BAGIAN 6

100 8 0
                                    

Melihat itu Ki Jayeng Rono gusar bukan main. Namun sebelum dia turun tangan, mendadak....
"Keparat busuk, lihat serangan!"
Ki Jayeng Rono menoleh, melihat satu sosok tubuh berkelebat menerjang orang bertopeng. Ternyata dia tak lain dari Ki Sabda Kalaka yang merupakan saudara tua istri Dilaga. Kepandaian Ki Sabda Kalaka yang berjuluk si Kelelawar Hitam itu tidak rendah. Buktinya, Ki Jayeng Rono pun menyeganinya. Senjatanya adalah sepasang tongkat hitam yang di ujungnya terdapat pisau kecil.
"Hehehe...! Kukira siapa. Ternyata, hanya kelelawar buduk!" ejek laki-laki bercaping sambil tertawa mengejek.
Dipandang rendah demikian, si Kelelawar Hitam yang selalu memakai jubah hitam itu tidak mempedulikannya. Langsung dia menyerang ganas.
"Yeaaa...!"
Kepalan tangan Ki Sabda Kalaka yang berisi tenaga dalam tinggi ditangkis dengan mudah oleh telapak tangan kiri laki-laki bertopeng.
Plak!
"Uhhh...!" Kakak ipar Dilaga itu mengeluh tertahan, merasakan dorongan tenaga yang lebih kuat menghantamnya. Seperti tidak mempedulikan kekuatan laki-laki bercaping itu, dia terus melenting ke atas. Setelah membuat gerakan jungkir balik dua kali, tubuhnya meluruk sambil menyambar batok kepala lawannya.
"Hup!"
Orang bertopeng dan bercaping hanya terkekeh dingin. Dalam keadaan masih berdiri tegak, sepertinya dia tidak berusaha menghindar. Namun sedikit lagi serangan Ki Sabda Kalaka akan menghantam, dengan gerakan sangat mengagumkan, tubuhnya melenting ke belakang. Begitu mendarat, kaki kanannya langsung melepas tendangan maut. Dalam keadaan melayang di udara, mana mungkin si Kelelawar Hitam mampu menghindar. Akibatnya....
Desss!
"Aaakh...!" Ki Sabda Kalaka kontan berteriak kesakitan. Tubuhnya terjerembab ke depan sejauh tujuh langkah dengan dada dan perut serasa remuk.
"Hehehe...! Ayo bangun, Kelelawar Buduk! Apa kau hendak bertelor di situ?!" ejek laki-laki bercaping itu.
"Keparat!" bentak si Kelelawar Hitam, geram bukan main.
Saat itu juga, Ki Sabda Kalaka mencabut sepasang tongkat hitamnya. Lalu dia melompat menyerang. "Sekarang kau boleh tertawa di neraka sana!" desis Ki Sabda Kalaka.
Pada saat itu juga Dilaga telah ikut siap membantu.
"Kakang! Biar aku membantumu merencanakan batok kepalanya!"
Si Kelelawar Hitam agaknya tidak berusaha menolak bantuan. Karena disadari, menghadapi orang bercaping itu seorang diri belum mampu menjatuhkannya. Maka dibantu beberapa pengawal kedua orang itu segera mengeroyok laki-laki bercaping.
Sementara laki-laki bertopeng dan bercaping kelihatan tenang-tenang saja, meski tidak sebebas tadi ketika menghadapi keroco-keroco. Dua lawan utama yang dihadapi tidak bisa dipandang sebelah mata.
Di arena pertarungan lain, laki-laki bertopeng bersenjata tongkat baja sudah berusaha menahan gempuran dua orang lawan yang ternyata Ki Joyologo dan Ki Sukatan Jember. Permainan tongkatnya memang masih berada di atas Ki Sukatan Jember. Namun gerakannya sering dikacaukan oleh pedang Ki Joyologo. Sehingga semakin lama, dia betul-betul tak berdaya.
Trak!
Terjadi benturan ketika tongkat orang bertopeng merah itu menangkis tongkat Ki Sukatan Jember. Sebelum dia sempat melakukan serangan balasan, sodokan pedang Ki Joyologo telah mengincar jantungnya dari samping. Secepat kilat, orang bertopeng merah ini menggerakkan tongkatnya.
Trang!
Begitu berhasil menangkis, serangan Ki Sukatan Jember telah menanti orang bertopeng ini dari belakang. Tidak ada waktu lagi untuk menangkis. Dan....
Duk!
"Aaakh...!" Orang bertopeng merah dan bersenjata tongkat itu menjerit kesakitan ketika pinggangnya kena gebuk Ki Sukatan Jember. Sesaat tubuhnya sempoyongan.
"Hei?!" Melihat kawannya terdesak, laki-laki bertopeng merah yang mengenakan caping menoleh. Pada saat itu juga mereka saling menoleh mengangguk seperti memberi isyarat. Lalu....
"Suiiittt..!"
Sesaat orang-orang di perkampungan kecil ini terkejut mendengar suitan dari salah satu orang bertopeng merah. Meski tidak tahu maksudnya, namun sedikit-sedikit mereka mengerti apa yang diperbuat kedua orang bertopeng itu. Kalau tidak melarikan diri, tentu mencari bantuan. Sementara kedua orang bertopeng ini kembali melanjutkan pertarungan. Itu berarti suitan barusan mengisyaratkan permintaan bantuan.
Ternyata benar saja. Sebentar saja telah berlompatan dua orang bertopeng merah lain, masuk ke arena pertarungan. Yang seorang bertubuh tinggi besar. Sepasang lengannya panjang kokoh dan kelihatan kuat. Yang seorang lagi tidak terlalu tinggi, namun rambutnya panjang riap-riapan. Di pinggangnya terlihat sepasang senjata tongkat pendek yang salah satu ujungnya berbentuk cakar dari besi. Kedua orang itu langsung mengamuk sejadi-jadinya. Dalam waktu singkat mereka telah membuat banyak korban.
"Kurang ajar! Ini tidak bisa dibiarkan! Danang Rejo! Kau bisa meladeni yang seorang lagi!" ujar Ki Jayeng Rono seraya menyongsong orang bertopeng yang bersenjata sepasang tongkat berujung cakar besi.
Laki-laki berusia enam puluh tahun yang dipanggil Ki Danang Rejo, adalah kawan Ki Jayeng Rono. Tokoh yang juga Ketua Perguruan Tapak Buana ini memang sejak tadi belum turun tangan. Maka begitu mendapat isyarat dari Ki Jayeng Rono, dia segera berkelebat, menghadang orang bertopeng yang bertubuh tinggi besar tanpa senjata sebuah pun.
"Hehehe...! Jadi, ini Jayeng Rono yang kesohor itu? Sayang sekali. Kau dan seluruh keluargamu akan musnah hari ini!" ejek orang bertopeng yang bersenjata sepasang tongkat berujung cakar besi sambil tertawa, ketika Ki Jayeng Rono mendarat satu tombak di depannya.
"Siapa pun kalian, jangan harap bermimpi bisa berbuat seenaknya di tempatku!" dengus Ki Jayeng.
"Hehehe...! Kau hendak menunjukkan kegaranganmu, Orang Tua Busuk?! Kalau dulu boleh saja. Tapi sekarang, jangan harap! Gerombolan Topeng Merah akan menghancurkanmu!"
"Apa sebenarnya yang kalian inginkan dariku?" tanya laki-laki tua itu heran dengan dahi berkerut.
"Aku tidak bermusuhan dengan kalian. Tapi tiba-tiba saja Gerombolan Topeng Merah mencari gara-gara."
"Sebenarnya ini bukan urusan pribadiku, tapi dua kawanku. Kau pasti mengenal mereka. Dan kemudian ketua kami menemukan hal lain yang menarik sehingga menjadi urusan kami semua," jelas orang bertopeng merah itu.
"Tidak usah banyak omong! Katakan saja apa mau kalian?!" bentak Ki Jayeng Rono.
"Gulungan kulit itu. Lalu semua hartamu! Serahkan atau kau tidak akan selamat! Kau dan seluruh keluargamu akan disapu bersih!"
"Apa maksudmu? Gulungan kulit yang mana yang dimaksudkan?" tanya Ki Jayeng Rono pura-pura tidak mengerti.
"Tidak usah berpura-pura, Bangsat! Serahkan saja cepat kalau mau selamat!"
"Huh! Aku tidak mengerti alasan kalian. Gulungan kulit yang mana yang kalian inginkan? Seingatku memang aku punya gulungan kulit Tapi itu sudah dijadikan hiasan atau lukisan," kilah Ki Jayeng Rono.
"Kau terlalu banyak berpura-pura, Orang Tua Busuk! Kau kira kami ke sini dengan niat kosong, he?! Kenalkah kau dengan kedua saudara angkatmu?"
"Aku semakin tidak mengerti bicaramu. Seumur hidup, aku sama sekali tidak mempunyai saudara angkat!" bantah orang tua itu.
"Bagaimana dengan Tunggul Wetu dan Janang Uwung?"
Ketika disebutkan kedua nama itu, darah Ki Jayeng Rono seketika berdesir. Jantungnya berdetak lebih kencang. Wajahnya separo pucat Kedua nama yang disebutkan itu memang saudara angkatnya. Pikirannya langsung melayang pada peristiwa puluhan tahun lalu pada masa mudanya. Saat itu mereka sering melakukan tindakan-tindakan tidak terpuji seperti merampok, membunuh, serta memperkosa para wanita. Ketiganya mulai terkenal sebagai Tiga Perampok Bukit Tunggul, karena wilayah kekuasaan mereka memang di sekitar Bukit Tunggul.
"Kau kenal mereka, bukan?" sindir orang bertopeng itu, terdengar sinis.
Sesaat Ki Jayeng Rono melirik ke arah lain, khawatir ada orang yang mendengar pembicaraan itu. Karena perbuatan-perbuatan dimasa mudanya dulu tentu saja bisa meruntuhkan wibawanya di depan keluarganya. Padahal, mereka sudah kepalang menganggapnya sebagai orang terhormat.
"Huh! Kau salah duga. Aku sama sekali tidak kenal nama-nama yang kau sebutkan!" sergah Ki Jayeng Rono.
"Hehehe...! Bagi seorang terhormat sepertimu, terang saja membantahnya. Tapi siapa peduli? Kami tetap meminta gulungan kulit itu dan seluruh harta kekayaanmu. Atau kau dan semua keluargamu mati sia-sia!" ancam orang bertopeng ini.
"Tidak perlu mengancam kami. Sebab kalian tidak akan mendapatkan apa yang diinginkan!" dengus Ki Jayeng Rono.
"Hiaaat...!"
Bersamaan dengan itu Ki Jayeng Rono meluruk menyerang ganas. Kelihatannya, dia hendak membunuh laki-laki bertopeng itu secepatnya. Paling tidak, untuk membungkam orang yang mungkin tahu banyak tentang dirinya semasa muda.
Bet! Wut!
Dengan jurus-jurus andalan yang dipadu permainan pedang, gerakan Ki Jayeng Rono jadi amat berbahaya sekaligus sulit dihindari. Tangan kiri mencakar dan tangan kanan memainkan jurus ilmu pedang. Itulah jurus yang dibanggakannya, jurus 'Macan Terbang'.
Tapi orang bertopeng merah yang dihadapi Ki Jayeng Rono bukanlah sembarangan orang. Saat itu juga senjata tongkatnya bergerak menangkis pedang orang tua ini.
Trang!
Pada saat yang sama, orang bertopeng itu juga mengebutkan tongkat bercakar besinya ke arah tangan kiri Ki Jayeng Rono.
Wuttt...!
"Uts...!" Dengan sebisanya, Ki Jayeng Rono melompat ke belakang. Sehingga sambaran itu hanya mengenai tempat kosong.
Ki Jayeng Rono menyadari. Dari beberapa kali benturan senjata ternyata, tenaga dalam orang bertopeng itu tidak berada di bawahnya. Maka bila tadi memapak, akibatnya akan parah. Senjata cakar besi yang disalurkan tenaga dalam tinggi, bukan tidak mungkin akan membuat tangannya remuk.
Pada saat itu di tempat yang lain, Ki Danang Rejo tampak mulai terdesak. Ketua Perguruan Tapak Buana itu betul-betul kewalahan menghadapi tenaga dalam orang bertopeng yang laksana gabungan lima ekor singa jantan. Beberapa kali dalam benturan pukulan, Ki Danang Rejo mesti meringis.
Melihat itu beberapa pengawal keluarga Jayeng Rono yang sejak tadi masih berdiri di pinggir arena pertarungan, langsung membantu.
"Ayo, semuanya boleh maju bersamaan! Biar lebih mudah aku mengirim kalian ke neraka!" tantang orang bertopeng itu dengan sikap jumawa.
Mendengar sesumbar orang bertopeng, darah muda Sukasrana mendidih. Saat itu juga tubuhnya meluruk ke arena pertarungan.
"Paman! Biar aku membantumu membereskannya!" teriak anak muda belia itu, lantang.
Meski sudah cukup tua, namun Ki Danang Rejo sering bertandang ke sini dan akrab dengan bocah itu. Sehingga Sukasrana tidak canggung-canggung lagi menyebutnya paman. Meski masih muda, namun tenaga Sukasrana cukup besar. Gerakannya pun lumayan gesit. Bersama Ki Danang Rejo, dia cukup merepotkan orang bertopeng itu.
Secara keseluruhan, empat orang bertopeng merah itu memang telah memporak-porandakan keluarga Ki Jayeng Rono. Mereka mampu menghadapi lawan yang jumlahnya sepuluh kali lipat tanpa kesulitan berarti. Tidak terbayangkan, apa jadinya bila hal itu berlangsung beberapa lama lagi. Keluarga Ki Jayeng Rono mungkin akan musnah.
"Suiiittt...!"
Mendadak dalam keadaan demikian, kembali terdengar suitan panjang dari arah lain. Salah seorang dari keempat kawanan bertopeng merah ini membalas suitan itu.
Belum juga gema suitan itu hilang, telah berkelebat dua orang bertopeng yang lain. Yang seorang bersenjata kipas, dan seorang lagi bersenjata kapak.
"Hahaha...! Bagus kalian cepat datang. Tua bangka busuk ini coba-coba hendak mengelabuiku!" sambut orang bertopeng yang tengah bertarung melawan Ki Jayeng Rono.
"Keparat! Serahkan pada kami!" dengus orang bertopeng yang bersenjata kapak.
"Hehehe...! Boleh saja kalian cincang dia. Tapi jangan lupa, gulungan kulit itu mesti didapatkan!"
"Jangan khawatir, Singodimejo! Kami akan dapatkan gulungan kulit itu untuk ketua kita!" sahut orang bertopeng yang bersenjata kipas.
"Baiklah. Kalau begitu, kalian boleh bereskan orang tua busuk ini. Biar aku membereskan yang lain!" sahut orang bertopeng merah yang tadi dipanggil Singodimejo.
Dan sebenarnya Ki Jayeng Rono agak terkejut mendengar nama Singodimejo disebut-sebut. Laki-laki tua ini tahu, Ki Singodimejo adalah berjuluk Singa Bermuka Merah yang terkenal bengis dan kejam.
"Jayeng Rono! Kali ini kau tidak lagi bisa menghindar dari kami!" bentak salah seorang dari dua orang bertopeng yang baru datang.
"Siapa kalian?!" balas orang tua itu.
"Kau tentu tahu dua adik angkatmu yang kau lemparkan ke dalam jurang, bukan?" sahut orang bertopeng yang bersenjata kipas.
"Huh! Jangan coba-coba mengelabuiku! Kalian hanya keroco-keroco licik. Aku tidak bisa kalian tipu begitu saja!" dengus Ki Jayeng Rono.
"Terserah apa katamu, Jayeng Rono. Tapi perlu kau tahu, sesungguhnya kami tidak mati saat itu. Ketua Gerombolan Topeng Merah telah menyelamatkan dan mendidik kami dengan baik. Saat itu, mungkin saja ilmu silatmu di atas kami. Tapi sekarang jangan harap kau bisa lolos dari kematianmu!" dengus orang bertopeng yang bersenjata kapak.
Ki Jayeng Rono tercekat. Kini jelas sudah, siapa orang-orang yang mengaku saudara angkatnya. Mereka tak lain Tunggul Wetu dan Janang Uwung. Yang pernah bergabung dengannya dalam suatu gerombolan bernama Tiga Perampok Bukit Tunggul, sebuah keserakahan telah membuat Ki Jayeng Rono gelap mata. Setelah berhasil merampok sebuah istana kecil di Kadipaten Tegalwungu, dia berkeinginan untuk memiliki seluruh harta, dan sepotong kulit kambing yang berisi peta harta. Maka tanpa ragu-ragu lagi, Ki Jayeng Rono memerangi kedua saudara angkatnya yang bernama Tunggul Wetu dan Janang Uwung.
Ki Jayeng Rono yang menduga kalau dua saudara angkatnya telah tewas, segera membuang mereka ke dalam jurang. Namun sayang, dugaan itu keliru. Ternyata Tunggul Wetu dan Janang Uwung belum tewas, dan akhirnya malah berhasil diselamatkan Ketua Gerombolan Topeng Merah.
Dan sebenarnya, Ki Jayeng Rono sudah mendengar kabar itu. Hanya saja, dia belum yakin. Dan kini, dia telah membuktikannya sendiri. Kendati demikian, dia masih tetap berkilah kalau kedua orang itu bukan saudara angkatnya. Sebab, mana mau dia mengakui mereka. Kalau hal itu dilakukannya, sama artinya membongkar aibnya sendiri yang selama ini selalu ditutup-tutupi di depan anak serta cucu dan kaum kerabatnya yang lain.
"Phuih! Siapa pun adanya kalian yang mengaku-ngaku sebagai saudara angkatku, jangan harap lepas dari pedangku!" bentak Ki Jayeng Rono.
Saat itu juga, orang tua ini memasang kuda-kuda sambil memainkan pedangnya dengan jurus-jurus 'Macan Terbang' yang diandalkannya.
"Hahaha...! Kau hendak menghadapi kami dengan jurus-jurus 'Macan Terbang', Jayeng Rono? Ketahuilah. Sudah lama kau hidup dalam kemewahan. Sehingga kegaranganmu yang dulu terhapus. Kini kau tidak lebih dari macan ompong!" ejek Tunggul Wetu.
"Sudahlah, Kakang Tunggul Wetu! Buat apa berdebat segala dengannya? Tanganku sudah gatal ingin memberi pelajaran padanya!" timpal Janang Uwung.
"Kau benar, Janang Uwung. Orang busuk ini mesti merasakan penderitaan yang kita alami bertahun-tahun. Dia akan mengalami dalam waktu singkat, tapi amat perih!"
Setelah berkata demikian, kedua orang bertopeng itu bergerak menyambut serangan Ki Jayeng Rono yang sudah meluncur tiba. Puluhan tahun mereka berlatih dibawah bimbingan Ketua Gerombolan Topeng Merah, maka kemajuan yang diperoleh pun amat pesat.
Apalagi setelah sekian puluh tahun berLalu ternyata ilmu silat yang dimiliki Ki Jayeng Rono tidak bertambah. Maka dengan mudah kedua orang bertopeng merah itu mendesaknya. Saat ujung pedang Ki Jayeng Rono menikam tajam, Tunggul Wetu mengembangkan kipasnya untuk menangkis.
Trakkk!
Pada saat yang hampir bersamaan, kapak Janang Uwung melesat menyambar pinggang.
"Uhhh...!" Ki Jayeng Rono melenguh, merasa tidak mungkin menghindari serangan yang demikian cepat. Jalan satu-satunya, dia mesti mundur ke belakang. Cepat kakinya melangkah mundur. Namun baru saja bergerak, Tunggul Wetu sudah maju selangkah. Kemudian sebelah kakinya mengirim tendangan keras ke perut.
Desss...!
"Aaakh...!" Ki Jayeng Rono menjerit kesakitan. Namun begitu dia masih mampu berjumpalitan, lalu tegak berdiri meski agak sempoyongan.
"Kau boleh mampus sekarang juga!" desis Janang Uwung, langsung berkelebat sambil mengibaskan kapak.
Sebisa-bisanya Ki Jayeng Rono mengibaskan pedang untuk menangkis.
Trang!
Pada saat hampir bersamaan, serangan Tunggul Wetu telah berkelebat mengancamnya. Dengan gerakan mengagumkan, Ki Jayeng Rono menangkis kipas Tunggul Wetu.
Trang!
Begitu habis terjadi benturan senjata, Ki Jayeng Rono balas menyerang lewat tendangan ke ulu hati. Dengan demikian tubuhnya sedikit maju ke depan. Agaknya hal itu telah diperhitungkan.

***

173. Pendekar Rajawali Sakti : Teror Topeng MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang