"menangis itu tidak apa-apa kan?" aku bertanya pada laki-laki yang sedang asik dengan televisi. lalu aku merebahkan badan disampingnya.
"tidak apa-apa. menangis saja."
"tapi, kenapa orang-orang memandang tangisan sebagai titik lemah?" tanyaku lagi.
dia terkekeh. "titik lemah, titik kuat. menurutmu apa arti dari itu?"
aku diam sejenak, hingga dia mengganti saluran televisi selama beberapa kali.
"titik lemah itu menangis. titik kuat itu tersenyum," ucapku.
dia kembali terkekeh. "lalu apa bedanya kamu dengan mereka?"
ah, aku tidak paham apa yang sedang laki-laki sipit ini. maka kuputuskan untuk menggeleng.
"tidak ada bedanya, kamu dengan mereka sama saja."
aku semakin tidak tahu arah obrolan ini. "aku tidak paham."
dia menoleh, kemudian tersenyum. "titik lemah itu saat kamu tidak bisa bangkit ketika jatuh. tidak apa menangis, toh berdiri juga bukan hal yang mudah. perlu perjuangan, perlu air mata. tapi, jika kamu tidak bisa melakukan itu, artinya kamu orang lemah. kamu berada di titik lemah."
"terus?"
dia mengusap ujung kepalaku dengan lembut. "sedangkan titik kuat adalah ketika kamu mampu tersenyum. meski harus terjatuh berkali-kali, kamu tetap mencoba dan mencoba. tidak apa-apa menangis. biasanya rasa lelah juga perlu dikeluarkan lewat air mata."
aku mengangguk paham. dia tersenyum kembali. "itulah kenapa sering kali ketika aku lelah, aku meenangis. tapi, beruntungnya aku memiliki kamu di sini."
🌕
bumiayu, 2021
(t.a)
KAMU SEDANG MEMBACA
sebelum malam jatuh
Genç Kız Edebiyatımenurutmu, kemana kita saat tertidur? [written in lower case] © Tetes Abu 2021