Sisi lain Ata

38 10 0
                                    


Bel istirahat telah berbunyi. Gebby bangkit dari posisinya lalu dia bergegas keluar untuk memberi gadis itu pelajaran. Salah siapa dia berani bermain-main dengannya.

Berita tentang pingsannya Gebby sudah menyebar luar di sekolahnya. Selama berjalan, banyak bisik-bisik yang ditujukan kepadanya.

Gebby mempercepat langkahnya saat menangkap siluet gadis incarannya.

Langkah Ata terhenti begitu saja ketika Gebby mendorong kuat bahunya. Dia terjatuh di depan banyak murid yang sedang berlalu-lalang. Mereka yang melihat itu, tertawa keras tanpa ada niat untuk menolongnya.

Ata hanya bisa menahan malu dengan cara menundukkan kepalanya. Gebby benar-benar kelewatan, batinnya.

Gadis itu bangkit seraya membersihkan roknya dari debu. Kini kepalanya sejajar melihat wajah Gebby. Dan untuk kali ini dia harus berani melawan.

"Maksud lo apa hah?!" gertaknya. Nafasnya memburu lengkap dengan satu tangan yang seolah sedang menutupi sesuatu.

"Lo kan yang ngerjain gue?!" Tuduh Gebby dengan tangan yang menunjuk kearah muka Ata.

"Ada bukti?" tanya Ata remeh. Dia memandang sinis terhadap lawan bicaranya.

Gebby terdiam. Benar apa yang dikatakan Ata, dia tidak mempunyai bukti. Tangannya mengepal. Untuk pertama kalinya Gebby merasa kalah dari gadis cupu itu, Ata.

"Jangan macam-macam lo! Atau gue bakal buat lo malu lebih dari ini!" desis Gebby. Kini Ata giliran Ata yang berkutik. Pasalnya ucapan Gebby kali ini tak terlihat main-main.

"Kok diam? Takut lo?!" serunya.

Ata hanya memandang tanpa ada niat untuk melawannya. "Awas aja lo Geb," ujarnya dalam hati.

"HUU... GEBBY DILAWAN!" mereka yang berada di sana mulai menyorakinya.

Ata semakin malu dibuatnya. Dengan perasaan dongkol, gadis itu mulai melangkah menjauhi kerumunan. Tapi sebelum itu, Ata menyenggol kuat bahu Gebby yang membuat sang empu meringis.

"Shit!" umpatnya. Setelah itu dia berjalan menuju kantin untuk bergabung dengan teman-temannya.

Kerumunan itu perlahan mulai bubar setelah yang mereka anggap sebagai 'tontonan' itu usai. Mereka hanya terlalu fokus dengan perdebatan yang dilakukan. Tanpa ada yang menyadari ada sesuatu yang mengganjal.

Pemuda di samping tiang itu nampak sedang memikirkan sesuatu. Memastikan apa yang dilihatnya tadi benar atau justru keliru.

"Tangannya kenapa?" monolognya.

***

Bel pulang sekolah berbunyi 5 menit lalu. Namun tampaknya guru yang tengah mengajar di kelas Ata belum ada niat menyelesaikan pelajarannya. Tentu saja membuat sebagian anak jengkel.

"Baik, saya akhiri pertemuan kali ini. Untuk pekerjaan rumah kalian, buka buku paket halaman 107-109. Kumpulkan pertemuan selanjutnya." Ucap Bu Santi mengakhiri pelajaran.

Setelah guru itu keluar kelas, barulah anak-anak kelas X IPA 2 bisa bernafas lega. Tak sedikit anak yang mengeluh kesal karena lamanya guru mengakhiri kelas.

Ata, gadis itu membereskan alat tulis dan bukunya. Mengecek kembali apakah ada barang yang tertinggal atau tidak. Setelah dirasa cukup, dia menutup rapat tasnya.

Detik berikutnya, dia memakai cardigan yang juga dipakai saat berangkat tadi. Tidak diijinkan baginya untuk memakainya saat KBM sedang berlangsung. Karena itu melanggar peraturan.

Ata berjalan pelan meninggalkan halaman sekolahnya. Di sana sudah cukup sepi. Hanya tersisa beberapa anak yang tengah mengikuti ekstrakulikuler.

Sambil menunggu angkutan datang, dia mengeluarkan earphone yang selalu dibawa kemana-mana. Memutar lagu di handphonenya, dan sesekali kepalanya mengangguk ke sana kemari mengikuti irama yang terdengar merdu di telinganya.

Sudah 10 menit gadis itu menunggu, tetapi belum ada satu angkutan pun yang lewat. Bahkan, awan cerah siang ini tergantikan oleh awan gelap di atas sana. Angin berhembus kencang, lantas menyeruak membawa jutaan senyawa yang membuat detik demi detik kian membeku.

Dia melirik benda yang pipih yang digenggamnya. Bagaimana ia bisa pulang kerumah jika angkutan saja tidak ada?

Ata mencoba memutar keras otaknya saat dirasa tetesan air dari atas mulai membasahinya. Cardigan yang dipakai dirapatkan ke tubuh mungilnya. Dia hanya ingin pulang cepat ke rumahnya.

Oke, gak ada pilihan lain. Batinnya.

Persetan dengan apa yang akan terjadi kedepannya, gadis itu memutuskan untuk berlari saja ke rumahnya. Jaraknya memang agak jauh, tapi dia akan mencoba sampai rumah sebelum hujan kian menderas.

Baru saja dia berdiri bersiap untuk berlari, netra coklatnya menangkap ada sebuah angkutan yang melaju dari arah kanan. Lantas Ata menghentikannya lalu mulai berlari memasukinya.

"Akhirnya sakitnya di pending," ujarnya pelan.

Angkutan yang ditumpanginya perlahan mulai berjalan meninggalkan kawasan SMA Bangsa. Pemuda yang sedari tadi bersembunyi di balik semak-semak pun bergegas mengikutinya secara perlahan.

***

"Kiri pak! Terimakasih," ujarnya. Ata bergegas memasuki pekarangan rumahnya.

Namun kini dia merasa kalau keputusannya pulang dengan cepat itu salah. Karena-

"Tapi ini sesuai perintah kantor Ma!" suara papa Ata menggelegar sampai keluar rumah. Sontak membuat Ata menghentikan langkahnya.

"Aku tahu. Selama-" Ujarnya.

"Kalau tahu kenapa kamu gak setuju Ma?" tanyanya.

"Pa, stop!" sela Bu Alya. "Dengerin aku dulu," lanjutnya.

Ata yang sudah muak dengan pertengkaran itu menjauh dari pekarangan rumahnya. Dia duduk di kursi dekat gerbangnya. Perlahan air matanya jatuh bercampur dengan rintikan hujan yang belum mereda. Keinginannya untuk menjerit dipendam dalam-dalam. Karena bisa jadi orang tuanya mendengarnya lalu mulai menyalahkan satu sama lain.

"Apa kehadiranku mengganggu ketenangan mereka?" lirihnya.

Dirasa pertengkaran itu telah usai, Ata mulai bangkit seraya menghapus sisa air matanya. Kali ini dia harus pandai untuk mengarang alasan mengapa tampilannya bisa seperti ini.

"Aku pulang!"

***

Dibalik helm full face nya pemuda itu memikirkan sesuatu yang membuat hatinya berdesir. Tak ingin terjadi buruk, dia menepikan motornya.

"Lihat lo kayak gitu rasanya aneh. Gue bener-bener nggak tahu andai saja gue di posisi lo bakal bertahan atau justru nyerah." Dan sebelum dia melanjutkan perkataannya, handphonenya berbunyi.

'Biang rusuh' nama itu terpampang jelas. Dengan enggan dia mengangkatnya.

"Cepetan kesini Bang!" suara keras dari sang penelepon.

"Ya." Balasnya singkat.

"Woilah, kalo-"

Tut.

Telephonenya dimatikan sepihak olehnya. Dan dengan segera dia melanjutkan perjalanannya yang tertunda. Bila saja dia berlama-lama, mungkin sesampainya di sana telinganya akan mendengar ocehan tak jelas sang kembaran.

Sedangkan seseorang di seberang sana mengumpat terhadapnya. "Sialan! Untung aja dia abang gue, kalau nggak udah tak hiiih!" celanya.

Hai!Selamat datang di Part 5 Kelompok 1 jangan jadi silent reader's yaa^^.

- Sabrina
- Gebby
- Arina
- Syifa

Salam Sayang❤️

ATAZHIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang