[16]

70 9 0
                                    

"Maaf karena aku mengingkari janjiku. Aku terlalu mencintaimu, wahai gadisku."
Elang Putra Fabanyo



Happy Reading

Elang duduk di kursi samping brankar Seyla. Dia menggenggam tangan Seyla yang sangat dingin. Tanpa sadar air matanya turun, dan hal itu di lihat langsung oleh Theo. Theo merasakan cinta yang besar di diri Elang, dia tersenyum melihat ini.

Theo berjalan dan duduk di sofa yang berhadapan langsung dengan Elang. Elang yang terkejut pun langsung menghapus air matanya.

"Dulu, Seyla itu sangat suka main basket. Bahkan di usianya baru menginjak sembilan tahun, dia sudah bisa melawan sepupunya yang sangat lihai bermain basket. Kesukaannya itu berlanjut sampai dia besar, tapi Seyla terpaksa tidak bermain basket lagi karena kondisi kesehatannya. Om tahu itu dari Andre, Dokter yang selama ini perduli dengan Seyla."

Elang menganggukkan kepalanya mendengar cerita Theo. Pantas saja kemarin Seyla bisa melempar bola dengan sekali tembak. Dia semakin kagum dengan gadis di depannya ini.

"Kamu suka dengan putri Om?" Elang menatap Theo yang tengah menatapnya.

"Bukan suka lagi, Om. Tapi cinta." Katanya dengan menatap wajah Seyla.

Theo tersenyum mendengar itu. "Apa yang kamu suka dari putri Om?"

Kini Elang menatap mata teduh itu. "Sejauh ini aku belum tahu. Tapi yang jelas aku nggak mau kehilangan Seyla, Om."

"Belum tahu? Bagaimana kamu bisa cinta dengan anak Om?"

"Aku mencintai anak Om tanpa alasan. Saat pertama kali melihat anak Om, hati ini tergerak untuk mendekati, mencintai dan memiliki seutuhnya."

"Kata-kata kamu sangat dalam untuk seusia kamu. Padahal Papa kamu itu sangat kaku soal cinta."

Elang terkekeh. "Aku bersyukur karena aku nggak kaya Papa. Nanti susah dapetin hati anak Om." Theo tertawa mendengarnya.

"Om tidur duluan yah. Kamu jangan begadang."

Elang menganggukkan kepalanya. "Selamat malam Om." Katanya dengan tersenyum kecil.

"Malam."

Elang kini beralih menatap Seyla yang masih memejamkan matanya. Dia menyatukkan jari-jarinya dengan jari-jari Seyla.

"Hai, maaf aku ingkar janji buat ngejauhin kamu. Aku nggak bisa ngejauhin kamu, Sey. Aku mohon kembali, aku udah tau semuanya. Kamu pasti kangen orang tua kamu kan, sekarang mereka ada di sini, masa kamunya malah tidur sih." Elang mencium tangan itu.

"Kalau kamu bangun pasti kamu marah, terus natap aku kaya macan kelaparan pas tau aku cium tangan kamu gini." Elang tertawa kecil tapi tawa itu tawa kesedihan, karena tawa kecil Elang di iringi dengan air mata yang terjatuh. Entah melihat Seyla terbaring seperti ini hatinya sangat sakit, padahal saat itu Tania berada di posisi Seyla, tapi Elang tidak merasa sesakit ini.

Theo yang masih belum sepenuhnya tidur pun mendengar ucapan Elang. Dia semakin yakin kalau Elang benar-benar tulus dengan Seyla.

"Selamat tidur Seyeng." Elang mengecup kening Seyla lalu tertidur dengan menautkan jari-jari tangan mereka.




Hari sudah berganti, Elang membuka matanya saat cahaya matahari mengganggu tidurnya. Dia merenggangkan otot-ototnya.

"Tadi pagi Mama kamu kirim baju sekolah buat kamu." Elang menerima tote bag yang Theo berikan.

"Makasih, Om. Nanti yang nungguin Seyla siapa Om? Om juga harus istirahat di rumah."

Theo tersenyum kecil. "Kamu nggak usah khawatir, nanti Bi Erti kesini buat jagain Seyla. Om juga kirim bodygoard biar kalau ada apa-apa mereka langsung hubungi Om." Katanya membuat Elang menganggukkan kepalanya.

"Aku boleh minta nomor Om nggak?" Tanya Elang yang langsung mendapat kartu nama Theo, dia tersenyum kala mendapatkan itu. "Makasih Om."

"Sama-sama. Kalau gitu Om duluan yah." Elang menganggukkan kepalanya.

"Hati-hati Om." Teriak Elang yang di balas acungan jempol Theo.

Elang kini menatap Seyla yang masih setia dengan tidurnya. Lagi dan lagi Elang mengecup kening itu.

"Aku dapet lampu ijo nih dari Ayah kamu. Bangun dong, betah amat sih tidur." Elang memainkan bibir indah itu, dia tersenyum melihat itu.

"Aku suka kamu tidur gini, Sey. Aku bebas mau ngapain kamu, kalo kamu bangun kan boro megang tangan, ngomong aja aku di sentak." Katanya sambil terkekeh.

Elang mengambil tangan itu dan menciumnya. "Elang mau sekolah dulu yah, Seyeng. Jangan bangun eh maksudnya cepet bangun." Elang mencium kedua pipi itu.

"Lama-lama aku kebablasan kalau gini terus, Sey." Bisiknya tepat di telinga Seyla.

Di lain tempat seorang gadis dengan gaun putihnya tengah berjalan menelusuri taman yang sangat indah itu. Dia tersenyum melihat semua bunga tumbuh dengan indah.

Dia menyelipkan rambutnya ke belakang telinganya saat mendengar suara yang entah dari mana datangnya.

"Aku dapet lampu ijo nih dari Ayah kamu. Bangun dong, betah amat sih tidur."

"Elang mau sekolah dulu yah, Seyeng. Jangan bangun eh maksudnya cepet bangun."

"Lama-lama aku kebablasan kalau gini terus, Sey."

Seyla menutup telinganya saat suara itu memenuhi gendang telinganya. Dia hanya bisa menggelengkan kepalanya.

"Kemarin suara Bunda, Ayah, dan sekarang manusia itu," Katanya dengan wajah sendu. "Sebenarnya aku dimana?"

"Kamu berada di dalam alam bawah sadar kamu." Seyla memutar tubuhnya dan melihat lelaki dengan tubuh yang sangat indah.

"Kamu siapa?"

Lelaki itu berjalan mendekati Seyla, dia memetik bunga lavender yang berada di sana dan memberikannya kepada Seyla.

"Siapa aku itu tidak penting."

Seyla menerima bunga itu. "Lalu kenapa kamu ada di sini?"

"Itu juga bukan urusanmu." Lelaki itu membaringkan tubuhnya di atas rerumputan dan menyuruh Seyla mengikutinya, Seyla pun iktu membaringkan tubuhnya di samping lelaki itu.

"Kenapa semua pertanyaanku nggak kamu jawab?"

"Tidak penting," lelaki itu menghadap ke Seyla. "Bukankah kau melakukan hal yang sama di duniamu? Mengacuhkan mereka yang perduli denganmu, mengabaikan mereka yang sayang padamu."

Seyla menatap lelaki itu. "Mereka pantas mendapatkan itu." Kata Seyla dengan dingin.

"Pantas? Kamu bukan tuhan yang harus memantaskan mereka. Ramahlah dengan siapapun, tersenyumlah meskipun hatimu sakit. Tertawalah meski dunia mu menyedihkan."

"Itu menipu namanya. Aku nggak mau membohongi perasaanku sendiri."

Lelaki itu berdecih. "Lalu bagaimana dengan rindumu dengan orang tua? Kamu membohongi perasaan itu kan. Kamu menghindari mereka padahal hatimu ingin memeluk mereka."

Seyla terdiam. "Aku ingin pulang."

Lelaki itu tersenyum manis, dia mengacak rambut Seyla. "Pilihan yang tepat, berjalanlah dengan hatimu." Seyla menganggukkan kepalanya dan berjalan dengan perlahan.

                                             *****

My Perfect LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang