BAGIAN 5

90 8 0
                                    

"Kurang ajar! Manusia tidak tahu diri. Berani betul kau mencampuri urusanku!" bentak Tunggul Wetu garang pada seorang pemuda tampan berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung di punggung.
Entah dari mana datangnya, Tunggul Wetu sendiri tak tahu. Lagi pula, ke mana perginya Janang Uwung, sehingga tidak melihat pemuda ini masuk lalu mengganggu acaranya? Tapi Tunggul Wetu tidak sempat memikirkan, karena amarahnya lebih kuat merasuki benaknya. Tanpa banyak bicara lagi, laki-laki ini melompat menerjang pemuda berbaju rompi putih itu.
"Rasakan hajaranku, Bocah!"
Sementara pemuda berbaju rompi putih tidak berusaha menghindar. Namun sebelah tangannya bergerak mengibas menyampok tendangan.
Plak!
"Uhhh...!" Tunggul Wetu geram bukan main. Kakinya terasa bergetar hebat saat berbenturan dengan tangan pemuda itu. Tapi mana mau kekurangannya ditunjukkan? Padahal sebagai orang persilatan seharusnya dia mengerti, dari benturan tadi saja bisa diduga kalau tenaga dalam pemuda berbaju rompi putih itu jauh di atasnya.
"Heaat...!" Kini Tunggul Wetu menerjang. Tubuhnya langsung meluruk sambil bergulungan dengan kepala yang akan jadi sasaran.
Namun dengan gerakan ringan sekali pemuda berbaju rompi putih itu memiringkan kepala. Kemudian tubuhnya berputar sambil mengayunkan tangannya yang mengancam ke dada Tunggul Wetu. Dan....
Desss...!
"Aaakh...!" Tunggul Wetu terkesiap dan kontan menjerit tertahan. Gerakan pemuda berbaju rompi putih itu cepat bukan main. Sampai-sampai dia tidak mampu berkelit. Dan akibatnya, hantaman itu telak menghajar dadanya.
"Keparat! Kau akan menyesal seumur hidup!" bentak Tunggul Wetu garang.
Cepat laki-laki anggota Gerombolan Topeng Merah ini bangkit. Tangannya cepat bergerak kepinggang, menggenggam kipasnya.
Set! Bet!
Dengan sekali sentak, kipas dari lempengan-lempengan besi tipis telah terkembang di tangan Tunggul Wetu. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, dia melompat menerjang.
"Yeaaa...!"
Pemuda berbaju rompi putih itu hanya tenang-tenang saja. Namun ketika ujung kipas menyambar, tubuhnya mengegos ke samping. Dan tiba-tiba sebelah kakinya menghantam perut Tunggul Wetu.
Begkh...!
"Hekh...!" Tubuh Tunggul Wetu kontan tertekuk, tidak sempat menghindari tendangan pemuda berbaju rompi putih itu. Tubuhnya ambruk tak tertahankan. Perut terasa mual bukan main mendapat hajaran yang cukup keras itu. Saat itu juga, Tunggul Wetu merasa tak mampu bangkit lagi. Isi perutnya bagaikan diaduk-aduk. Lalu....
"Hoekh...!" Begitu kuatnya dorongan dari dalam, membuat Tunggul Wetu tak mampu lagi menahan keluar isi perutnya yang disertai onggokan darah.
"Pergilah.... Dan jangan membuat keonaran lagi!" ujar pemuda berbaju rompi putih, mengandung ketegasan.
Tunggul Wetu berusaha bangkit sambil memungut kipasnya yang terjatuh. Diselipkannya kipas itu ke pinggang. Tangan kirinya mengusap mulut yang dikotori muntahan bercampur darah. Sementara sepasang matanya memandang dengan sorot dendam penuh amarah.
"Kau akan berurusan dengan kami, Bocah! Persoalan ini belum selesai. Ingat Ketua Gerombolan Topeng Merah akan datang membuat perhitungan denganmu!" dengus Tunggul Wetu.
Agaknya Tunggul Wetu sadar tidak ada gunanya lagi melawan pemuda berbaju rompi putih ini. Bukan saja dia demikian mudah menangkis serangannya, tapi juga cepat mampu membalas. Dari sini jelas kalau kepandaian pemuda itu berada beberapa tingkat di atasnya.
"Musuh tidak kucari. Tapi kalau datang, aku tidak akan lari. Pergilah. Dan bawa serta kawanmu yang ada di depan!" sahut pemuda berbaju rompi putih itu.
Tunggul Wetu terkesiap mendengar kalimat terakhir yang diucapkan pemuda itu. Kawannya di luar? Jelas, pasti telah terjadi sesuatu pada Janang Uwung sehingga tidak masuk membantunya melawan pemuda ini.
Cepat Tunggul Wetu berkelebat keluar. Ketika keluar, benar saja. Didapatinya Janang Uwung duduk terdiam seperti patung. Agaknya tubuhnya telah tertotok. Tanpa banyak bicara lagi, dipanggulnya tubuh Janang Uwung dan segera pergi dari tempat itu.
Sri Dewi masih menangis terisak. Buru-buru dia bangkit, duduk di tepi ranjang sambil membelakangi pemuda yang menolongnya dari aib.
"Sudahlah, jangan menangis. Kau harus menganggap bahwa itu pengalaman yang harus selalu diingat. Hidup di luaran tidak mudah. Banyak kejadian tak terduga akan menimpa kita...," bujuk pemuda berbaju rompi putih itu.
Sejenak Sri Dewi menoleh. Dan baru disadari bahwa penolongnya masih berada di ruangan ini. Berdiri tegak membelakanginya.
"Te..., terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak. Aku Sri Dewi...," ucap gadis itu.
"Namaku Rangga...," sahut pemuda berbaju rompi putih yang ternyata Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti. "Kulihat kau tidak biasa bepergian. Tentunya kau anak seorang hartawan yang kabur dari rumah...."
"Ya. Aku tinggal di...."
Sesaat gadis itu ragu melanjutkan kata-katanya. Sebab kakeknya dulu pernah berpesan agar tidak mudah percaya begitu saja kepada orang asing meskipun baik dan telah berjasa. Sebab bisa saja kebaikan itu ternyata kedok yang menutupi hati yang sebenarnya culas, jahat, menyimpan maksud busuk. Dan sebenarnya, Sri Dewi tidak tahu apa kaitannya antara menunjukkan tempat kediamannya dengan pemuda itu. Apakah kakeknya takut dirampok? Rasanya sulit. Sebab di perkampungannya bercokol jago-jago silat yang tidak bisa dikalahkan begitu saja oleh para perampok.
"Keadaan sudah aman. Dan kau boleh melanjutkan perjalanan kembali," kata Rangga tak mempedulikan apa yang tengah dipikir gadis itu.
Setelah berkata begitu, Pendekar Rajawali Sakti beranjak keluar dengan tenang. Sehingga tanpa sadar Sri Dewi bangkit dan menguntitnya dari belakang dengan perasaan bersalah.
"Ma..., maaf. Aku tidak bermaksud menyembunyikan diriku...," ucap gadis ini lirih.
Rangga menoleh dan tersenyum manis.
"Aku tidak merasa bahwa kau menyembunyikan sesuatu. Lagi pula, meski kau menyembunyikan sesuatu, aku tidak hendak memaksamu untuk menceritakannya padaku," sahut Rangga, datar.
"Kau..., eh! Tidak marah?" tanya Sri Dewi, agak canggung juga. Gadis ini menaksir usia pemuda ini beberapa tahun di atasnya. Bahkan di atas Kamajaya, yang mesti dipanggilnya kakang.
"Tidak...," sahut Rangga seperti tidak merasakan kecanggungan gadis itu.
"Sungguh?"
Rangga tertawa.
"Kenapa aku mesti marah? Kenal denganmu pun baru sekarang ini. Dan kenapa aku mesti marah kalau kau menyembunyikan sesuatu? Tidak. Aku tidak marah. Tugasku menyelamatkan kau dari kebuasan mereka telah selesai. Nah, pulanglah. Orangtuamu mungkin kelabakan mencari-carimu."
Pendekar Rajawali Sakti kembali melangkah dan kini berada di halaman pondok kecil yang dijadikan anggota Gerombolan Topeng Merah untuk memperkosa Sri Dewi. Sementara itu, Sri Dewi mengikuti dari belakang.
"Eh, rumahku jauh sekali dari sini! Maukah kau mengantarku...?" usik Sri Dewi ketika pemuda itu terus melangkah pergi.
Sebenarnya gadis ini agak canggung meminta seperti tadi. Tapi ketakutannya masih banyak tersisa di hati. Dia khawatir kedua orang bertopeng itu akan kembali, lalu melanjutkan niat busuknya. Dan kalau sudah begitu, siapa lagi yang akan menolong?
"Di mana?" tanya Rangga.
"Lawang! Eh, maksudku tidak persis di kotanya. Sebuah perkampungan yang ada di kaki Gunung Arjuna."
Rangga mengerutkan dahi sebentar.
"Tempat itu tidak terlalu jauh...."
"Ya, tapi...."
Sri Dewi tidak melanjutkan kata-katanya. Dia berusaha mencari alasan agar pemuda ini bersedia mengantarnya. Tapi syukur, akhirnya Rangga tersenyum dengan kepala mengangguk.

173. Pendekar Rajawali Sakti : Teror Topeng MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang