Part 15

1.5K 185 151
                                    


Last






Gzi Wisdom baru saja menyalakan sebatang rokok di tangannya saat Thomas Sangter muncul dari balik pintu bertuliskan ruang psikiater. Lelaki itu tersenyum pelan pada Gzi sebelum berjalan menghampirinya.

"Jadi?" Gzi melayangkan tatapan penuh tanya. "Bagaimana hasilnya?"

"Semuanya baik. Aku hanya perlu berkunjung beberapa kali lagi."

"Sungguh?" Kedua alis Gzi Wisdom terlihat berkerut. Dia seolah tidak mempercayai ucapan Thomas.

"Aku tidak apa-apa, Gzi. Dokter juga bilang semuanya jauh lebih baik dibanding tiga bulan lalu." Thomas tersenyum jenaka. Lelaki itu lantas mengambil rokok yang masih terselip di bibir Gzi yang berpoleskan lipstik merah terang. Tanpa rasa malu atau jijik, Thomas menyesap rokok itu dalam-dalam.

Gzi terdiam sambil terus memperhatikan gerak-gerik Thomas. Meski Thomas bilang bahwa dia baik-baik saja, Gzi tahu Thomas hanya berpura-pura. Nyatanya, Gzi tahu jika selama ini Thomas mengalami stress setelah insiden di kapal pesiar tiga bulan lalu. Gzi juga tahu jika Thomas selalu dibayang-bayangi oleh sosok Lea, gadis imajiner yang selalu muncul dalam mimpi kekasihnya itu tiap malam.

Sebagai kekasih, Gzi jelas mencemaskan Thomas. Lelaki itu tidak seperti lelaki yang dulu pernah dia kenal. Lalu sosok bernama Lea itu... entah dia nyata atau tidak, namun tetap saja membuat Gzi agak cemburu.

"Hei, i'm fine, okay? Don't mind of anything..." Thomas seperti mengerti akan apa yang dipikirkan Gzi. Dia membawa kekasihnya itu menatap kedua mata coklatnya. "Everything will back to normal."

I hope so... batin Gzi yang gelisah.

Gzi lantas memeluk Thomas dengan erat. Thomas yang dipeluk, tentu menjadi kalang kabut. Lelaki itu menatap sekeliling dan berharap tidak ada paparazi yang menangkap mereka. Thomas tidak mempermasalahkan jika mereka melakukan skinship di depan publik semacam ini. Dia hanya khawatir paparazi itu menuliskan hal buruk tentang Gzi dan membuat kekasihnya itu dibenci oleh fans-nya.

"Could i believe you, Thomas?" Gzi menatap Thomas tanpa melepaskan pelukan mereka. "Could you promise that you'll never leave me?"

Thomas Sangster tercenung. Untuk sesaat wajah Gzi berubah menjadi wajah Lea. Gadis misterius itu entah kenapa tidak bisa lepas dari kepala Thomas. Meski dia telah meminum banyak sekali obat dan pergi ke psikiater berkali-kali.

Kenapa rasanya sangat sulit?

"Come back to me..." Gzi mengelus pipi Thomas pelan. "Come back to me as you always to be. Could you?"

Thomas kembali melihat wajah Gzi di hadapannya. Tatapan gadis itu membuat Thomas tersadar. Dia menyesal.

Thomas tahu Gzi adalah pihak yang paling tersakiti di sini. Namun melihat betapa cinta dan tulusnya Gzi padanya membuat Thomas tahu, gadis itu tidak akan meninggalkannya. Gzi benar-benar tulus mencintainya. Kenapa dia begitu bodoh dan tidak bisa melihat itu semua?

"I'm sorry, Zizie..." Thomas membalas pelukan Gzi. Dia meletakkan kepalanya di pundak gadis itu. "Aku tidak bisa berjanji banyak hal. Tapi aku berjanji tidak akan meninggalkanmu. Apa... kau bisa menungguku sedikit lagi?"

Gzi Wisdom terdiam. Dadanya terasa sakit, seolah ada seseorang menusuk jantungnya dengan sembilu. Namun bukan Gzi Wisdom namanya jika dia menyerah begitu saja. Ucapan Thomas justru membuatnya semakin bertekad. Dia akan membuat Thomas mencintainya lagi.

I'll waiting, even i could die for it.

Thomas masih memeluk Gzi dengan erat. Dia berusaha mengembalikan memori dan kenangan manisnya bersama gadis itu. Seolah dengan itu, tidak akan ada ruang dan kesempatan bagi Thomas untuk mengingat sosok Lea.

Entah sosok bernama Lea itu nyata atau tidak, Thomas telah membuat keputusan. Dia akan melupakannya. Dan sebagai gantinya, dia akan melanjutkan hidupnya bersama Gzi. Hanya dengan Gzi.

I hope you'll find your own happiness, Lea.

***

Langit bersemburat mega jingga di sore itu. Di tepi padang rumput, Lea duduk di bawah pohon rindang. Manik hitamnya tidak lepas menatap Newt, anak lelakinya yang berumur lima tahun, berlarian kesana-kemari sambil tertawa-tawa. Anak itu terlihat sangat bergembira dan bermain bersama suami Lea. Sesekali Newt menoleh padanya dan melambai pada Lea. Lea yang melihatnya hanya bisa tersenyum kalem.

Tak terasa, delapan tahun berlalu sejak peristiwa di Last City. Kini di Safe Haven, anak-anak immune yang telah tumbuh dewasa, berusaha membangun kehidupan mereka sendiri, berkeluarga dan hidup berdampingan. Melupakan apa yang terjadi masa lalu, semua orang berusaha membangun masa depan mereka yang damai di Safe Haven. Tak terkecuali dengan Lea.

Sesuai dengan permintaan Newt, Lea pun turut mencari kebahagiaannya sendiri.

"Eungg..." erangan kecil keluar dari bibir bayi perempuan mungil yang ada dalam gendongan Lea. Bayi perempuan berumur tiga bulan itu terlihat menggeliat pelan sebelum membuka kedua manik matanya yang hitam jernih.

"Ssttt... kenapa, sayang? Apa kau bermimpi buruk?" Lea menimang pelan bayi perempuannya itu dengan sayang. "Mommy juga sering mengalaminya."

Anastasia, nama bayi perempuan itu, berkedip lucu dalam gendongan Lea. Seolah mengerti jika Mommy-nya tengah mengajaknya berbicara, Tia memperhatikan Lea dengan mata hitamnya yang jernih.

"Suatu hari nanti Mommy akan menceritakan semuanya padamu. Bagaimana mereka datang, bagaimana mereka pergi." Lea mengelus pelan pipi bulat Tia dalam dekapannya. "Tapi yang terpenting, Mommy akan ceritakan bagaimana Mommy mengatasinya. Bagaimana Mommy bertahan menghadapinya."

"Mommy!"

Newt berlari mendekati Lea. Anak lelaki itu lantas duduk di samping ibunya dan menatap ke arah Tia yang kembali berkedip lucu.

"Adek cudah bangun?" Newt menowel pipi bulat Tia hingga membuat bayi kecil itu tertawa. "Mommy, kapan Adek tumbuh gedenya? Newt pengen cepet bica main cama Adek."

"Newt ingin main sama Adek?" suami Lea datang tak lama kemudian. Dia lantas duduk di sebelah Lea sambil memperhatikan bagaimana raut gemas yang Newt tunjukkan pada adik perempuannya.

"Eum!" Newt mengangguk cepat. "Newt bocan main cendirian."

"Kan ada Tommy sama Teresa." Jawab suami Lea lagi. "Ada Michael dan Robert juga."

"Bocan, ah. Tommy cama Teyeca mainnya bal-bal. Lobet dikit-dikit nangis. Micel juga ngebocenin. Newt maunya main cama Adek aja." Newt menggembungkan pipinya. Suara Newt yang masih cadel membuat Lea tersenyum gemas mendengar ucapan putranya itu.

"Newtie tunggu sebentar lagi, ya. Sebentar lagi Adek juga besar, kok." Kata Lea sambil mencubit pelan pipi Newt.

"Benelan? Yes!!!" Newt tersenyum girang. Anak lelaki itu kembali mengelus pipi adiknya dengan penuh kasih sayang. "Cepet gede ya, Dek. Kaka mau cepet-cepet main cama Adek."

Lea dan suaminya hanya bisa tersenyum melihat tingkah anak lelaki mereka. Keduanya terus memperhatikan bagaimana Newt mencium pipi Tia lalu kembali bermain sendiri bersama mainan pesawat kayu yang menjadi hadiah ulang tahunnya sebulan yang lalu.

"Dia jadi semakin mirip denganmu." Kata Lea pada suaminya.

"Tidak salah? Newt itu copy-an dirimu. Tapi dalam versi laki-laki." Suami Lea membantah sambil tersenyum jenaka. Lelaki itu lantas menowel pelan pipi bayi perempuannya yang masih ada dalam gendongan Lea. "Kalau Tia lebih mirip Daddy. Benar kan, Tia?"

Bayi tiga bulan itu tertawa sambil menggenggam jemari besar ayahnya. Lea yang melihat itu hanya bisa tersenyum kecil.

Suasana hangat ini membuat Lea sangat bersyukur dengan apa yang didapatkannya. Meski tidak bisa kembali ke dunia aslinya, Lea bahagia bisa hidup di dunianya sekarang ini. Lea sadar, belum tentu dia mendapatkan kebahagiaan seperti ini jika dia kembali ke dunianya sendiri.

Perjuangan panjang dan melelahkan yang dia lalui selama ini rasanya terbayarkan. Kini lea benar-benar merasa telah menemukan kebahagiannya. Bersama keluarga kecilnya, Newt, Tia, dan suami yang sangat dicintainya, Minho.





End of Book 3

BOND |Book 3: Sempiternal| (Death Cure Fanfiction) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang