BAGIAN 3

120 8 0
                                    

Sebuah rombongan berkuda yang mengawal tiga buah kereta kuda menghentikan perjalanan mereka ketika tiba-tiba di depan berdiri menghadang satu sosok tubuh dalam jarak sepuluh tombak. Salah satu dari sepuluh penunggang kuda terdepan yang berpakaian seragam segera bergerak menghampiri.
Rombongan berkuda itu sendiri terdiri dari sepuluh orang berpakaian hijau yang dipadu celana hitam yang berada di depan. Sementara sepuluh lainnya yang berpakaian sama, berada di belakang kereta-kereta kuda itu. Pada masing-masing pinggang terselip sebilah golok. Agaknya mereka adalah sepasukan pengawal tiga kereta kuda itu.
"Apa maksudmu menghadang kami, Kisanak?" tegur penunggang kuda yang menghampiri sosok laki-laki bertopeng merah.
"Apakah kau mengawal Ki Sendrogowo?" Bukannya menjawab, laki-laki bertopeng itu malah mengajukan pertanyaan dengan nada merendahkan.
"Ya! Kami hendak menuju perkampungan milik Ki Jayeng Rono!" sahut pengawal berpakaian seragam ini.
"Bagus! Jadi kehadiranku tak sia-sia!" kata orang bertopeng itu.
"Apa maksudmu, Kisanak?"
"Maksudku? Ketahuilah. Aku adalah saudara angkat Ki Jayeng Rono yang hendak menyambut Ki Sendrogowo dengan..., ini...!" Saat itu juga orang bertopeng ini mengebutkan tangannya ke depan.
Set! Set!
"Heh?!" Betapa terkejutnya pengawal itu ketika mendadak melesat beberapa sinar putih kearahnya dengan kecepatan bagai kilat.
"Hup!" Untung saja, pengawal itu cepat melenting dari kudanya. Tapi akibatnya....
Crab! Cras!
"Aaakh...! Aaa...!"
Dua orang pengawal kontan terjengkang disertai jerit kematian, begitu sinar-sinar putih keperakan yang ternyata senjata rahasia berbentuk payung menancap di leher dan dada mereka. Begitu ambruk di tanah, kedua pengawal itu tak berkutik lagi dengan wajah membiru. Jelas ruyung-ruyung itu mengandung racun ganas.
Sementara itu, mendengar jerit kematian, dari salah satu kereta kuda keluar seorang laki-laki tua bertubuh agak gemuk. Dia langsung berjalan ke depan, melihat apa yang terjadi.
"Ada apa, Bakil?!" tanya laki-laki tua itu, begitu tiba di samping pengawal yang tadi diserang.
"Maaf, Ki Sendrogowo. Tiba-tiba saja orang ini menyerang kita!" sahut pengawal yang dipanggil Bakil.
Laki-laki tua yang tak lain Ki Sendrogowo ini menatap tajam pada orang bertopeng itu.
"Siapa kau, Kisanak?! Mengapa kau menyerang kami?!" tanya Ki Sendrogowo dengan suara keras.
"Hahaha...! Sendrogowo alias Srigala Berbulu Hitam, tidak kusangka kita akan bertemu di sini!"
"Jangan berbelit-belit. Katakan saja apa maumu?!" dengus laki-laki bertubuh agak gemuk yang selalu memakai jubah hitam panjang sampai ke mata kaki ini.
"Kau tentu kenal topeng yang kukenakan ini, bukan?!" sahut orang bertopeng itu seraya mendesis sinis.
"Melihat ciri-cirimu, kau pasti salah satu dari Gerombolan Topeng Merah!" desis Ki Sendrogowo.
Memang Gerombolan Topeng Merah belakangan ini memang amat diperhitungkan kalangan persilatan. Dalam waktu singkat saja, gerombolan itu menjadi momok yang menakutkan! Anggota-anggotanya rata-rata memiliki kepandaian tinggi dan tidak bisa dipandang sebelah mata. Maka ketika mengetahui bahwa penghadangnya adalah salah satu dari Gerombolan Topeng Merah, laki-laki tua itu sedikit kecut.
"Apa yang kau inginkan dari kami?" tanya Ki Sendrogowo.
Bagaimanapun sebagai tokoh yang cukup dikenal dalam rimba persilatan, mana mau Ki Sendrogowo yang berjuluk Serigala Berbulu Hitam menunjukkan kelemahan menghadapi anggota Gerombolan Topeng Merah ini. Apalagi dia merasa tidak ada permusuhan di antara mereka.
"Kalian hendak mendatangi si Jayeng Rono?" tanya orang bertopeng merah itu, datar.
"Betul."
"Hahaha...! Bagus. Kalau begitu, kalian tidak bisa ke sana!" kata orang bertopeng itu, seenaknya. Seolah-olah dia seorang hakim yang menentukan segalanya.
Mendengar hal itu tentu saja Serigala Berbulu Hitam jadi kurang senang. Tapi belum lagi dia bicara....
"Kisanak!" selak seseorang dari belakang Ki Sendrogowo.
Hampir saja semua orang menoleh ke arah seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh lima tahun yang tahu-tahu telah berada dibelakang Ki Sendrogowo.
"Kau boleh saja tidak menyukai Ki Jayeng Rono. Tapi kau tidak punya hak untuk menghalangi kami. Apalagi coba-coba mengganggu jalan kami!" lanjut laki-laki itu.
"Hahaha...! Aku bisa berbuat apa saja, meski di daerah kekuasaan si Jayeng Rono! Apa yang bisa diperbuat? Dia bahkan tidak mampu berkata apa-apa di depanku!" sahut orang bertopeng ini, pongah.
"Hati-hati, Praja! Kita tak boleh gegabah!" ujar Ki Sendrogowo.
"Ayah, kita tidak perlu mengurusinya! Lebih baik lanjutkan perjalanan!" sahut laki-laki setengah baya itu pada Ki Sendrogowo. Rupanya, dia putra Ki Sendrogowo.
Kemudian laki-laki berusia sekitar setengah abad lebih bernama Praja itu memberi perintah pada yang lain seraya mengajak Ki Sendrogowo untuk kembali masuk ke dalam kereta. Tapi baru saja mereka berbalik....
"Aaa...!" Mendadak terdengar pekik kesakitan. Ki Sendrogowo dan Ki Praja kembali berbalik, menghadap ke arah sumber suara teriakan tadi. Tampak dua penunggang kuda yang paling depan roboh dan langsung tewas dengan ruyung beracun menancap di jidat.
"Kau...?! Apa yang kau lakukan pada mereka, Pengecut?!" bentak Ki Praja seraya melotot garang dengan muka merah karena marah.
"Sudah kukatakan, aku bisa berbuat apa saja yang kusukai. Dan kau terlalu sombong untuk mempercayai. Dua orang tadi adalah korban kesombonganmu," sahut orang bertopeng itu tenang.
"Keparat!" desis Ki Praja, tidak dapat lagi menahan amarahnya. Saat itu juga, laki-laki setengah baya ini melompat menerjang sambil menghentakkan kedua tangannya.
Wesss...!
Serangkum angin kencang langsung melesat dari kedua telapak tangan Ki Praja, menuju orang bertopeng itu.
"Uts...!" Sambil memperdengarkan tawa dingin, orang bertopeng itu melompat ke atas, sehingga serangan itu lewat.
Tapi Ki Praja tidak berhenti sampai di situ. Tidak percuma dia menjadi putra seorang tokoh silat terkenal seperti Ki Sendrogowo. Tubuhnya terus meluruk dengan sebelah kaki menyambar pinggang orang bertopeng yang baru saja mendarat ditanah. Dengan gerakan cepat orang bertopeng itu menangkis dengan tangan kiri.
Plak!
Begitu habis terjadi benturan, orang bertopeng ini berputar. Tangan kanannya yang membentuk cakar cepat berkelebat.
Wuttt!
"Uts...!" Hampir saja muka Ki Sendrogowo robek kalau saja tidak melompat ke belakang sambil menjatuhkan diri. Untuk sesaat dia terpana, tak mampu berbuat apa-apa.
Sementara orang bertopeng tidak melanjutkan serangan. Tiba-tiba tubuhnya berbalik dan berkelebat meninggalkan tempat ini. Cepat sekali kelebatannya, sehingga sebentar saja dia sudah menghilang di balik pepohonan di pinggir jalan menuju Gunung Arjuna itu.
"Hahaha...! Kalian boleh melanjutkan perjalanan lagi. Tapi ingat-ingatlah! Keluarga Ki Sendrogowo tidak bisa pamer kekuatan di daerah ini. Meski kalian bergabung dengan keluarga Jayeng Rono, tidak akan membuat Gerombolan Topeng Merah gentar. Kalau saja kami mau, maka dalam sekejap kalian akan hancur!"
Terdengar suara orang bertopeng itu, yang dikeluarkan lewat ilmu mengirimkan suara jarak jauh.

***

Meski keluarga Ki Jayeng Rono masih diliputi kedukaan karena peristiwa yang menimpa kemarin, namun penyambutan kepada keluarga Ki Sendrogowo cukup meriah. Seolah-olah mereka hendak menunjukkan kesan bahwa hajatan yang akan berlangsung berjalan dengan wajar.
Malam ini, Ki Jayeng Rono mengundang Ki Sendrogowo untuk minum bersama. Hal itu wajar saja dilakukan sebagai kawan lama yang telah sekian belas tahun tidak bertemu. Keadaan ini bukan saja sekadar menghormati calon besannya, tapi juga digunakan untuk mengenang peristiwa-peristiwa manis yang dulu pernah dialami. Dengan begitu akan tercipta persahabatan yang semakin akrab.
Namun, Ki Sendrogowo agaknya tidak bisa melupakan peristiwa yang belum lama dialami menjelang tiba di tempat ini. Bisa saja ketika membawa mayat anak buahnya, dia mengatakan kalau telah tertimpa malapetaka. Tapi agaknya hal itu tidak bisa ditutup-tutupi terus. Hatinya masih tidak enak dan sedikit dendam. Maka ketika ada kesempatan, hal itu diungkapkannya pada tuan rumah.
"Apakah Ki Jayeng pernah merasa bermusuhan dengan Gerombolan Topeng Merah?" tanya Ki Sendrogowo setelah menceritakan yang sebenarnya tentang kematian anak buahnya.
Ki Jayeng Rono tidak langsung menjawab. Dia diam terpaku dengan wajah murung.
"Tidak. Aku tidak mengadakan permusuhan dengan mereka...," sahut Ki Jayeng Rono lirih setelah menghela napas panjang.
"Kelihatannya mereka demikian membencimu."
"Entahlah. Kukira mereka hanya iri saja pada segala yang kumiliki, lalu mulai mencari gara-gara...."
"Aku tidak habis pikir jadinya. Apa yang mereka kehendaki? Padahal kita tidak bermusuhan dengan mereka," keluh Ki Sendrogowo seraya menghela napas panjang.
"Tapi ini tidak bisa dibiarkan terus, Ki Jayeng!"
"Ya. Aku pun mulai berpikir begitu. Mereka sungguh keterlaluan sekali!" desis Ki Jayeng Rono, mulai marah.
"Kalau didiamkan terus, mereka akan besar kepala dan semakin leluasa mengganggu kita!" sambut Ki Sendrogowo.
Ki Jayeng Rono kembali mengangguk-angguk membenarkan.
"Aku hanya heran, siapa sebenarnya orang-orang di balik topeng merah itu? Dan, siapa pula pemimpinnya? Kelihatannya mereka bernafsu sekali untuk menguasai dunia persilatan."
"Tidak ada yang aneh, Ki Sendro!" sahut Ki Jayeng Rono. "Di dunia ini segalanya serba mungkin. Orang kaya itu tidak puas dengan kekayaannya, dan ingin lebih kaya lagi. Demikian pula orang yang berkuasa yang tidak puas dengan kekuasaannya. Dia ingin lebih berkuasa lagi. Kurasa itu pula yang terpikir oleh pimpinan Gerombolan Topeng Merah itu."
"Iya. Mungkin juga begitu. Tapi mereka kelihatannya banyak berkeliaran di Kadipaten Lawang ini. Meski korbannya belum banyak, namun nama mereka telah cukup menggetarkan daerah-daerah di sekitar sini. Aku sendiri tidak yakin bahwa markas mereka di sini," tukas Ki Sendrogowo.
"Aku yakin markas mereka bukan di sini. Sebab kalau betul, tentu aku yang lebih dulu tahu," tandas Ki Jayeng Rono.
"Tapi kenapa kelihatannya mereka mengincarmu, Ki?"
"Tidak. Orang-orang seperti mereka mengincar siapa pun yang dikehendakinya," tangkis Ki Jayeng Rono cepat.
"Menurut para pengawalmu, orang bertopeng itu pernah pula mengacau di sini. Benarkah itu?"
Ki Jayeng Rono mengutuk anak buahnya dalam hati. Kenapa mesti cerita pada orang luar segala? Padahal dia berusaha menutupinya, karena akan menjatuhkan pamornya saja di depan calon besannya.
"Memang begitu, Ki Sendrogowo. Tapi para pengawalku telah mengusir mereka. Dan kurasa, mereka akan berpikir dua kali untuk kembali mengacau di sini," sahut Ki Jayeng Rono, sedikit membanggakan diri.
"Keluarga Ki Jayeng Rono amat terkenal. Dan mereka sungguh berani menyatroni tempat ini. Maka sudah pasti ada sesuatu yang tengah diincarnya di tempatmu ini, Ki."
"Hehehe...! Kau ini bisa saja, Sobat!" sahut Ki Jayeng Rono sambil tersenyum. "Apa yang diincarnya dariku? Harta yang tidak seberapa ini? Hm.... Keluarga Ki Sendrogowo memiliki harta sepuluh kali lipat dibanding denganku. Atau barangkali dia mengincar cucu perempuanku? Hehehe...! Jangan khawatir. Rajapadmi akan kujaga baik-baik agar tidak digondol mereka."
Ki Sendrogowo ikut-ikutan tersenyum. Namun begitu, hatinya jelas masih belum bisa tenang memikirkan soal ulah Gerombolan Topeng Merah.
"Entah kenapa, tapi sepertinya aku punya firasat bahwa mereka hendak mengobarkan perang terbuka kepada kita...," desah Ki Sendrogowo.
Ki Jayeng Rono yang saat ini tengah mengangkat cawan dan hendak mengajak tamunya minum bersama, sesaat membatalkannya. Dia berusaha bersikap sewajar mungkin, untuk tidak membuat calon besannya tenang.
"Percayalah, Sobat. Keluargaku memang kecil dan tidak terkenal. Tapi bagaimanapun hebatnya, mereka akan berpikir sepuluh kali untuk mengacau ke sini!" tandas Ki Jayeng meyakinkan.
"Bukan hal itu yang kurisaukan. Karena aku sadar, tempat ini tidak bisa dibuat main-main. Tapi...."
"Tapi apa, Sobat?" potong Ki Jayeng Rono.
"Aku hanya tidak habis pikir, kenapa hal itu terjadi di keluarga kita pada saat minggu bahagia ini...."
Ki Jayeng Rono terdiam. Dengan ucapannya itu, terasa bahwa Ki Sendrogowo tidak tenang. Bahkan mungkin masih merasa kacau pikirannya, soal orang bertopeng merah tadi.

***

173. Pendekar Rajawali Sakti : Teror Topeng MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang