part 37

977 84 12
                                    

Dari satu sudut di lantai dua. Terlihat dua orang pemuda tengah berbincang menunggu lift terbuka.

"Tadi Rasya keliatan seneng banget waktu liat Ka'bah"
Hanif hanya tersenyum membayangkan bagaimana ekspresi Rasya saat itu.

"Dia juga sangat semangat waktu thowaf dan sa'i. Padahal kakinya masih sakit dan ga bisa di buat lari"
Dalam hati, Hanif tak henti hentinya bersyukur. Bagaimana pun, bahagia nya Rasya adalah bahagia nya.

"Sekarang, ente juga harus semangat Zayn.."

Senyum Hanif sedikit meluntur. Bukan karena ucapan Furqon. Tapi karena ia teringat tentang percakapannya dengan umi beberapa jam yang lalu.

Ia tak memberikan nomer Rasya pada uminya. Karena ia belum bilang kalau Rasya sedang amnesia. Ia khawatir, umi akan menelpon Rasya dan bertanya tentang sesuatu yang sesuatu itu membuat sakit Rasya semakin parah. Maka dari itu, hanifpun memberikan nomer Sovia pada uminya.

Di lain sisi, ia juga tak tau apa yang uminya inginkan. Dari kesimpulan yang ia tangkap. Uminya sangat kecewa. Dan itu sangat menggangu nya. Kini ia menyesal tak memberi tahu uminya dari awal. Dan yang paling ia takutkan adalah, ia takut untuk mengikhlaskan pernikahannya dengan Rasya.

Uminya memang tak berkata bila tak suka pada pernikahannya. Namun sangatlah terlihat, bila uminya sangat kecewa. Dan di lain sisi, umi tetap nomer satu baginya. Walau ia sangat mencintai Rasya. Bukankah surga seorang anak itu ada di telapak kaki ibunya?

"Gus Furqon?"
Sebuah suara membuat hati Hanif seketika berdesir.

Walaupun bukan namanya yang di sebut. Namun itu sudah cukup membuat nya kembali tersenyum.

"Kamu sendirian?"
Tanya furqon yang sedang menepuk lengan Hanif secara diam diam.

"Nggak Gus. Sama ummah. Tapi ummahnya masih wudlu"
Jawab Rasya yang sudah tersenyum.

Hanif hanya diam. Mengamati Rasya yang tersenyum manis untuk seseorang yang ada di sampingnya. Perih, memang. Namun ia terlalu naif jika tak terima dengan apa yang memang menjadi konsekuensi dari apa yang ia putuskan.

Ia masih teguh tak memberi tau Rasya tentang hubungan mereka. Rasya masih sangat membencinya. Dan ia tak punya bukti yang kuat untuk menunjukkan pernikahannya.

"Lain kali jangan keluar sendiri. Bahaya."
Ucap Furqon dengan senyuman tipis.

Rasya langsung mengangguk.

"Iya Gus"

Rasya sama sekali tak melirik ke arah Hanif. Tatapan nya fokus ke arah Furqon saja. Dan sungguh, itu membuat hati Hanif semakin mencelos menahan cemburu yang semakin membara.

"Emm..Gus. saya boleh tanya sesuatu?"
Tanya Rasya malu malu. Bahkan, ia sampai menundukkan kepalanya. Seolah menyembunyikan pipinya yang mulai memerah.

"Tafadhol. Selama saya bisa menjawab"

"Buket di kamar saya. Apa itu dari Gus?"
Tanya Rasya yang masib tertunduk malu.

"Buket?"
Beo Furqon yang langsung melirik ke arah Hanif di sampingnya.

Hanif hanya diam tak bergeming. Namun tingkahnya menunjukkan kalau ia sangat tidak nyaman. Furqon pun paham. Buket yang Rasya maksudkan itu, adalah pemberian Hanif.

"Bukan Rasya. Itu bukan dari saya. Tapi dari-"

Glekk!!

Pintu lift terbuka.

Hanif pun langsung masuk ke dalam. Tak memperdulikan dua orang yang sejak tadi membuat hatinya memanas. Ia sangat tersiksa.

Ia tak apa bila Rasya menganggapnya tak ada. Namun ia tak rela bila Rasya menyimpan rasa pada Furqon, Gus sekaligus sahabatnya.

Asmara Tanah HaramTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang