4. Optimistis.

83 51 8
                                    

BOLA mataku membelalak. Aku menyengir dengan sangat lebar, sampai-sampai mataku tak terlihat sangking lebarnya lengkungan bibir yang kutarik.

Aku menundukkan kepalaku secara tiba-tiba, "Pak Rudi nih, kayak nggak tau Keira aja," tuturku sembari mengernyit, "setiap cowok yang bapak lihat didepan gerbang, itu uda pasti temen Keira doang, Pak. Temen menguntungkan hehe."

Pak Rudi tertawa kecil, "Neng, dari dulu bapak lihat banyak banget yang sering nganterin Neng pulang," ucap pria itu seraya mengingat-ingat, "nih pengalaman bapak sendiri ya, Neng. Kalo cowok udah mau nganterin cewek pulang kerumahnya si cewek, pasti ada apa-apanya, Neng. Gak mungkin kalo gak ada apa-apanya, percaya deh sama bapak, Neng."

Aku terdiam selama beberapa detik. Benar juga, pikirku. Bayangkan saja, kalau arah rumah mereka itu tak sejalan. Terus, si cowok ngapain sampai segitunya. Bela-belain mutar arah. Ya pasti, karena dia memiliki alasan terselubung, kan?

Buru-buru aku tersadar. Mana mungkin, aku juga baru mengenalnya hari ini? Tak segampang itu juga orang-orang jatuh cinta, bukan?

Tak ingin ambil pusing, aku memilih mengabaikan perkataan Pak Rudi, dan masuk kedalam rumah, "Gak tau deh, Pak. Keira bingung sama masalah begituan. Keira masuk kedalam ya, Pak?"

Pak Rudi pun mempersilahkan, "Iya, Neng."

🦋🦋🦋

Aku baru saja selesai mandi. Handuk yang kugubetkan dikepala, kulepaskan, menyisakan rambutku yang masih sedikit basah.

Aku berjalan turun kebawah setelah menyampirkan benda itu, disana terlihat Mama yang sedang duduk menyiapkan makan malam.

Sebenarnya ketika aku pulang dan masuk kedalam rumah, Mama sudah menyerbuku dengan berbagai pertanyaan. Tetapi, aku malah mengatakannya nanti saja setelah aku selesai mandi. Alhasil, sekarang, Mama memandangiku dengan tatapan penuh arti, "Bagaimana hari pertama disekolahmu, sayang?"

Ah, baiklah.

Aku menarik kursi dimeja makan, menuang air bening kegelas kaca yang kupegang, "Baik kok, Ma." sahutku sembari meneguk segelas air itu, "keira ketemu temen SMP malah."

Mama menghentikan aktivitasnya, "Temen SMP kamu yang mana?" Tanyanya penasaran, "siapa namanya? cewek apa cowok?"

Sudah kuduga. Pasti Mama akan menghujaniku pertanyaan sejenis itu. Padahal Mama tahu jelas kalau aku jarang memiliki teman cowok.

"Cewek, Ma," kataku seraya merengut, "miley, namanya. Tapi, Keira nggak terlalu deket juga sama dia. Keira kenal dia karena dia temannya sahabat Keira."

"Sahabat kamu yang mana?"

"Addie, Ma." sahutku, "yang waktu itu pernah ikut audisi nyanyi bareng Keira."

Kedua bola mata Mama berbinar, "Oh itu!" Mama mengangguk sebanyak dua kali, "Keren dia tuh, Mama lihat waktu audisi itu pergi bareng Mamanya. Makannya masih disuapin. Lauknya juga cuma telur goreng."

Kalau seperti ini pasti ujung-ujungnya aku bakalan dibanding-bandingin.

"Iya ya, Ma?" tuturku, "emang anaknya selalu bersyukur."

"Nah itu tau," sahut Mama, "kamu waktu SMP, Mama bawain lauk ayam. Eh, pulang sekolah lauk ayam itu juga masih utuh."

"Nggak utuh, Ma," Aku menyangkal karena memang itu tidak benar, "keira makan, tapi ya emang nggak habis."

"Sama aja,"

"Iya deh, Ma, iya." Aku menunduk pasrah.

"Sekarang kan uda SMA, jangan sampai nggak diabisin lauk yang uda Mama bawain dibekal kamu."

Noel HaraldWhere stories live. Discover now