BAGIAN 4

106 8 0
                                    

Untuk menjaga hal-hal yang tak diinginkan, Ki Jayeng Rono bermaksud menyewa jago-jago tangguh untuk menghadapi Gerombolan Topeng Merah. Meskipun dia mesti mengeluarkan uang cukup banyak. Dan niatnya segera diutarakan pada Dilaga, anaknya.
"Ayah! Kita tidak perlu takut menghadapi Gerombolan Topeng Merah!" tukas Dilaga merasa tidak senang mendengar niat ayahnya itu.
"Bukannya takut. Tapi aku tidak mau repot-repot mengurusi mereka. Kita tengah menghadapi hajat perkawinan Rajapadmi. Maka segala sesuatunya harus berlangsung aman dan tenteram," kilah Ki Jayeng Rono.
"Tapi dengan begitu Ayah mengeluarkan banyak uang. Bukankah itu pemborosan? Serahkan saja padaku! Dengan dibantu lima pengawal, aku akan menghancurkan mereka. Jadi Ayah tidak perlu menyewa orang segala!" sahut Dilaga, mantap.
Ki Jayeng Rono tersenyum. Dia tahu, anaknya memiliki keberanian yang cukup. Tapi lawan yang dihadapi adalah anggota Gerombolan Topeng Merah yang rata-rata berilmu tinggi. Sedangkan menghadapi seorang dari mereka saja sudah kewalahan. Apalagi kalau mereka seluruhnya. Tapi Ki Jayeng Rono tidak sampai hati menolak terang-terangan.
"Dilaga! Ayah mengakui kau mampu menghadapi mereka. Tapi tugasmu banyak dan tidak terus menerus mengurusi hal itu. Banyak hal lebih penting yang mesti dikerjakan. Maka biarlah yang satu ini dikerjakan orang lain. Lagi pula, Ayah tak ingin mengotori tangan-tangan keluarga kita hanya untuk mengurusi para begundal yang menamakan diri Gerombolan Topeng Merah...," bujuk Ki Jayeng Rono.
Entah karena bujukan dengan kata-kata manis, entah juga karena sebetulnya ciut nyalinya menghadapi Gerombolan Topeng Merah, tapi yang jelas akhirnya Dilaga tidak banyak bicara lagi, meski tidak mengangguk dengan usul ayahnya.
Sementara itu, tepat di depan jendela ruangan Ki Jayeng Rono, seorang pemuda berusia enam belas tahun berwajah bulat, berlari-lari menuju ke belakang rumah yang sangat megah ini. Dihampirinya seorang gadis cantik yang saat itu tengah duduk di taman belakang perkampungan ini.
"Sri Dewi! Kau tidak akan percaya dengan apa yang kubawa?!" teriak pemuda itu sambil berlari-lari kecil.
"Apa yang kau bawa, Sukasrana. Kue apem atau kue cucur?" tanya gadis yang tak lain Sri Dewi sambil tertawa kecil memperlihatkan barisan giginya yang bagai biji mentimun.
"Hush! Kau ini menggoda aku terus. Mentang-mentang aku suka mencuri makanan dari dapur! Aku membawa berita penting," sahut pemuda yang ternyata Sukasrana.
"Berita apa?" tanya Sri Dewi acuh tak acuh.
"Eyang hendak menyewa jago-jago silat untuk menghadapi Gerombolan Topeng Merah!" jelas Sukasrana.
"Dari mana kau tahu?"
"Aku mencuri dengar pembicaraan mereka tadi."
"Kenapa eyang melakukan itu? Apa orang-orang kita tidak cukup untuk menghajar mereka?" tanya gadis itu, seperti untuk diri sendiri.
"Ayahmu pun tadi sudah berkata begitu. Tapi eyang katanya tidak mau mengotori keluarga kita sekadar untuk mengurusi orang-orang bertopeng merah itu."
"Hem.... Aku tidak bisa menerimanya! Kita harus berbuat sesuatu!" dengus Sri Dewi.
"Eyang telah merendahkan kemampuan kita, apa pun alasannya! Kita harus buktikan bahwa kita mampu menghajar mereka!"
"Iya, iya...!" timpal Sukasrana dengan bersemangat.
"Tapi apa yang mesti kita lakukan?"
"Kita harus keluar dari perkampungan ini, mencari Gerombolan Topeng Merah!"
Sukasrana terkejut mendengar niat saudara sepupunya.
"Mencari mereka?"
"Iya, kenapa? Kau takut?" tanya Sri Dewi.
"Eh, tidak! Tentu saja tidak!" sahut Sukasrana cepat sambil menggeleng.
"Bagus! Kalau begitu, sekarang juga kita berangkat!"
"Sekarang? Eh, apa kita perlu untuk minta izin pada eyang, atau ayah dan ibu?" kilah Sukasrana.
"Dasar tolol! Mana mungkin mereka memberi izin. Eyang telah menegaskan bahwa keluarganya tidak boleh keluar perkampungan sembarangan, tanpa izin beliau. Jadi kita harus menyelinap. Ayo! Kalau kau tidak berani, biar aku sendiri saja!" umpat Sri Dewi, kesal.
Sri Dewi telah bersiap-siap melangkah dengan pedang tersandang di pinggang ketika melihat Sukasrana masih menunjukkan sikap ragu.
"Aku pergi dulu!" lanjut Sri Dewi.
"Baiklah. Tapi tunggu dulu. Aku mesti mengambil pedangku terlebih dulu. Tunggu sebentar!" sahut pemuda tampan itu seraya berlari ke rumahnya.
Sri Dewi tidak peduli dengan ocehan saudara sepupunya. Begitu melihat Sukasrana menghilang dari pandangan, maka secepat itu pula tubuhnya berkelebat meninggalkannya.
Memang, Sri Dewi mendapat pelajaran ilmu olah kanuragan bukan dari orangtuanya, melainkan langsung dari kakeknya. Lagi pula, dia amat tekun dan rajin. Sehingga meski usianya tergolong muda, tapi boleh dikata kemampuannya lebih tinggi dibanding saudara-saudaranya. Sehingga hatinya panas betul ketika mengetahui kalau kakeknya melarang untuk memburu Gerombolan Topeng Merah yang telah mengacau. Apalagi kini kakeknya membayar orang lain untuk menghadapinya. Gadis itu merasa dianggap angin dan dipandang sebelah mata.
Adapun halnya Sukasrana, anak itu penakut dan suka ragu-ragu. Itu bisa menghambat maksud Sri Dewi. Kalau menunggu, mungkin saja Sukasrana akan mengadu pada orangtuanya. Atau bahkan pada Ki Jayeng Rono. Maka bisa-bisa rencananya batal, sehingga terpaksa gadis itu meninggalkannya.
Sri Dewi tidak sempat mengeluarkan kuda, karena takut kepergok. Maka terpaksa dia harus berjalan kaki. Dan perjalanan ini amat melelahkan, karena selama ini dia terbiasa ke mana-mana dengan berkuda.
Sudah cukup jauh gadis itu melewati jalan yang jarang dilalui orang-orang perkampungan bila hendak ke kota Kadipaten Lawang. Sengaja dia memilih jalan ini, untuk menghindari pengejaran pengawal-pengawal kakeknya bila Sukasrana sampai mengadu. Namun sampai sejauh ini, belum terlihat tanda-tanda bahwa para pengawal kakeknya akan menyusul.
Matahari telah tergelincir dari atas kepala ketika Sri Dewi tiba di sebuah desa kecil. Penduduknya jarang. Dan jarak antara satu rumah dengan rumah lain cukup jauh. Tubuhnya telah letih dan penat, sehingga diputuskannya untuk mencari rumah penduduk untuk menumpang beristirahat.
Tapi belum lagi hal itu dilakukan, mendadak dari arah belakang terasa terdengar langkah seseorang. Gadis itu cepat berbalik. Dan wajahnya seketika terkejut begitu melihat satu sosok tubuh dengan topeng merah di depannya. Sebenarnya, orang inilah yang dicari-carinya. Tapi entah kenapa, ketika berhadapan justru semangatnya perlahan-lahan terbang melayang.
"Hei?!" Kembali gadis itu dibuat terkejut ketika dari belakangnya, terdengar suara orang melompat Dan wajahnya semakin pucat ketika melihat satu sosok lain yang mengenakan topeng merah. Ternyata dua dari Gerombolan Topeng Merah telah berada di sini. Apa yang bisa dilakukannya.
"Hehehe...! Siapa sangka di tempat ini kita bertemu gadis cantik yang tengah kesasar!" kata orang bertopeng merah yang di pinggangnya terselip sebatang kapak sambil terkekeh buas.
"Bukan cuma kebetulan, Janang Uwung!" sahut orang bertopeng yang bersenjata kipas di pinggang.
"Tapi gadis ini benar-benar istimewa. Tidakkah kau mengenalinya bahwa dia berasal dari perkampungan si Jayeng Rono?"
"Benarkah, Kakang Tunggul Wetu?!" sambut laki-laki bersenjata kapak yang dipanggil Janang Uwung dengan sikap girang.
"Kuyakin gadis ini cucunya!" tandas laki-laki bernama Tunggul Wetu.
"Ah, sungguh kebetulan! Enaknya akan kita apakan bocah manis ini?" leceh Janang Uwung.
"Apalagi? Adakah sesuatu yang lebih menyakitkan bagi si Jayeng Rono ketimbang membunuh cucunya ini?" sahut Tunggul Wetu, seenaknya.
"Aku mengerti! Ya, apalagi yang harus dilakukan antara laki-laki dan perempuan?! Hehehe...!"
Sri Dewi terkesiap mendengar ocehan kedua orang bertopeng itu. Dan tak terasa jantungnya berdegup kencang. Sebagai gadis yang beranjak dewasa, dia mengerti apa yang tengah bercokol di kepala dua orang bertopeng itu. Dan tanpa terasa tangannya mulai memegang gagang pedang di pinggang.
"Hehehe...! Kau hendak melawan, Cah Ayu? Bagus! Ketika di perkampungan kakekmu, kau cukup hebat. Tapi bukan berarti aku tidak mampu meringkusmu!" seru Tunggul Wetu sambil tertawa mengejek.
"Kakang, tidak usah repot-repot! Biar kuringkus dia untukmu!" sahut Janang Uwung. Baru saja berkata begitu, secepat kilat Janang Uwung melangkah menghampiri dan siap menerkam Sri Dewi.
"Hati-hati, Janang! Salah-salah kau akan dipecundangi bocah itu!" teriak Tunggul Wetu memperingatkan.
"Hahaha...! Kau meremehkan aku, Kakang? Apa hebatnya keturunan si Jayeng? Kalau dulu dia boleh menepuk dada, tapi sekarang?! Huh! Bila dia ada di sini, akan kuremukkan kepalanya!" desis Janang Uwung.
Sring!
Mendengar kakeknya diremehkan begitu, mendadak semangat Sri Dewi pelan kembali merasuk dan membesar. Maka seketika pedangnya dicabut Pada saat yang sama Janang Uwung telah melompat, dengan kedua tangan terjulur ke depan.
"Keparat busuk, mampuslah kau!" bentak Sri Dewi seraya mengibaskan pedang.
Ayunan pedang Sri Dewi bertenaga kuat, dan rasanya sulit bagi Janang Uwung untuk menghindar. Apalagi dalam keadaan mengapung di udara. Seolah-olah, Janang Uwung memberikan dadanya untuk ditembus pedang.
Sementara gadis itu lupa bahwa lawannya bukanlah tokoh sembarangan. Buktinya Janang Uwung yang tidak berusaha menghindar cepat menggerakkan kedua telapak tangannya.
Tap!
Saat itu juga, pedang Sri Dewi terjepit ketat pada kedua telapak tangan Janang Uwung. Sri Dewi terkejut Pedangnya tidak bisa maju, tertahan oleh kedua telapak tangan Janang Uwung. Ini membuktikan bahwa tenaga dalam laki-laki ini sangat tinggi.
Gadis itu segera mengerahkan tenaga dalamnya. Namun, tetap juga tidak menunjukkan hasil. Dahinya mulai bercucuran keringat. Wajahnya berkerut geram ketika mulai menarik pedangnya. Tapi pedangnya tidak bergeser seujung rambut pun!
"Keparat!" dengus Sri Dewi, seraya mengayunkan sebelah kakinya.
Janang Uwung cepat menaikkan sebelah kaki, sehingga tendangan gadis itu hanya menghantam ke lutut.
Plak!
Dan tiba-tiba secepat kilat Janang Uwung melepaskan tendangan ke perut.
Desss...!
"Aaakh...!" Tak ampun lagi, Sri Dewi terpental ke belakang beberapa langkah. Pedangnya kini bertukar tempat di tangan Janang Uwung. Namun sebagai orang yang telah terdidik ilmu silat, hantaman begitu tidak langsung membuatnya kecut dan jeri. Gadis itu cepat menggulung tubuhnya ke belakang, menjauh. Lalu dia melompat, bermaksud tegak berdiri. Dan baru saja mengatur keseimbangan, mendadak Janang Uwung telah berkelebat dengan kedua tangan bergerak cepat. Dan....
Tuk! Tuk!
"Uhhh...!" Gadis itu kontan terduduk lemas begitu dua totokan Janang Uwung mendarat di dadanya. Tubuhnya seperti tidak bertenaga, tulang-belulangnya bagai dilolosi saja. Matanya hanya bisa menatap laki-laki itu dengan tajam.
"Keparat busuk! Jangan main gila kau! Aku masih mampu menghadapi sampai ribuan jurus. Lepaskan totokanmu!" bentak Sri Dewi garang.
"Hehehe...! Cah Ayu.... Tentu saja aku percaya. Tapi untuk apa bersusah-payah meladenimu kalau ternyata dengan jalan mudah aku bisa meringkusmu?" ejek Janang Uwung.
"Kau memang hebat, Janang Uwung! Luar bisa. Kemajuanmu sungguh pesat sekali!" puji Tunggul Wetu, sambil menghampiri Sri Dewi.
"Hehehe...! Kakang bisa saja. Tapi saat ini bukan pujian yang kita harapkan. Tapi ini...," sahut Janang Uwung, seraya menunjuk ke bagian bawah perutnya.
"Hehehe...! Kau memang pintar sekali. Tapi kita tidak bisa di sini. Jangan-jangan yang lain muncul dan minta bagian," tukas Tunggul Wetu.
"Aku tahu tempat yang aman, Kang! Di sebelah sana ada pondok kosong. Kita bisa leluasa!" sambar Janang Uwung.
"Tunggu apa lagi? Ayolah cepat!" desak Tunggul Wetu.
Maka dengan serta-merta Janang Uwung langsung menyambar tubuh Sri Dewi. Tubuhnya langsung berkelebat, membopong Sri Dewi. Sedang Tunggul Wetu mengikuti dari belakang.
Bret!
"Aouw...!"
Janang Uwung agaknya tidak tahan lagi sekadar membayangkan apa yang ada di balik baju Sri Dewi. Maka dengan sekali sambar baju gadis itu langsung robek lebar. Seketika dua buah bukit berkulit putih mulus yang menjadi salah satu kebanggaan kaum wanita terlihat jelas di depan mata Janang Uwung.
"Ck ck ck...! Sempurna dan bagus sekali. Tidak sangka turunan si Jayeng Rono bisa menciptakan bidadari sepertimu, Anak Manis!" puji Janang Uwung yang kali ini telah membuka topengnya. Tampak wajahnya yang seram, memperlihatkan seringai penuh nafsu dengan air liur hampir menetes.
Mata laki-laki yang ternyata telah berusia lanjut itu melotot penuh nafsu. Tubuhnya gemetar menahan hasrat kelelakiannya tanpa mempedulikan teriakan serta makian gadis itu. Seolah-olah telinganya tertutup oleh pemandangan indah didepan mata. Dan tidak terasa tubuhnya mulai panas dingin. Nyaris saja sebelah tangan Janang Uwung bergulir ke dada gadis itu, kalau saja Tunggul Wetu tidak menangkapnya.
"Kau sudah berjanji menangkapnya untukku! Maka aku yang berhak lebih dulu mencicipinya," sergah Tunggul Wetu.
Janang Uwung terpaksa menelan ludah. Namun, tubuhnya tidak beranjak dari duduknya.
"Tapi Kakang...."
"Tidak ada tapi-tapian!" tukas Tunggul Wetu.
"Nah, tunggulah di luar. Tidak lama. Dan setelah itu, kau akan menikmatinya sepuas hati!"
Janang Uwung terpaksa mematuhinya. Kelihatannya, dia bukan takut. Tapi menghormati. Sebab Tunggul Wetu telah dianggapnya sebagai saudara tuanya.
Sepeninggal Janang Uwung, Tunggul Wetu yang juga telah melepas topengnya mengunci pintu dari dalam, lalu duduk di sisi pembaringan. Mata laki-laki yang juga sudah berusia lanjut ini melotot tajam. Wajahnya menyeringai buas seperti harimau hendak menerkam kelinci. Dia sudah tidak peduli pada Sri Dewi yang hanya mampu menangis pasrah, karena sudah tak ada gunanya lagi berteriak.
Sri Dewi hanya menggigil ketakutan. Wajahnya semakin pucat ketika hela napas orang bertopeng ini terasa menyapu wajahnya. Semangatnya terbang sejak tadi. Yang ada hanya sikap pasrah.
Pada saat itu, ketika Tunggul Wetu hendak mencopot pakaiannya, mendadak pundaknya dicekal dari belakang. Cepat laki-laki tua ini menoleh dan hendak mendamprat. Namun....
Des!
"Aaakh...!" Tunggul Wetu sama sekali tidak menyangka akan mendapat hajaran telak pada perutnya begitu berbalik. Keruan saja, tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang disertai jerit kesakitan. Dia segera bangkit, dan melihat satu tubuh telah berdiri dengan sikap tenang.

***

173. Pendekar Rajawali Sakti : Teror Topeng MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang