6. Bersalah

171 20 0
                                    

"Ukhti Lisya dan ukhti Ayu ikut kami ke bagian keamanan sekarang." Ucap ukhti Marisa yang merupakan ketua bagian keamanan santriwati disini.

Apakah aku akan di hukum karena ucapan kasarku tadi?!

Kamipun hanya bisa tertunduk lemas dan mengikuti arahan dari ukhti Marisa yang membawa kami menuju ruang keamanan pondok.

"Mati Dewe Sya. Mati Dewe, ya Allah mengko Nek Dewe di entokke Seko pondok prie Sya? Aku Wedi Sya aku Wedi astagfirullah...." Keluh Ayu dengan tatapan penuh cemas namun suara yang ia keluarkan sungguh lirih bahkan aku hampir tidak bisa mendengar jelas apa yang ia katakan itu.

"Gak Ono seng mati ayu. Wes loh slow ae gak usah tegang ngono loh. Santai cuy." Ucapku dengan terus tersenyum padanya walau jujur aku sedikit merasa takut jika nantinya aku akan mendapat hukuman.

"Dah lah pasrah ae lah aku Sya." Ucap Ayu dengan tertunduk lesu dan terus menggenggam tanganku.

Sejak awal berjalan menuju ruang keamanan ia tak pernah melepas pegangan tangannya dari tanganku dan tangannya masih terus terasa dingin bahkan hingga saat ini.

Akhirnya kamipun sampai pada ruangan yang cukup luas namun tidak terlalu lebar tapi cukup terlihat nyaman.

Kami diminta untuk duduk di sebuah kursi seperti kursi yang berada di ruang kelas kami. Di hadapan kami telah ada meja dan juga ukhti Marisa yang duduk menghadap ke arah kami layaknya seperti akan siap mengintrogasi kami berdua.

Tak ada tatapan ramah di dalam pandangan matanya. Yang tersisa hanyalah ketegasan yang terasa sangat jelas dan mendalam.

"Kenapa kalian berada di luar asrama ketika para santriwati masih berada di asrama dan kamar mereka masing-masing?" Tanya ukhti Marisa dengan nada sedang namun terdengar sangat tegas dan lugas.

Tak heran jika ia dipilih menjadi ketua keamanan pondok .

"Afwan ukhti, tadi saya ingin buang air kecil dan Lisya juga sama jadi kami keluar dari asrama dan ke kamar mandi. Niat kamipun juga ingin mengambil air wudhu sekalian agar nanti ketika bagian keamanan datang ke kamar kami, kami berdua sudah siap untuk ke masjid . " Jelas Ayu dengan tangan yang menggenggam lebih erat dari tadi dan bahkan kini terlihat sedikit bergetar.

"Na'am ukhti . Yang di bilang Ayu itu benar dan niat kami agar nanti ketika saat ukhti Marisa dan bagian keamanan lain hendak membangunkan kami sudah siap ke masjid dan melakukan sholat tahajud dan tadarusnya ukhti." Tambahku dengan tertunduk sama seperti Ayu. Bukan karena aku merasa takut pada Ukhti Marisa namun aku hanya tak ingin mendapat masalah lagi jika aku tak menjaga sikap ku.

"Untuk sementara alasan kalian saya terima. Tapi tetap saja apa yang ukhti Lisya lakukan tadi itu tidak mencerminkan seorang santriwati yang baik dan juga mempunya akhlak yang baik. " Balas Ukhti Marisa yang kini terlihat sedikit lebih tegas dari sebelumnya

Nada bicaranya pun terdengar agak sedikit meninggi.

"Afwan ukhti tadi saya khilaf. Saya janji tidak akan mengatakan perkataan kasar lagi ." Balasku.

"Ukhti Marisa tapi bukankah tadi Ukhti Lisya lah yang telah berhasil melumpuhkan maling tadi? Jadi bukankah ia tak berhak untuk mendapat hukuman bukan? Masalah perkataan kasarnya bukankah perkataannya masih bisa di maafkan? Jadi mengapa ukhti Lisya masih disini bersama dengan temannya? Bukankah seharusnya Ukhti Lisya sudah berada di masjid untuk melakukan sholat tahajud dan tadarus seperti santriwati lain? Jika memang ukhti Lisya telah melakukan kesalahan maka maklumi lah dan berikan ia kebebasan karena jika tanpa bantuannya maka mungkin maling itu tidak akan terkejar dan akan pergi dengan tenang." Ucap seorang lelaki yang berada di belakang kami berdua.
Dari suaranya saja aku sudah sangat mengenalnya.
Aku tau jelas siapa pemilik suara itu tapi hal yang membuatku begitu terkejut dengan setiap kalimat yang ia ucapkan barusan!
Itu membuatku menjadi salah tingkah dan kurasa kini aku mulai baper...

"Akhi Fathi! Siapa yang mengizinkan Akhi untuk datang dan menyela pembicaraan antara saya dan mereka?! Bukankah Anda baru saja masuk ke pondok pesantren ini bukan? Jika anda tidak keberatan maka tunjukan sikap sopan santun layaknya seorang santriwan yang mempunyai akhlak yang baik dan cerdas." Ucap Ukhti Marisa dengan nada yang cukup tinggi dengan menatap tajam ke arah akhi Fathi.

Ayu hanya menatap ke arahku dengan tatapan bingung dan cemas dan aku terus menatap ke arah Akhi Fathi yang terlihat tidak menunjukan rasa takut .

"Maafkan saya ukhti. Saya memang santri baru disini tapi saya hanya ingin mengingatkan bahwa apa yang dilakukan ukhti Lisya tadi merupakan salah satu kebaikan yang patut untuk di apresiasi. " Balas Akhi Fathi dengan tegas.

"Baiklah. Ukhti Lisya dan Ukhti Ayu silahkan Kembali ke asrama dan segera menyusul ke masjid. Dan untuk anda Akhi Fathi silahkan membacakan Asmaul Husna dengan berlari dan membawa satu kursi yang di angkat tepat di atas kepala. Jika sudah jelas silahkan keluar. " Ucap Ukhti Marisa dengan tegasnya.

Seketika Ayu langsung menarik tanganku dan mengucapkan salam lalu mengajakku untuk pergi.

Namun aku masih ingin melihat Akhi Fathi karena akulah dia harus melakukan hukuman dari Ukhti Marisa.
Tetapi belum sempat melihat Akhi Fathi keluar Ayu yang dengan kencangnya menarik tanganku pun terus membawaku menjauh dari ruang keamanan dan membuatku tak bisa bertemu dengan Akhi Fathi.

*****

Sholat tahajud telah dilaksanakan, tadarus pun sudah kini hanya tinggal menunggu adzan subuh berkumandang. Disela-sela kantuk yang mulai menyerang aku masih terus memikirkan tentang keadaan Akhi Fathi.

Bukan masalah tentang betapa kerennya dia tadi saat membela ku namun lebih dari itu.
Aku takut jika kakinya terluka karena tak mudah berlari dengan membawa sebuah kursi yang berat di atas kepala.

Akupun bergegas menuju tempat wudhu untuk melihat apakah ada bagian keamanan yang berjaga diatara asrama . Karena memang tempat wudhu di masjid ini bisa terlihat dari asrama milik para santriwati

Tapi tiba-tiba saat hendak menuju tempat wudhu wanita langkahku terhenti oleh sosok laki-laki yang tengah terduduk di pinggir keran air dan terlihat sedang mengelus-elus kakinya .

Tampak samar - samar namun akhirnya aku bisa melihat jelas siapa sosok itu sebenarnya.

"Assalamualaikum Akhi ." Ucapku dengan melihat ke arah kakinya terlihat terluka dengan beberapa luka lecet yang mulai berdarah.

"Waalaikumsalam ukhti. Ukhti jangan disini ini bukan tempat wudhu wanita jika ada bagian keamanan melihat maka ukhti akan mendapat masalah nanti ." Balas Akhi Fathi.
Sosok itu adalah Akhi Fathi dan benar kakinya benar- benar terluka.

"Maafkan saya Akhi karena saya kaki Akhi Fathi jadi terluka seperti ini. Sekali lagi saya minta maaf Akhi." Ucapku dengan tertunduk

"Astagfirullah jangan menyalahkan diri seperti itu. Sudah sepatutnya saya mendapat hukuman karena sikap tidak sopan saya. Saya hanya menyampaikan kebenaran ukhti . Apa yang ukhti lakukan tadi jauh lebih mulia jika dibandingkan dengan saya. Apakah ukhti baik-baik saja? Apakah ada yang terluka?" Tanya Akhi Fathi dengan melihat ke arahku.

"Alhamdulillah saya baik-baik saja Akhi. Terima kasih. Tapi kaki Akhi terluka harus segera di perban jika tidak lukanya akan infeksi Akhi." Balasku dengan terus menatap ke arah kakinya.

"Tak apa ukhti. Bukankah Ali bin Abi Thalib harus berdarah dahulu untuk mendapatkan Fatimah? Saya tidak apa-apa ukhti. Tenang saja." Balas Akhi Fathi dengan tersenyum

"Biar saya perban luka Akhi. " Ucapku dengan merobek sisi bawah dari mukenaku. Dan segera saja ku balutkan robekan itu kedalam kaki Akhi Fathi yang terluka itu.

Ia terus melihat ke arahku namun aku tak berani untuk menatap ke arahnya.

"Setelah sholat nanti segera bawa ke ruang kesehatan dan mintalah untuk di perban . Maaf Akhi saya duluan." Ucapku dengan bergegas bangkit dari posisiku dan berjalan ke arah tempat wudhu wanita.

"Ukhti datanglah ke pohon belakang pondok di dekat sungai nanti siang. " Ucap Akhi Fathi sebelum akhirnya dia pergi menuju ke arah tempat shof para santriwan.

Apa maksudnya tadi?
Pohon belakang pondok?
Ada apa disana?

Assalam'ualaikum Ustad!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang