BAGIAN 7

90 8 0
                                    

Namun, Ki Jayeng Rono agaknya salah perhitungan. Meski kelihatan gerakan Tunggul Wetu agak lambat, namun mendadak bisa berubah secepat kilat. Tiba-tiba saja tubuhnya mengegos ke kiri dengan sikut bergerak ke wajah. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Diekh!
"Aaakh...!" Ujung sikut Tunggul Wetu menghantam ke wajah Ki Jayeng Rono. Lalu kipasnya mendadak terkembang, dan menyabet ke samping kanan.
Wuttt!
Crasss...!
"Aaakh...!" Ki Jayeng Rono terpekik, ketika tangan kanannya putus setengah jengkal dari pergelangan disabet ujung kipas Tunggul Wetu yang runcing. Sementara hidungnya berdarah, terhantam sikut Orang tua itu kontan mundur beberapa langkah, sambil memegangi tangannya yang buntung.
"Sebaiknya serahkan gulungan kulit itu pada kami. Dan pergilah kau serta keluargamu dari sini. Kalau tidak, kau tidak akan selamat!" ancam Tunggul Wetu sinis.
"Huh! Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan!" tukas Ki Jayeng Rono.
"Kau masih berusaha menghindar dan mengelak dari kami?!" bentak Janang Uwung.
Ki Jayeng Rono meringis kesakitan.
"Aku tidak kenal kalian. Dan, jangan coba-coba memaksaku!" dengus laki-laki tua ini geram.
"Hahaha...! Kalau memang kau ingin melihat kematian keluargamu satu persatu, maka pertahankan saja benda itu. Lihatlah ke sekelilingmu! Mereka tidak punya harapan hidup lagi!"
Ki Jayeng Rono langsung mengedarkan pandangan ke sekeliling. Benar apa yang dikatakan Tunggul Wetu. Satu persatu pembantu orang tua itu telah dibantai habis. Sedang yang lainnya masih bertahan. Namun agaknya tidak akan lama, sebab luka-luka di sekujur tubuh mereka semakin mempersulit gerakan. Padahal saat itu, laki-laki bertopeng yang bernama Singodimejo tengah mengamuk pula, menimbulkan korban yang tidak kalah banyak.
"Bagaimana, Jayeng Rono? Kau masih tetap ngotot ingin mempertahankan gulungan kulit itu?" desak Tunggul Wetu.
Ki Jayeng Rono jadi bimbang. Sesaat pikirannya berkecamuk. Apakah mesti menuruti permintaan mereka? Dengan begitu, dia akan terhina. Bahkan seluruh harta kekayaannya akan dirampas. Tapi kalau terus bertahan, maka keluarganya pasti akan disapu bersih. Ini pilihan yang betul-betul sulit! Tapi...
"Iblis-iblis bertopeng, enyahlah kalian dari sini!"
Mendadak terdengar seseorang berteriak marah. Dan tahu-tahu seorang gadis yang baru meningkat remaja mendadak muncul di ambang pintu gerbang. Dia langsung mencelat menyerang Ki Singodimejo yang berjuluk si Singa Bermuka Merah.
"Yeaaa...!"
Gadis ini langsung melepaskan tendangan terbang bertenaga kuat. Namun orang yang dihadapi telah kenyang makan asam garam dunia persilatan. Ki Singodimejo segera mengetahui kalau serangan itu sama sekali tidak membahayakannya. Maka segera disiapkan sebuah hantaman bertenaga dalam tinggi.
Sedikit lagi hantaman si Singa Bermuka Merah itu menghantam kaki gadis yang menyerangnya, mendadak berkelebat satu sosok yang langsung mengebutkan tangannya.
Plak!
"Heh?!" Ki Singodimejo terkejut merasakan pukulannya seperti membentur batu karang. Padahal tenaga dalamnya yang disalurkan di tangan telah dikerahkan begitu tinggi. Dia bisa merasakan tenaga dalam sosok bayangan putih itu hebat luar biasa. Buktinya tangannya terasa nyeri bukan main.
Ki Singodimejo mundur beberapa langkah seraya memandang kepada sosok pemuda tampan berbaju rompi putih dengan pedang bergagang burung rajawali menyembul dibalik punggung yang menghadang serangannya.
Sementara itu gadis yang menyerang Ki Singodimejo tadi tak kalah kagetnya. Dia sudah melangkah mundur sambil mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi.
"Sri Dewi...!" Tiba-tiba sebuah suara terdengar menggigil.
Gadis yang tak lain memang Sri Dewi menoleh.
"Ibu...!"
Sambil berteriak, Sri Dewi menghambur ke arah seorang wanita setengah baya yang memang ibunya. Sesaat ibu dan anak itu saling berpelukan haru.
"Siapa kau, Bocah Edan?!"
Pelukan ibu dan anak itu langsung terlepas, begitu terdengar suara bentakan.
"Aku Rangga...!" sahut sosok pemuda berbaju rompi putih yang memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti. Rupanya, Sri Dewi datang tadi bersama Rangga.
"Ki Singodimejo, hati-hati! Bocah itu bisa menghajarmu!" teriak Tunggul Wetu yang melihat kehadiran Pendekar Rajawali Sakti di tempat ini.
"Huh! Segala bocah ingusan kenapa dibuat takut segala?!" dengus Ki Singodimejo, memandang enteng.
Tunggul Wetu menyesalkan sikap sahabatnya. Bukan tanpa sebab dia berkata begitu. Karena dia sendiri pernah mencicipi sendiri hajaran Pendekar Rajawali Sakti. Padahal ilmu silatnya tidak terpaut jauh dengan si Singa Bermuka Merah. Dan di samping itu pula hatinya ketar-ketir menyadari bahwa pemuda itu berada disini. Tapi hatinya sedikit tenteram mengetahui bahwa kini mereka berenam.
"Memang tak ada yang perlu ditakutkan. Toh kedatanganku kesini hanya untuk mencegah kalian agar jangan terlalu mengumbar keangkaramurkaan..." kata Rangga, halus.
"Bocah tengik, apa kehebatanmu sehingga bertingkah didepanku?!" bentak Ki Singodimejo.
"Hiaaat..!"
Seketika si Singa Bermuka Merah menerjang sambil menggerakkan kedua tangannya, seperti mencakar.
"Uts!" Namun dengan mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', Pendekar Rajawali Sakti mampu menghindarinya. Tubuhnya meliuk-liuk seperti orang mabuk. Sehingga serangan kedua tangan berbentuk cakar itu tak satu pun yang berhasil mendarat tepat.
Mendapati serangannya gagal, Ki Singodimejo meningkatkan serangannya. Tangan kanannya, yang membentuk cakar, kembali berkelebat disertai tenaga dalam tinggi.
Namun kali ini Pendekar Rajawali Sakti tidak berusaha menghindar. Bahkan tiba-tiba tangannya yang membentuk paruh rajawali berkelebat memapak.
Plak!
"Aaakh...!" Si Singa Bermuka Merah itu menjerit kesakitan begitu tangannya terpapak. Terdengar suara berderak menandakan tulang-tulang jari yang patah. Wajahnya meringis kesakitan.
Ki Singodimejo kelihatan penasaran sekali. Saat itu juga sebelah tangannya yang masih utuh langsung mencabut senjata andalannya. Dan seketika kembali diserangnya Pendekar Rajawali Sakti.
"Yeaaa...!"
Rangga bersiap-siap menghadapi sambaran senjata tongkat berujung cakar dari baja. Dua kali sabetan ke perut dan lehernya dapat dihindari dengan melompat kesamping sambil merendahkan tubuh. Tangan kirinya kemudian bergerak cepat menangkap pergelangan tangan Ki Singodimejo.
Tap!
"Hih!" Seketika Pendekar Rajawali Sakti menarik tangan si Singa Bermuka Merah dengan kaki kanan bergerak menggedor dada.
Begkh!
"Aaakh...!" Kembali si Singa Bermuka Merah terpekik kesakitan. Senjatanya langsung lepas dari genggaman. Tubuhnya terjungkal beberapa langkah ke belakang. Wajahnya pucat dan berkerut kesakitan. Tangannya yang tak cedera menyeka darah yang meleleh di ujung bibirnya.
Melihat keadaan demikian agaknya orang bertopeng yang tadi bertarung melawan Ki Danang Rejo dan Sukasrana tidak tinggal diam, segera ditinggalkannya kedua lawannya. Langsung diterjangnya Pendekar Rajawali Sakti.
"Bocah usil! Rasakan pukulanku! Heaaat...!" bentak orang bertopeng itu sambil menghantamkan tangan ke batok kepala Pendekar Rajawali Sakti.
Tapi Rangga dengan seenaknya membuka tangan kiri. Langsung disambutnya kepalan itu dengan kibasan telapak tangannya.
Plak! Plak!
Orang bertopeng itu kontan persendiannya bergetar dan terasa linu. Meski begitu dia kembali melanjutkan serangan dengan sebuah hantaman kepalan tangan kiri. Sekali lagi, dengan tangkas Rangga menangkis. Namun kali ini dibarengi tendangan keras ke arah perut.
Plak! Des!
"Aaakh...!" Orang bertopeng itu kontan terpental ke belakang sambil menjerit kesakitan. Namun dia cepat bangkit Pada saat yang sama, Ki Singodimejo sudah bangkit berdiri. Kini kedua orang bertopeng itu siap mengeroyok Pendekar Rajawali Sakti. Namun belum sempat mereka bergerak....
Sriiing!
Seketika Pendekar Rajawali Sakti mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Tujuannya jelas untuk sekadar menakut-nakuti. Dan ternyata, kedua orang bertopeng itu terkejut setengah mati dan langsung menghentikan serangan. Mereka hanya terpaku, memandang perbawa pedang yang memancarkan sinar biru berkilauan.
"Hei? Dia Pendekar Rajawali Sakti?!" teriak Ki Singodimejo, begitu berhasil menguasai keterkejutannya.
"Celaka! Pantas saja kita tidak mampu melawannya!" timpal orang bertopeng satunya.
Mendengar teriakan itu, seluruh orang bertopeng menghentikan pertarungan. Mereka kini tahu betul, siapa yang dihadapi. Seorang pendekar besar yang namanya menggetarkan rimba persilatan.
"Kenapa berhenti, Kisanak? Apa yang aneh pada diriku?" tanya Rangga, dingin.
"Pendekar Rajawali Sakti! Masalah yang ada disini bukan urusanmu. Maka sebaiknya jangan mencampurinya!" dengus Ki Singodimejo.
"Kalian membantai manusia seenaknya. Maka itu sudah menjadi urusanku!" sahut Rangga, tegas.
"Ini urusan pribadi kami dengan mereka!" sambung laki-laki bertopeng di samping Ki Singodimejo.
"Menjadi urusan pribadiku pula, bila kalian tidak bisa menjelaskan kenapa melakukan pembantaian di sini."
"Si Jayeng Rono itu manusia durjana. Untuk apa kau membelanya?!" bentak Ki Singodimejo.
"Yang kulihat durjana malah kalian. Maka jangan bersilat lidah di depanku! Pergilah. Dan bawa anak buahmu sejauh-jauhnya. Jangan sampai pikiranku berubah!" ancam Pendekar Rajawali Sakti.
Ki Singodimejo dan orang bertopeng di sampingnya menggeram marah. Namun keduanya hanya bisa saling pandang, tanpa bisa berbuat apa-apa. Karena mereka tahu, bila melawan sama artinya mencari penyakit.
"Kau telah berurusan dengan Gerombolan Topeng Merah. Maka jangan anggap urusan ini selesai begitu saja. Ketua kami tentu akan membuat perhitungan denganmu!" ancam Ki Singodimejo seraya berbalik. Segera kawan-kawannya diajak untuk angkat kaki.
Bagi Tunggul Wetu dan Janang Uwung yang sudah tahu kehebatan Pendekar Rajawali Sakti tentu memilih angkat kaki daripada bertahan disini. Demikian pula yang lainnya. Rata-rata mereka kenal, siapa Pendekar Rajawali Sakti.
"Katakan pada ketuamu. Jangan terlalu mengumbar nafsu, bila tidak ingin berhadapan denganku!" ujar Rangga kalem.
Orang-orang bertopeng itu segera berkelebat cepat dari tempat ini. Begitu cepatnya, sehingga mereka cepat lenyap dari pandangan.
Ki Jayeng Rono yang merasa lepas dari lubang jarum, bernapas lega. Buru-buru dihampirinya Pendekar Rajawali Sakti.
"Pendekar Rajawali Sakti.... Namamu menjulang tinggi di rimba persilatan. Dan telah banyak orang tertindas yang merasakan pertolonganmu. Tidak sangka bahwa hari ini akulah yang mendapat anugerah pertolonganmu...," ucap Ki Jayeng Rono, sambil meringis menahan sakit pada tangan kirinya yang buntung. Tubuhnya membungkuk sedikit, saat membuka suara.
"Jangan terlalu memuji, Ki. Aku hanya manusia biasa yang hanya sedikit mempunyai kepandaian untuk membantu orang lemah. Aku tidak beda dengan kalian semua," sahut Rangga merendahkan diri.
"Ah! Kau terlalu merendahkan diri, Pendekar Rajawali Sakti. Aku Ki Jayeng Rono, pemimpin perkampungan ini. Kalau kau tidak keberatan, sudilah bertamu ke gubuk kami."
"Aku Rangga. Jadi panggil saja aku dengan namaku. Jangan menyebut gelarku!" ujar Pendekar Rajawali Sakti.
"Baiklah, Pendekar Rajawali Sakti..., eh! Rangga! Sudilah menginap di tempat ini!"
Ki Jayeng Rono setengah memaksakan keinginannya untuk mengundang Pendekar Rajawali Sakti ke tempatnya. Ini suatu kebetulan yang amat diharapkannya. Kepandaian pemuda ini bisa digunakannya untuk menakut-nakuti Gerombolan Topeng Merah yang tengah menekannya belakangan ini.
Dan Rangga tidak bisa menolak ketika yang lain pun seperti mendesaknya untuk bermalam di tempat itu. Sehingga mau tidak mau terpaksa menyetujuinya.

***

173. Pendekar Rajawali Sakti : Teror Topeng MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang