Yang sakit bukan hanya tubuh ini, batinku juga sakit. Sakit melihat kemirisan hidup ini."
Marseyla Zahra Theodor
•
•
•
Happy ReadingDokter yang menangani Seyla baru saja selesai memeriksa gadis itu. Dia sangat khawatir dengan gadis yang tengah berbaring lemah di atas brankar ini.
Eghhhh
Dokter itu tersenyum saat Seyla membuka matanya. Dia mengusap puncak kepala Seyla lembut.
"Saya sudah pernah bilang, sering-sering cek up. Ini sudah memasuki bulan ke 6 dan kau masih belum cek up. Apa perlu saya datang ke rumah mu nona."
Seyla memutar bola matanya. "Nggak usah lebay."
Dokter itu hanya menggelengkan kepalanya. Dia sangat tahu sifat Seyla, sudah lima tahun lebih dia mengenal Seyla.
"Apa lelaki yang membawamu tadi kekasihmu?" Seyla berpikir sejenak, lelaki, apakah Elang.
"Bukan."
"Lantas siapa?"
"Orang asing."
Dokter itu tersenyum sinis. "Orang asing mana yang sekhawatir itu, mungkin dia orang asing bagimu. Tapi kau orang spesial baginya."
"Jangan terlalu positif thingking. Dunia tak sebaik yang kita bayangkan. Mau aku spesial atau tidak di matanya itu bukan urusanku."
"Jangan terlalu dingin dengan orang, Zahra. Saya khawatir banyak orang yang tak menyukaimu."
"Aku tak perduli. Aku hidup bukan untuk di sukai banyak orang, bagus jika mereka tak menyukaiku, itu menjadi ladang pahala untukku di akhirat."
"Saya selalu kalah debat denganmu nona kecil."
Seyla mengerucutkan bibirnya membuat Dokter itu gemas. "Aku bukan anak smp lagi."
"Ya, tapi kau masih sama seperti dulu, tak ada yang berubah. Hanya semakin cantik."
"Lebih baik kau keluar, Dokter Andre. Aku mau pulang."
Dokter yang Seyla sebut Andre itu seketika panik. "Kondisimu belum membaik, lebih baik kau menginap satu atau dua hari di sini."
Seyla duduk dari tidurnya, dia sedikit meringis saat merasakan nyeri di perutnya, tapi dia masih bisa menahan itu.
"Aku memang penyakitan, tapi aku tak selemah yang kamu bayangkan. Selagi aku masih bisa bernafas, aku tidak membutuhkan semua obat-obatan itu, apalagi alat medis ini, aku membencinya."
Andre menangkup pipi tirus Seyla. "Hey, kau bukan penyakitan. Kau hanya terluka, aku pastikan kau akan sembuh dari luka ini."
Seyla menepis kedua tangan Andre yang berada di pipinya. "Jangan membuatku berharap untuk hidup lebih lama. Aku sudah muak dengan kehidupan ini, aku sudah muak dengan diriku sendiri. Jadi tolong, biarkan semuanya berjalan dengan sendirinya."
"Dan membiarkan kau mati dalam kebodohan. Kau tak ingat masih memiliki orang tua? Mereka masih menyayangimu, buka mata hatimu, jangan terlalu egois dan keras kepala. Kalian hanya perlu bicara bersama, selesaikan dengan kepala dingin."
"Lebih baik aku mati dalam kebodohan, daripada hidup dalam dunia kejam seperti ini. Kini aku sudah berbagi orang tua, mereka tak menyayangiku, mereka hanya kasihan, kalau mereka menyayangiku mereka tidak akan berpisah. Dan untuk berbicara bersama, mereka tak akan punya waktu, mereka hanya sibuk dengan keluarga masing-masing. Bagi mereka uang bisa membahagiakanku."
Andre mengusap puncak kepala Seyla. "Rupanya nona kecilku sudah dewasa. Tapi kau belum cukup dewasa untuk soal rumah tangga, dalam rumah tangga itu harus ada kekompakkan, saling percaya, dan saling menghargai. Mungkin saja orang tuamu sudah tak merasakan itu, makannya mereka lebih memilih mengakhiri hubungan itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect Love
Teen Fiction"Cinta mengubahnya kembali." *** Aku yang tak pernah bahagia, yang selalu menutup diri dari dunia luar, kini menemukan jati diriku sebenarnya, dan itu semua karenanya. ~Marseyla Zahra Theodor Aku harus membangkitkan jiwa seseorang yang selama ini ma...