BAGIAN 2

128 8 0
                                    

Semua orang yang tinggal di Kadipaten Lawang tahu, di lereng Gunung Arjuna pada bagian sebelah timur terdapat dataran yang agak luas, terdapat sebuah perkampungan yang dihuni sanak saudara Ki Jayeng Rono. Seorang tokoh silat dengan kepandaian cukup tinggi.
Orang tua yang tahun ini genap berusia tujuh puluh tahun ini dalam rimba persilatan dikenal berjuluk si Macan Terbang. Namun belakangan ini namanya dikenal sebagai hartawan kaya raya di seluruh Kadipaten Lawang. Bahkan sebagian orang merasa yakin kalau Ki Jayeng Rono merupakan orang terkaya di kadipaten ini.
Hari ini, di rumah Ki Jayeng Rono yang tampak megah, terlihat kesibukan yang lumayan besar. Pasalnya, laki-laki tua itu hendak mengadakan hajat perkawinan cucunya yang bernama Rajapadmi, dengan cucu seorang tokoh terkenal dan disegani di dunia persilatan. Konon nama pemuda itu Jaka Tawang, cucu Ki Sendrogowo yang di rimba persilatan dikenal sebagai Serigala Berbulu Hitam.
Kali ini Ki Jayeng Rono yang semula begitu gembira menyambut pesta perkawinan ini, apalagi beliau yang menjodohkan, kelihatan bersedih selama dua hari belakangan ini. Orang tua itu lebih suka mengurung diri di kamarnya, sementara yang lain menyiapkan segala sesuatu untuk kelangsungan hajat. Dan ini agaknya tidak luput dari perhatian Rajapadmi.
"Ada apa, Rajapadmi?" tanya Ki Jayeng Rono, ketika seorang gadis cantik berambut panjang memasuki kamar ini.
Gadis bernama Rajapadmi tidak langsung menjawab. Dia tampak ragu-ragu, dan sesekali memandang wajah eyangnya.
"Aku justru hendak menanyakan itu pada Eyang...," kata Rajapadmi, lirih.
"Apa maksudmu?"
"Kulihat telah dua hari ini Eyang selalu mengurung diri di kamar. Ada apa, Eyang? Apakah kau hendak membatalkan perkawinan ini?"
"Kenapa berpikir begitu, Padmi? Tentu saja tidak!" sahut laki-laki tua itu seraya tertawa lebar.
"Lalu kenapa Eyang mesti mengurung diri?" cecar Rajapadmi.
Ki Jayeng Rono tidak mampu menjawabnya secara langsung. Wajahnya yang sempat berseri-seri, kembali murung seperti diliputi kabut tebal.
"Ada apa, Eyang? Apa yang membuat kau kelihatan bersedih?"
Ki Jayeng Rono menarik napas panjang, lalu bangkit berdiri dan membelakangi cucunya.
"Entahlah. Belakangan ini aku mimpi buruk. Dan itu selalu membayangi. Seolah-olah mimpi itu seperti kenyataan...," tutur Ki Jayeng Rono.
"Mimpi apa, Eyang?"
"Perkampungan kita ini diliputi awan hitam. Dan di beberapa bagian, terlihat nyala api berkobar-kobar. Eyang berusaha memadamkannya, namun kedua kaki ini seperti terpaku di tempat. Jerit tangis bersahut-sahutan. Dan...."
Ki Jayeng Rono tak kuasa melanjutkan ceritanya. Orang tua itu terdiam. Matanya kosong, memandang ke depan melewati jeruji jendela.
"Mimpi hanya sekadar kembang tidur, Eyang. Kenapa kau begitu merisaukannya?" bujuk Rajapadmi, seraya menghampiri orang tua itu.
"Aku takut hal-hal dulu menghantui...."
Ki Jayeng Rono tidak melanjutkan kata-katanya. Agaknya dia sadar kalau kenangan masa mudanya yang buruk tidak boleh diketahui anak cucunya. Selama ini, sosok Ki Jayeng Rono dikenal sebagai seorang dermawan. Bertingkah laku arif, bijaksana, serta santun. Dari mulutnya pun sering terdengar wejangan-wejangan yang welas asih.
"Apa maksud Eyang? Apakah ketika muda kau pernah melakukan hal-hal buruk?" tanya Rajapadmi curiga.
"Bicara apa kau? Tentu saja tidak! Kita keluarga terhormat. Jadi mana mungkin aku melakukan perbuatan-perbuatan buruk!" tangkis orang tua itu cepat.
"Kalau demikian tidak ada yang perlu dikhawatirkan!" tandas Rajapadmi.
"Ya, ya! Sebenarnya memang begitu...," sahut Ki Jayeng Rono mengangguk cepat, untuk menghilangkan kecurigaan cucunya.
Sikap itulah yang selama ini ditunjukkannya kepada seluruh penghuni perkampungan ini. Sosok tegar yang tidak tergoyahkan oleh badai apa pun!
"Kalau demikian hilangkanlah pikiran-pikiran buruk itu. Tenanglah. Dan jangan terlalu dimasukkan ke hati mimpi-mimpi buruk itu!" ujar Rajapadmi, sedikit menasihati. "Tunjukkanlah pada orang-orang bahwa sesungguhnya Eyang bergembira menyambut hari perkawinanku!"
"Ya, ya. Kau benar, Rajapadmi!"
Gadis yang baru saja memasuki usia tujuh belas tahun itu tersenyum lebar. Digamitnya lengan laki-laki tua itu untuk diajaknya keluar dan berbaur dengan yang lain. Tapi pada saat yang sama seorang laki-laki setengah baya masuk ke dalam ruangan.
"Sompak, ada apa?!" tanya Rajapadmi heran.
Orang yang baru datang memang Sompak pembantu setia Kamajaya yang juga saudara sepupu Rajapadmi. Dan gadis itu tidak perlu bertanya lebih lanjut ketika melihat Kamajaya mengerang-ngerang kesakitan dipapah dua orang pembantu lain ke ruangan ini. Mukanya lembab dan biru seperti dikeroyok orang sekampung. Demikian pula sekujur tubuhnya.
"Astaga! Kakang Kamajaya! Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau jadi begini?" seru Rajapadmi kaget.
"Kamajaya, apa yang terjadi padamu? Kenapa kau jadi begini?!" timpal Ki Jayeng Rono.
Laki-laki tua itu geram bukan main. Hampir seluruh orang di Kadipaten Lawang kenal padanya. Bahkan tidak akan berani mengganggu orang-orang perkampungannya. Apalagi cucunya. Lagi pula kalau sekadar menghadapi pemuda sebayanya sampai berjumlah lima orang, Kamajaya masih mampu merobohkan. Tapi melihat keadaannya demikian, pastilah yang menghajarnya bukan orang sembarangan. Mungkin sengaja mau cari gara-gara dengannya.
"Oh, sakit...! Sakit sekali...!" keluh pemuda itu merintih-rintih.
"Rajapadmi! Bawa dia pada Paman Teja untuk mendapat perawatan sebaik-baiknya!" ujar Ki Jayeng Rono dengan wajah tidak sedap dipandang.
Orang yang disebut Paman Teja adalah seorang tabib andalan perkampungan ini. Ramuan-ramuan obatnya selalu mujarab. Dan selama ini sanggup mengobati penyakit apa pun.
"Kau di sini. Dan ceritakan padaku, apa yang telah menimpa Kamajaya!" ujar Ki Jayeng Rono ketika melihat Sompak hendak mengekor Rajapadmi yang telah keluar ruangan bersama Kamajaya yang dipapah dua orang pembantunya.
"Eh, iya!" Sompak segera berlutut dan menundukkan kepala.
"Siapa yang menghajarnya?!" tanya Ki Jayeng Rono dengan suara agak keras mengagetkan.
"Hamba tidak tahu orangnya, Ki. Dia..., dia memakai topeng merah terbuat dari kayu," sahut Sompak, tergagap.
"Dia tidak menyebutkan nama?" kejar Ki Jayeng Rono.
"Tidak, Ki."
Laki-laki itu terdiam untuk beberapa saat. Kemudian kembali dipandangnya tajam-tajam ke arah Sompak. "Apa yang menyebabkan orang bertopeng itu menghajar Kamajaya?" tanya Ki Jayeng Rono lagi.
"Dia datang begitu saja, lalu membuat Den Kamajaya marah dan berusaha menamparnya. Orang bertopeng itu cukup gesit mengelak. Bahkan balas menghajar, sampai Den Kamajaya tidak bisa menguasai diri," jelas Sompak.
"Apa yang mereka percakapkan sehingga Kamajaya marah padanya?" cecar Ki Jayeng Rono.
"Entahlah, Ki. Saat itu hamba berada di luar. Tapi lamat-lamat hamba mendengar, orang bertopeng itu menyebut Den Kamajaya sebagai turunan pengecut. Padahal Den Kamajaya telah bersikap sopan mengajaknya untuk minum bersama."
Ki Jayeng Rono kembali terdiam memikirkan penjelasan barusan. Dicoba-cobanya untuk menerka, siapa sebenarnya orang bertopeng merah itu.
"Dia menyebut Kamajaya sebagai turunan pengecut? Siapa orang itu?" gumam Ki Jayeng Rono.
"Tapi orang bertopeng itu kelihatannya cukup hebat, Ki. Rasanya, meski Den Kamajaya tidak mabuk pun, akan sulit mengalahkannya," lanjut Sompak.
"Kenapa kau begitu yakin?"
"Empat kawan Den Kamajaya yang ingin membantu menghajar orang bertopeng itu, dibuat babak belur tak berdaya dengan sekali pukul!" jelas Sompak lagi penuh semangat.
"Hm, apakah dia hanya seorang?"
"Kelihatannya begitu, Ki."
"Coba kau ingat-ingat, Sompak. Apakah ada sesuatu dari omongannya yang menarik perhatianmu?"
"Ng.... apa ya? Ah, iya! Aku ingat!" seru Sompak.
"Apa itu?"
"Dia memberi peringatan kepada Ki Jayeng!"
"Peringatan apa yang kau maksudkan?" tanya Ki Jayeng Rono dengan alis berkerut.
"Katanya, Ki Jayeng akan mendapat kunjungan saudara angkat," jelas Sompak.
"Hm...!" Wajah Ki Jayeng semakin berkerut seperti tengah berpikir keras untuk mengingat-ingat, siapa saudara angkatnya.
"Apakah Ki Jayeng punya saudara angkat?" tanya Sompak dengan wajah lugu.
"Aku tidak punya saudara angkat sejahat itu," tegas laki-laki tua ini.
"Ya, aku pun percaya. Orang itu pasti membual!" dengus Sompak geram.
"Apakah dia mengatakan kapan akan datang?"
"Tidak, Ki. Tapi kurasa dia tidak akan berani menunjukkan batang hidungnya disini, setelah menghajar Den Kamajaya. Apalagi orang itu memang pengecut. Kalau tidak pengecut, tentu tidak akan menyembunyikan wajahnya di balik topeng!" lanjut pembantu itu lagi, masih menyisakan kegeraman hatinya.
"Ya, sudah. Kau kembali ke tempatmu. Dan jaga baik-baik majikanmu!" ujar Ki Jayeng Rono.
"Baik, Ki!" Setelah menjura hormat, Sompak bangkit. Tubuhnya berbalik, lalu melangkah pergi.
Sepeninggal Sompak, Ki Jayeng Rono kembali merenung. Sebentar-sebentar dia mondar-mandir, kemudian berdiri tertegun sambil memandang keluar lewat jeruji jendela.
"Apakah mereka?" gumam Ki Jayeng Rono. "Mustahil! Mereka pasti sudah mati!"
Tok! Tok! Tok!
"Heh?!" Ki Jayeng Rono sedikit kaget ketika mendengar ketukan dari luar pintu. Kakinya segera melangkah, dan segera membuka pintu.
"Ayah! Apa yang terjadi pada Kamajaya? Siapa yang melakukannya?" tanya seorang laki-laki setengah baya dengan wajah merah padam, ketika Ki Jayeng Rono membuka pintu lebar-lebar.
Laki-laki setengah baya berpakaian indah dari sutera berwarna kuning itu langsung saja menerobos masuk ruangan ini, ditemani seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun.
"Tenanglah, Dilaga. Jangan terpancing amarah begitu...," ujar Ki Jayeng Rono, berusaha menenangkan laki-laki setengah baya yang dipanggil Dilaga.
"Tapi Ayah, Kamajaya babak belur. Dan kita tidak bisa mendiamkannya begitu saja. Orang itu mesti ditangkap untuk mendapat pembalasan setimpal!" timpal wanita disamping Dilaga dengan sikap tidak kalah garang.
"Tenanglah kataku! Kemarahan kalian tidak akan menyelesaikan persoalan!" seru Ki Jayeng Rono agak keras.
Mendengar bentakan, dua orang yang agaknya adalah suami istri ini terdiam meski masih menyiratkan amarah pada wajah masing-masing.
"Nah, begitu lebih baik...!" lanjut orang tua itu. Ki Jayeng Rono menarik napas panjang lebih dulu, sebelum melanjutkan kata-katanya.
"Aku telah mendapat keterangan bahwa yang menghajar Kamajaya adalah seorang yang memakai topeng merah agar wajahnya tidak dikenali. Aku tidak kenal dengannya. Dan seperti kalian ketahui, aku pun tidak bermusuhan dengan siapa pun. Jadi jelaslah dengan peristiwa itu, dia sengaja menciptakan permusuhan. Apalagi menjelang hajat perkawinan Rajapadmi. Aku khawatir orang itu akan semakin mengacaukan hajat itu. Oleh sebab itu, maka perintahkan semua orang di perkampungan ini untuk waspada," papar Ki Jayeng Rono.
"Tapi Ayah... Apakah mungkin dia akan kesini? Hanya orang sinting yang berani mengacau. Di sini berkumpul beberapa tokoh persilatan yang berilmu tinggi, seperti kakak iparku Ki Sabda Kalaka yang bergelar Kelelawar Hitam. Lalu ada besan si Joyologo yaitu Ki Sukatan Jember, yang bergelar Pendekar Tongkat Maut. Serta, ada juga Ki Danang Rejo yang menjadi Ketua Perguruan Tapak Buana. Di perkampungan ini pun tidak kurang jago-jago lainnya dari keluarga kita sendiri!" tukas Dilaga, yang merupakan putra pertama Ki Jayeng Rono.
"Orang-orang Topeng Merah itu tidak bisa dipandang sebelah mata, Dilaga."
"Hei?! Ayah kenal mereka rupanya?"
"Tidak. Ayah hanya menduga-duga. Belakangan ini ada komplotan yang menamakan diri mereka Gerombolan Topeng Merah. Ciri-ciri mereka yang mudah dikenali adalah topeng merah selalu dikenakan," jelas Ki Jayeng Rono.
"Apakah sebelumnya kita pernah berurusan dengan mereka Ayah?" tanya Dilaga sedikit curiga.
"Apa keuntungan kita berurusan dengan mereka? Gerombolan Topeng Merah melakukan apa saja yang mereka suka. Membunuh, merampok, serta perbuatan-perbuatan keji lainnya. Mereka tidak perlu alasan untuk melakukan hal itu."
Dilaga terdiam sesaat lamanya. Demikian pula istrinya.
"Tapi kita tidak bisa mendiamkan perbuatan mereka begitu saja, Ayah!" lanjut Dilaga masih dengan wajah penasaran.
"Apa yang bisa kita lakukan? Mereka adalah gerombolan kuat yang rata-rata berilmu tinggi. Dan lagi pula, tidak ada seorang pun yang mengetahui, di mana sarang mereka. Orang-orang itu datang dan pergi bagai angin. Yang bisa kita lakukan sekarang adalah waspada!"
Dilaga dan istrinya tidak banyak bicara lagi. Mereka bermaksud hendak meninggalkan ruangan ini, namun mendadak terdengar ribut-ribut dari luar. Tak lama, seorang pelayan masuk. Dia langsung berlutut hormat di hadapan Ki Jayeng Rono.
"Maaf, Ki. Hamba terpaksa masuk untuk melaporkan sesuatu!" ucap pelayan itu.
"Ada apa?" tanya Ki Jayeng Rono.
"Seseorang tengah mengacau di tembok sebelah barat. Saat ini, Den Ayu Sri Dewi dan Den Sukasrana tengah berusaha menghalaunya!"
"Kurang ajar! Ingin kulihat, bagaimana tampang pengacau itu!" dengus Dilaga.
Seperti mendapat pelampiasan dari kekesalan hatinya, Dilaga bergegas meninggalkan ayahnya diikuti istrinya. Sementara Ki Jayeng Rono mengikuti dengan langkah lambat.
Setiba di tempat kejadian, Ki Jayeng Rono, Dilaga, dan istrinya, hanya menemukan beberapa pelayan yang telah roboh jadi mayat. Sementara Sri Dewi dan Sukasrana kelihatan berkerut wajahnya menahan rasa sakit hebat. Sedangkan beberapa pelayan masih berdiri di tempat itu.
"Mana pengacau itu?!" tanya Dilaga, membentak.
"Sudah pergi, Ki!" sahut seorang pelayan.
"Kurang ajar! Kenapa kalian tidak menahannya?! Dasar goblok! Tolol! Apa kerja kalian semua, he?!" bentak Dilaga kalap.
Tak seorang pun yang berani menyahut. Semuanya diam tertunduk, diam seribu bahasa.
"Dilaga! Kau tidak sepatutnya bicara sekasar itu pada mereka. Orang-orang itu telah berusaha sekuat tenaga, bahkan telah jatuh korban di pihak kita. Tapi kemampuan lawan memang tinggi. Mestinya kau harus menghargai usaha mereka," ujar Ki Jayeng Rono, menasihati.
Dilaga yang tengah kalap karena kejadian yang menimpa Kamajaya putranya, agaknya tidak bisa menerima wejangan begitu saja. Setelah memberi hormat pada orang tua itu, dia segera berlalu dengan wajah gusar.
Ki Jayeng Rono menghela napas panjang, membiarkan saja putranya berlalu. Kemudian didekatinya Sri Dewi dan Sukasrana.
"Kalian tidak apa-apa?" tanya Ki Jayeng Rono.
"Hanya sedikit luka, Eyang," sahut Sri Dewi.
Gadis berusia enam belas tahun ini adalah adik Kamajaya, anak nomor dua Dilaga. Sedangkan Sukasrana yang usianya sebaya dengannya, adalah adik Rajapadmi.
Ki Jayeng Rono memeriksa sebentar. Dan mereka hanya mendapat sedikit memar-memar.
"Siapa yang datang?" tanya laki-laki tua itu kembali.
"Entahlah, Eyang. Kami tidak mengenalinya. Orang itu memakai topeng merah terbuat dari kayu. Dia datang tiba-tiba saja, lalu membunuhi orang-orang kita," jelas Sri Dewi.
"Hanya seorang?"
Kedua anak muda itu mengangguk.
"Dia tidak meninggalkan pesan apa-apa?" kejar Ki Jayeng Rono.
"Ada. Tapi kami tak percaya!" sahut Sri Dewi.
"Apa katanya?"
"Katanya, Eyang berhutang padanya. Dan oleh sebab itu, dia hendak menagihnya!" sahut Sri Dewi, polos.
Ki Jayeng Rono terdiam untuk sesaat.
"Bukankah itu mengada-ada? Kita tidak kurang suatu apa pun. Maka mana mungkin Eyang berhutang padanya! Benarkah, Eyang?!" lanjut gadis itu masih dengan wajah kesal.
"Tentu saja! Eyang tidak pernah berhutang pada siapa pun."
"Dasar orang gila tak tahu diri! Kalau saja dia datang baik-baik meminta makanan atau uang, pasti akan kuberikan. Tapi orang ini mungkin sinting atau sengaja cari permusuhan!" rutuk Sri Dewi bersungut-sungut.
"Sudahlah. Biar nanti cari tahu soal orang ini. Sekarang kalian bantu mereka untuk membereskan tempat ini!"
Sukasrana dan Sri Dewi menjura hormat, lalu berbaur dengan para pelayan untuk membereskan tempat yang berantakan ini. Sementara para pelayan yang lain telah menggotong mayat-mayat kawan mereka, untuk dikebumikan secara layak.
Kini Ki Jayeng Rono masih terpaku di tempatnya dengan wajah kusut. Pikirannya saat ini dihantui sesuatu yang mulai membayanginya belakangan ini.

***

173. Pendekar Rajawali Sakti : Teror Topeng MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang