vi. hujan

18 5 1
                                    

seperti biasanya, aku sedang duduk menunggui dia yang belum juga pulang. menerawang melihat jalanan melalui jendela yang rapat tertutup tirai hujan.

di luar langit menangis hebat. dan baru beberapa saat yang lalu aku menyuruhnya untuk menepi. aku tidak bisa membayangkan berapa banyak rasa dingin yang dia tahan. ditambah, dia memilih untuk terus berjalan dengan jas hujan tipis yang kubelikan.

seisi rumah sudah terang, meski waktu belum sepenuhnya pukul lima. pikiran berputar kembali dengan harap cemas yang membelenggu hati.

aku mengembuskan nafas ketika waktu  benar-benar menunjukan pukul lima. seharusnya dia sudah sampai dan sibuk dengan kopi dan bukunya.

aku mulai berdiri, berjalan mondar-mandir di depan jendela. apa sebaiknya aku jemput saja?

hingga pukul enam, laki-laki itu baru datang dengan senyum yang masih saja mengembang meski aku tahu rasa letih sudah menggerogotinya sedari tadi.

cepat-cepat aku mengambilkan handuk dan menyiapkan air hangat.

"aku membeli martabak kesukaanmu," ucapnya dengan suara bergetar. dia kedingininan.

aku tidak peduli, langsung kukeringkan rambut miliknya seperti ibu yang sedang memandikan anak.

dia diam, mungkin dia paham aku sedang khawatir. "aku tadi menepi dulu, maaf, ya jadi lama."

"airnya sudah hangat, cepat mandi dan ganti baju. aku sudah membuatkan teh. sore ini tidak ada kopi."

sepertinya berlebihan, tetapi memang seperti ini adanya. selama belum mempunyai seorang momongan, selain kehadirannya tidak ada yang mampu membuatku tenang.

aku duduk kembali, kali ini aku duduk di rùang makan menungguinya keluar dari kamar.

"nanti martabaknya dingin," ucap laki-laki itu dengan celana panjang dan kaos oblong.

aku masih diam dengan teh yang sesekali kutiup agar lebih hangat ketika memasuki kerongkongan.

"maaf, ya," ucapnya lagi. "bagaimana hari ini?" katanya.

sungguh, kehadirannya adalah hal terbaik yang tuhan berikan. laki-laki ini paling pandai membuatku melunak.

"aku masih penasaran dengan satu hal."

"apa itu?"

aku mendekatkan secangkir teh untuknya dan membuka martabak yang sudah sedikit dingin.

"aku penasaran apa yang sebenarnya langit rahasiakan. ada apa di sana selain doa?"

mungkin, ini bukan pertanyaan yang seharusnya kutanyakan untuk sekarang.

dia terkekeh. "jadi, itu yang kau pikirkan seharian ini?"

aku mengangguk. dia masih tersenyum, kulihat dia mengerjap beberapa kali. seakan berpikir.

"hm, aku tidak tahu. ada apa ya?" dia balik
bertanya.

"mungkin, di sana juga ada nyanyian."

dia mengerutkan kening. "nyanyian?"

"para malaikat yang bernyanyi dengan tangan yang tidak berhenti melambungkan doa-doa kita."

dia tersenyum. "oh, malaikat."

aku mengangguk, menyeruput teh hangat itu dan bertanya. "bagaimana denganmu? ada apa hari ini?"

ah, kata-kata itu, aku belajar darinya.

dia kembali tersenyum. "hari ini menyenangkan, aku pulang sudah ditunggu olehmu. apa kira-kira yang lebih membahagiakan dari itu?"

dia paling pandai membuatku tersipu.

🌕

bumiayu, 2021
(t.a)

sebelum malam jatuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang