab, melakukannya karena ia 'tak ingin mendengar ucapan pedas dari Ayah Bunda dan saudara kembarnya. Meskipun nanti ia pulang akan terkena cacian dari mereka.
Aman, ia segera mencari taksi. Jarak rumah dan cafe Ziay's tidak jauh, hanya butuh sepuluh menit perjalanan. Ia berjalan tergesa-gesa menuju ruang khusus pemilik cafe.
"Kak, panggil pegawai yang kamu maksud," pintanya melalui sambungan telepon.
Tak lama, pintu terbuka membuatnya mendongak menatap sang pelaku. Ia menatap datar.
"Sudah tahu kesalahanmu?" tanyanya datar dan dibalas gelengan oleh pegawai yang ada dihadapannya.
Ia berdiri dari duduknya. "Di sini, padahal sudah jelas peraturannya. Jika ada pegawai yang memakai pakaian kurang bahan, make up tebal, dan apalah itu. Di sini bukan club, tapi cafe."
"Kamu, saya pecat. Untuk gaji bulan ini, silakan minta kepada Kak Regas."
"B-baik, Miss," jawab pegawai itu terbata-bata.
Setelah memberi perintah kepada pegawai itu untuk keluar dari ruangannya, Zia mengembuskan napasnya pelan.
Zay is calling
"Apa?"
"...."
"Hah?"
"...."
"Di cafe kita, ke sini aja."
●○●○●○●○
Gadis itu menatap foto keluarganya yang tampak harmonis sembari menangis. Air matanya tidak berhenti mengalir dipipinya, sesekali mengusapnya dengan kasar. Tadi, ia ketahuan saat pulang dari kafe bersama Zay, dan yang ia dapat seperti biasa, cacian, makian, hinaan, dan pukulan.
"Ayah nggak tahu, 'kan. Sebagaimana rasa sakitnya aku dibenci kalian? Dicaci maki, dihina, dipukul, ditampar? Rasa sakit banget, Yah. Dari dulu, aku pengin banget benci sama kalian, tetapi gagal. Rasa sayang aku terhadap kalian itu terlalu besar," gumam gadis itu menangis tersedu-sedu.
Zia memeluk foto keluarga yang tadi ia letakkan dimeja samping ranjangnya. Mengapa rasanya sangat menyakitkan? Apakah selamanya hidupnya dipenuhi dengan air mata? Tuhan, tolong ... berikan ia kebahagiaan, setidaknya ia bisa merasakannya walau hanya sekadar saja.
"Ayah juga nggak tahu. Gimana rasanya hidup tanpa kasih sayang Ayah sama Bunda. Aku iri sama mereka yang dengan mudahnya bisa mendapatkan kebahagiaan, sedangkan aku apa, Yah?" Gadis itu terkekeh miris, takdir selalu mempermainkannya.
"Aku cuma pengin dipeluk Ayah saat ada yang nyakitin aku. Tetapi, Ayah sendiri yang nyakitin aku, baik fisik, maupun batin."
"Ayah ... Zia kangen. Zia pengin dimanja Ayah, disuapin Ayah, dipeluk Ayah, Zia pengin dekat sama Ayah," gumam Zia berharap.
"Andai Ayah tahu, seberapa menderitanya aku sekarang, mungkin, Ayah akan bahagia dan tertawa paling keras, 'kan, Yah?"
"Zia capek, Ayah. Nanti kalau Zia udah nggak ada, apa kalian bakal menyesal?"
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Sorry, Good Bye! [END]
Teen FictionTakdir begitu jahat kepadanya. Gadis yang berpura-pura bahagia. Hidup yang dulunya nyaris bahagia, kini semuanya sirna. Rumah yang seharusnya menjadi istana baginya, kini berubah menjadi nerakanya. Ia menyerah, tetapi keadaan memaksanya untuk kuat...