ketika malam mulai mencapai puncaknya. sekarang, giliran lelaki itu duduk di beranda. dengan kopi dan buku yang tidak pernah terlupa.
si pemuja kedamaian itu pernah berkata; katanya jika seisi dunia tidak lagi berisik maka giliran otaknya untuk mencoba menggapai kehampaan.
dia juga berkata jika puncak pengetahuan adalah ketidaktahuan. maka dari itu dia sangat suka membaca apa-apa saja diwaktu luang sebelum tidur.
aku tersenyum sambil berjalan mendekatinya menuju pintu. padahal, di jam seperti ini, rumah ibu akan terasa sangat dingin tapi sepertinya dia tidak peduli.
laki-laki itu menoleh ketika mengetahui aku sudah berdiri di belakangnya. "di luar dingin, kamu masuk saja."
aku mengerutkan kening. "kenapa kamu tidak ikut masuk bersamaku saja?"
"aku menyukai dingin," jawabnya dengan tatapan yang sudah asik dengan tulisan.
pembohong, laki-laki ini sangat pandai berbohong. padahal, tempo hari dia mengeluhkan jari-jari yang terasa seperti ditusuk-tusuk karena kedinginan. gejala rematik.
"tiba-tiba saja aku juga menyukai dingin." aku duduk tak jauh darinya.
dia menoleh, kemudian tersenyum. "beri aku waktu sepuluh menit. aku akan menyusulmu ke dalam."
"aku lebih menyukai menemanimu di sini, kenapa?"
dia menggeleng, menyesap kopi hangat itu dengan pelan.
aku heran, kenapa orang-orang sangat menyukai kopi hitam? bukankah lebih enak kopi susu.
tiba-tiba saja hening menyelimuti beranda dengan hawa dingin yang menusuk tulang.
"bertanyalah, biar tidak terlalu sepi." dia berkata tanpa menoleh sedikitpun.
ketika aku menarik napas, dia tersenyum. dia sudah paham betul gelagatku ketika akan bertanya.
"menurutmu kenapa kita bisa menanggung nyawa?" aku bertanya.
dia masih sibuk dengan buku di tangan. selama beberapa saat dia terdiam. "karena kita manusia?" dia menyudahi membaca, beralih melihat ke arahku.
"hewan juga bernyawa."
dia menggeleng. "kali ini aku tidak tahu. kira-kira kenapa, ya?"
aku terdiam, aku juga tidak memiliki jawabannya untuk sekarang. "tuhan itu kejam, ya."
"jika tuhan kejam, kenapa kita dipertemukan?" gigi-gigi itu tersungging dengan manis.
bukan itu maksudku.
"aku hanya tidak paham. tuhan selalu memberi dengan alasan. tapi kali ini, aku tidak tahu alasan tuhan memberi kita nyawa. apa tuhan sedang memberi kita siksaan atau kesempatan?"
masih dengan gigi yang tersungging dia berkata. "aku juga tidak tahu, yang kutahu hidup ini adalah keduanya. siksaan dan kesempatan." sengaja dia berhenti berbicara, membuatku semakin bertanya-tanya.
"kenapa?"
"siksaan karena dunia itu sebenarnya neraka. kita diperbudak selembar kertas. kita terluka oleh harapan. kemudian, kita diberi kesempatan oleh tuhan. untuk bersama. untuk berpasangan. aku pikir karena tuhan tidak mau melihat kita terjatuh terlalu lama, karena selalu ada kesempatan yang dia berikan. dan kesempatan itu kadang datang dari pasangan kita, dari orang terdekat kita." lagi-lagi dia tersenyum dengan manis.
"jika mereka berbalik menjatuhkan, bagaimana?"
kali ini wajahnya tanpa ekspresi. "itu namanya siksaan. kita terluka oleh harapan kita sendiri. kita berharap orang terdekat tidak pernah menjatuhkan kita. kadang, itu juga yang bisa membuat kita terjatuh terlalu lama."
aku terdiam. siksaan dan kesempatan, ternyata sedekat itu.
🌕
bumiayu, 2021
(t.a)
KAMU SEDANG MEMBACA
sebelum malam jatuh
Chick-Litmenurutmu, kemana kita saat tertidur? [written in lower case] © Tetes Abu 2021