"Kuharap kamu jangan berubah, ya. Dia bukan siapa-siapa aku."
_I'm Sorry, Good Bye!_
Senyuman manis itu mampu menghiasi wajah tampannya. Menatap rumahnya yang besar dengan desain interior yang sempurna, bibirnya melengkung ke atas. Ia jadi 'tak sabar menghampiri separuh hidupnya di dalam rumah mewah ini.
Kaki jenjangnya melangkah mendekati pintu yang tertutup. Hari masih sore, setelah mengetuk pintu tiga kali, ia menatap ke arah taman yang masih sama seperti dulu.
"Siapa, ya?" Ia membalikkan tubuhnya dengan senyuman lebarnya, namun senyuman itu luntur saat melihat orang yang membuka pintu.
"Gue cari Zia," ujarnya pelan.
Zoa tersenyum kecut menatapnya aneh. "Davin-Davin." Gadis itu menggeleng diiringi kekehan sambil melipat tangannya di dada. "Zia-nya minggat sama pacarnya dari kemarin lusa," lanjutnya, kemudian duduk dikursi teras rumahnya, menatap Davin.
Davin mengangguk. "Darimana lo tahu?"
"Ck, feeling gue emang kuat kalau soal dia," ujarnya remeh.
"Lo, nggak ada niatan nyari gitu? Oh, atau lo masih suka nyiksa dia kaya' dulu?" Davin menatap Zoa dengan tatapan menyelidik.
Gadis itu menggeleng. "Buat apa nyariin anak pembawa sial?"
Lelaki itu tersenyum. Sudah ia duga jika keluarga Zoa tidak akan menerima Zia lagi setelah kejadian beberapa tahun yang lalu, ia juga tahu jika itu semua hanyalah salah paham belaka.
"Gitu-gitu juga saudara lo," sindirnya pelan.
Zoa berdecih pelan, membuang mukanya ke samping. "Gue nggak punya saudara pembunuh kaya' dia."
"Kata orang, penyesalan itu di akhir," gumam Davin mengalihkan pandangannya dari Zoa.
"Memang," jawab Zoa dengan santai.
"Lo nggak takut nyesal karena udah fitnah dia dari kematian Kak Zaro dulu?" tanya Davin menatap Zoa. "Dia udah menderita selama bertahun-tahun."
"Ya, terus? Gue peduli, gitu?" Gadis itu tertawa jahat, lalu bangkit dari duduknya, menatap Davin tajam. "Enggak!"
●○●○●○●○
Zay, lelaki itu baru saja turun dari motornya. Ia berjalan pelan masuk ke dalam rumahnya dengan gontai, harinya cukup melelahkan. Tadi, tepat pulang sekolah, ia langsung menancapkan gasnya menuju kafenya untuk mengunjungi gadisnya. Setelah memastikan gadis itu baik-baik saja di sana, ia segera pulang ke rumahnya.
Membuka pintu rumah dengan perlahan, ia melangkah menaiki satu per satu anak tangga yang menghubungkan lantai satu ke lantai dua.
Lelaki itu mengembuskan napasnya lelah, melemparkan tas sekolahnya dengan asal, lalu membaringkan tubuhnya di atas kasur empuk miliknya. "Davin," gumamnya sambil memejamkan matanya.
Nama itu terus saja mengusik pikirannya, melihat wajah Davin ia seperti melihat sinyal bahaya yang akan terjadi entah itu apa. Seiring detik berganti, kini ia telah memasuki alam mimpinya.
Tok tok tok
Mata lelaki itu merem melek, seperti biasa, ia menggelengkan kepalanya untuk mengumpulkan nyawanya yang masih berjalan-jalan di mimpi. Setelah mendapat kesadarannya kembali, barulah ia membuka pintu kamarnya. Tampaklah sosok wanita paruh baya yang cantik dengan senyuman lebarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Sorry, Good Bye! [END]
Fiksi RemajaTakdir begitu jahat kepadanya. Gadis yang berpura-pura bahagia. Hidup yang dulunya nyaris bahagia, kini semuanya sirna. Rumah yang seharusnya menjadi istana baginya, kini berubah menjadi nerakanya. Ia menyerah, tetapi keadaan memaksanya untuk kuat...