Beberapa anak muda tengah bergelak ria di penginapan dan kedai Bunga Nirwana yang terletak di pusat kota Kadipaten Lawang. Di meja merah, tersaji beberapa bumbung arak dan ayam bakar. Salah seorang yang paling menonjol adalah pemuda berbaju sutera warna biru. Dia duduk dikelilingi empat orang pemuda lain yang rata-rata berusia sebaya. Agaknya pemuda berbaju biru itu yang membayari seluruh makanan dan minuman yang tersaji di meja.
"Ayo Jaliteng, Jenar, Bagus, dan kau Ragil! Kita minum sampai puas!" teriak pemuda berpakaian biru sambil mengacungkan cawan. Dan seketika ditenggaknya arak sampai tandas.
Perbuatan pemuda itu diikuti keempat kawannya. Kemudian mereka tergelak-gelak bersama-sama. Dan kembali menenggak arak entah yang keberapa kali.
Belum habis gelak tawa mereka, seorang laki-laki berusia tiga puluh lima tahun yang sejak tadi berada di luar mendadak masuk ke dalam. Dan dia langsung berdiri di belakang pemuda berbaju biru dengan wajah cemas.
"Den Kamajaya telah banyak minum. Sebaiknya berhenti dulu. Kalau sampai mabuk, tentu Juragan Prajawasita akan menyalahkanku," kata laki-laki di belakang pemuda berbaju biru, sambil mendekatkan kepalanya.
"Diam kau, Sompak!" bentak pemuda berbaju biru yang bernama Kamajaya, membuat laki-laki yang dipanggil Sompak terjingkat mundur.
"Beraninya kau mengurusi aku? Tempatmu di luar sana! Pergilah! Aku bukan anak kecil yang harus terus diawasi!"
"Tapi Den...."
Kamajaya menoleh, lalu....
"Pergi kataku!" bentak Kamajaya lagi dengan mata melotot lebar.
Kali ini pemuda berbaju biru itu betul-betul marah. Dan Sompak tidak berani lagi mengganggunya. Dengan tubuh gemetar ketakutan dan wajah pucat, buru-buru dia angkat kaki dari sisi majikannya.
"Ayo, lanjutkan kawan-kawan! Kita minum sampai pagi!" teriak Kamajaya sambil mengajak bersulang.
Keempat laki-laki yang menemani Kamajaya langsung menyambut dengan sulangan pula, disertai tawa terkekeh lebar. Seakan-akan mereka sudah tak peduli dengan sekitarnya. Sehingga tanpa disadari, seseorang telah berkelebat dari pintu kedai, lalu berdiri tegak tanpa berkata apa-apa di belakang Kamajaya.
"Kau cucu si Jayeng Rono?" usik sosok yang berdiri di belakang Kamajaya.
"Heh?!" Kamajaya tersentak. Dia tersinggung bukan main, karena ada orang seenaknya saja memanggil kakeknya tanpa sebutan penghormatan. Padahal semua orang di Lawang amat menghormati kakeknya. Mereka memperlakukannya seperti seorang raja kecil. Maka dengan mendelik gusar, pemuda berbaju biru ini menoleh.
"Hei?!" Alangkah gelinya Kamajaya melihat orang yang tegak berdiri di dekatnya ternyata memakai topeng merah terbuat dari kayu. Bentuk topeng itu demikian garang dan sedikit menakutkan, tapi bagi Kamajaya justru menggelikan. Sehingga tanpa sadar bibirnya melebar tersenyum-senyum.
"Kisanak! Kukira tadi kau sungguh-sungguh akan membuat ribut. Tapi siapa sangka kau ternyata hanya seorang badut. Hehehe...! Duduklah! Aku senang ditemani orang sepertimu!" ujar Kamajaya.
Sulit dilihat, bagaimana tampang orang bertopeng itu. Tapi untuk sesaat dia diam saja tak menjawab.
"Siapa sudi minum bersama keturunan pengecut sepertimu!" ucap orang bertopeng itu dingin, begitu tawa Kamajaya terhenti.
"He, apa maksud kata-katamu?!" sentak Kamajaya.
"Tidak usah berpura-pura, Tolol! Kaulah yang kumaksud!" tuding orang bertopeng merah itu.
Mendengar tuduhan itu, wajah manis Kamajaya kembali berubah geram. Amarahnya berkobar cepat Dan seketika dia berdiri dengan sikap digagah-gagahkan, meski kepalanya berdenyut sakit akibat menenggak arak terlalu banyak.
"Kurang ajar kau! Berani benar kau menyebutku keturunan pengecut?!" bentak Kamajaya garang, seraya mengibaskan tangan kanannya.
Wut!
Kamajaya sebenarnya bukanlah pemuda yang tidak tahu apa-apa soal ilmu silat. Dia cucu tertua Ki Jayeng Rono yang di kalangan rimba persilatan bergelar Macan Terbang. Dan selama ini Kamajaya cukup mendapat gemblengan dari kedua orangtua serta kakeknya. Meski dalam keadaan mabuk, rasanya masih sanggup menghadapi lima pemuda sebayanya.
Tapi kali ini Kamajaya kena batunya. Orang bertopeng itu hanya sedikit berkelit ke samping, maka pukulannya menghantam angin. Dan tahu-tahu, pukulan balasan menghajar perutnya.
Desss...!
"Aaakh...!" Kamajaya terjungkal ke belakang, langsung menghantam meja lain yang tengah dipakai orang.
"Keparat!" umpat Kamajaya tak karuan, seraya bangkit berdiri.
Sementara empat orang kawan Kamajaya juga kelihatan gusar. Mereka tahu betul, siapa Kamajaya. Dia adalah anak keluarga terhormat. Dan menurut mereka, perlakuan orang bertopeng merah itu sungguh kelewatan.
"Bangsat tak tahu diri! Apa yang telah kau lakukan terhadap cucu orang paling terhormat di daerah ini?!" bentak Jaliteng sambil menuding sinis.
"Monyet buduk! Jangan ikut campur urusan ini! Lebih baik tutup mulut. Dan pergilah kalian sebelum mendapat hajaran serupa!" balas orang bertopeng itu tidak kalah garang.
Mendengar sahutan yang membuat merah telinga, bukan main geramnya Jaliteng. Maka tanpa basa-basi lagi segera goloknya yang terselip di pinggang dicabut.
Sret!
"Manusia tak tahu diri memang perlu sesekali mendapat hajaran supaya mengerti bagaimana bersikap sopan!" bentak Jaliteng seraya melompat sambil menebas leher.
Tapi orang bertopeng itu kelihatan tenang-tenang saja. Bahkan memperdengarkan tawa mengejek. Namun ketika beberapa rambut lagi mata golok yang berkilatan itu mendarat di sasaran, dia memiringkan tubuhnya sedikit. Maka tebasan golok Jaliteng hanya mengenai tempat kosong. Dan tiba-tiba orang bertopeng itu menghajar pergelangan tangan Jaliteng.
Tak!
"Aaakh...!" Jaliteng kontan menjerit tertahan. Pergelangan tangannya yang terpapak tadi terasa sakit bukan main. Mungkin tulangnya patah. Goloknya terlepas dari genggaman. Dan belum juga dia bisa berbuat apa-apa, satu tendangan menyamping berisi tenaga dalam tinggi telah meluncur deras. Lalu....
Begkh!
"Aaakh...!" Disertai jeritan kesakitan, Jaliteng terjungkal kesamping, menabrak meja makan lainnya.
"Huh! Penjilat busuk! Apa kau kira harga dirimu akan terangkat dengan cara menjilat? Kau hanya seekor anjing. Dan meski berkawan dengan seekor menjangan, tetap saja anjing!" dengus orang bertopeng itu.
Melihat Jaliteng jatuh terjungkal, tiga pemuda yang lain tidak mau tinggal diam. Serentak mereka menghunus golok dengan wajah garang.
"Bangsat terkutuk! Berani benar kau menghajar kawan kami!" bentak Jenar.
"Apa?! Kalian pun mau ikut-ikutan? Boleh! Ayo! Maju ke sini, anjing-anjing buduk. Biar kuberi pelajaran, betapa tidak enaknya menjadi penjilat!" hardik orang bertopeng itu, tersenyum dingin.
Kelihatannya orang bertopeng itu begitu memandang enteng. Sebaliknya ketiga pemuda itu tidak mau gegabah. Jaliteng adalah orang yang paling tinggi kepandaiannya diantara mereka. Kalau sampai dijatuhkan dengan mudah, maka apalah artinya mereka? Tapi ketiganya masih bisa berbesar hati dengan jumlah yang lebih banyak. Maka Jenar segera mengatur Bagus dan Ragil untuk menyergap dari samping kiri dan kanan.
"Yeaaa...!" Disertai bentakan nyaring dari Jenar sebagai isyarat penyerangan, mereka bertiga melompat menerkam.
Namun gerakan yang ditunjukkan orang bertopeng merah itu sungguh menakjubkan. Seperti terangkat, tubuhnya melesat ke atas sambil menendang silih berganti ke arah ketiga lawannya.
Dess! Dess! Desss!
"Aaakh...!"
Kembali terdengar tiga jeritan berturut-turut, yang diikuti ambruknya Jenar, Bagus, dan Ragil.
Melihat lawan-lawannya terjungkal, orang bertopeng itu tenang-tenang saja melangkah meninggalkan rumah makan ini. Sementara melihat hal ini, mana mau Kamajaya mendiamkannya saja. Dia yang masih terduduk bangkit. Langsung dikejarnya orang bertopeng itu, walaupun masih sempoyongan.
"Mau pergi ke mana kau, Keparat?! Tinggalkan kepalamu baru boleh pergi seenak perutmu!" bentak pemuda itu.
Orang bertopeng itu melompat beberapa kali sehingga semakin menjauhi penginapan dan kedai Bunga Nirwana. Orang-orang yang melihat mendecah kagum, namun tidak ada yang berani menolong Kamajaya. Bahkan Jenar, Bagus, Ragil, dan Jaliteng agaknya jera juga setelah mendapat hajaran dari orang bertopeng. Mereka hanya memperhatikan kepergian orang bertopeng.
Namun ternyata orang bertopeng itu tidak benar-benar pergi. Sekitar sepuluh tombak dari penginapan itu, dia berhenti dan berdiri tegak seperti menanti Kamajaya yang mengejar.
Melihat orang bertopeng itu berhenti, Kamajaya mendengus dingin. Matanya memandang penuh kemarahan. Bukannya tampak garang, justru Kamajaya malah seperti orang mengantuk akibat terlalu banyak menenggak arak.
"Akhirnya kau menyerah juga, he? Hehehe...! Bagus! Kau mengerti kalau aku tidak bisa dibuat main-main, bukan?" kata Kamajaya, begitu berada sekitar dua tombak di depan orang bertopeng merah ini.
Orang bertopeng itu sama sekali tidak menggubris ocehan Kamajaya. Tapi ketika pemuda berbaju biru ini telah mendekat, sebelah kakinya bergerak cepat menyapu pinggang. Cepat bagai kilat, Kamajaya mengibaskan tangannya, menangkis.
Plak!
Tangan Kamajaya yang berhasil menangkis terhempas. Dan tanpa diduga, kaki orang bertopeng itu bergerak ke pelipis.
Diegkh...!
"Aaakh...!" Pemuda berbaju biru itu terjungkal ke samping sambil mengeluh kesakitan. Pelipisnya yang jadi sasaran, biru dan membengkak akibat tendangan yang cukup keras tadi.
"Kurang ajar! Huh! Kau akan menyesal karenanya!" maki Kamajaya seraya bangkit perlahan-lahan.
"Huh! Apa yang mesti kutakutkan darimu, Bocah Busuk? Bahkan kakek moyangmu sekalipun, aku tidak takut! Kau akan menjadi pelajaran serta peringatan terbaik bagi kakekmu!" dengus orang bertopeng itu, siap hendak menghajar kembali.
"Yeaaa...!" Kamajaya membentak sambil berkelebat. Pedangnya yang sudah tercabut langsung diputar-putar ke arah orang bertopeng. Meski bagaimanapun, anak muda ini hidup bergelimang harta dan betul-betul menikmatinya. Kerjanya hanya berfoya-foya serta mengejar-ngejar anak gadis orang. Lalu berkumpul bersama kawan-kawannya yang mempunyai kesenangan sejenis. Sehingga perhatiannya terhadap ilmu olah kanuragan tidak begitu sungguh-sungguh. Maka serangannya sama sekali tidak berarti bagi orang bertopeng itu.
"Hup!"
Begitu pedang yang berkilatan tertimpa sinar-sinar obor yang terpancang di tiap sudut penginapan itu mendekat, orang bertopeng ini cepat melenting ke atas. Dan tiba-tiba, tubuhnya meluruk turun seraya melepaskan tendangan dahsyat ke dada Kamajaya.
Duk!
"Aaakh...!" Kembali hajaran orang bertopeng itu telah menghantam dada Kamajaya yang kontan menjerit kesakitan. Dadanya seperti remuk mendapat tendangan keras tadi. Pemuda itu langsung terjungkal ke belakang.
"Ayo bangkit lagi, Bocah! Tunjukkan padaku kehebatan ilmu olah kanuragan keluargamu!" dengus orang bertopeng ini.
"Bangsat!"
Sebetulnya Kamajaya sudah tidak kuat lagi untuk bertarung kembali. Kepalanya berdenyut-denyut karena kebanyakan menenggak arak. Tenaganya pun lemas sehingga tidak terlalu mampu bertarung dengan baik. Ditambah lagi, orang yang dihadapi agaknya bukan tokoh sembarangan. Paling tidak dengan cara melenting, akan kelihatan kalau orang bertopeng itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup hebat.
Namun Kamajaya sendiri amat tersinggung karena diejek sedemikian rupa. Selama ini dia merasa mampu berbuat apa pun. Dengan pengaruh kakeknya ataupun dengan kemampuan ilmu olah kanuragan yang pas-pasan, tidak jarang dia melepaskan tangan kasar pada orang-orang yang tak disukainya. Hanya saja mereka yang menjadi korbannya merasa lebih baik tutup mulut kalau tidak ingin menderita yang lebih parah lagi kelak.
Sementara itu melihat majikannya jatuh bangun dihajar orang bertopeng, Sompak buru-buru menghampiri. Dia langsung berlutut, di hadapan orang bertopeng itu.
"Kisanak, ampunilah majikanku! Mungkin dia suka usil, tapi sesungguhnya bukan orang jahat...!" ratap Sompak.
"Minggir kau, Sompak!" dengus Kamajaya yang sudah bangkit berdiri dan berjalan ke arah Sompak. Bahkan tiba-tiba kakinya terayun kearah Sompak.
Dess...!
"Aaakh...!" Sompak mengeluh kesakitan dihajar majikannya yang tengah kalap.
"Huh! Kau mewarisi watak tidak berbudi dari kakekmu!" dengus orang bertopeng itu.
"Aku tidak peduli ocehanmu! Yang kuinginkan hanya kepalamu!" desis Kamajaya seraya melepas tendangan ke dada.
Orang bertopeng itu bergerak ke kanan. Tubuhnya langsung berputar cepat, lalu melayangkan sodokan keras ke dada dan muka.
Begkh! Des! Duk!
"Aaakh...!"
Tiga kali berturut-turut hantaman orang bertopeng menghajar dada, lalu pipi kiri dan kanan, membuat Kamajaya terpekik. Tubuhnya terjungkal roboh tak berdaya dengan darah segar muncrat dari mulut.
"Ini peringatan bagi kakekmu! Katakan padanya, dia akan mendapat kunjungan saudara angkatnya nanti!" dengus orang bertopeng itu, lalu berkelebat meninggalkan Kamajaya.***
KAMU SEDANG MEMBACA
173. Pendekar Rajawali Sakti : Teror Topeng Merah
AcciónSerial ke 173. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.