Rapuh

23 6 0
                                    

Hancur, kata yang sanggup mewakilinya kali ini. Tawa Ata menggelegar di ruangan itu. Untung saja kedap suara. Jika tidak, dia yakin akan dianggap orang gila. Tawanya perlahan tergantikan dengan wajah suram lengkap dengan air mata yang terus mengalir dari netranya.

"AAAA!" tangannya mencengkeram kuat rambut kuatnya. Tak peduli rasa sakit yang dirasakan.

Tangisan sedu terus terdengar. Sesekali diselingi dengan pecahan kaca dan suara ringisan. Darah segar itu terus mengalir hingga fajar terbit.

***

"Si Geboy kenapa dah?" Tanya Gita.

Mereka berdiri di pintu masuk kelas dan memperhatikan Gebby yang sedang senyum-senyum sendiri. Anak-anak yang di dalam kelas juga menatapnya heran.

"Entah. Berasa lagi liat orgil gue," jawab Dimas asal.

"Heh onta! Gak boleh gitu! Gitu-gitu juga sahabat lo," tangan Gita menggeplak kepala Dimas, pelan. "Udah ah, ayo samperin. Daripada tuh anak kenapa-napa."

"Woy, calon penghuni neraka!"

Gebby tersentak ketika ada yang menepuk pundaknya. Ternyata Dimas. "Apa sih lo? Ganggu aja!" sungutnya. Khayalannya indahnya hilang begitu saja. Sangat disayangkan.

"Yeu. Bukannya bilang makasih, malah dikatain ganggu." Ujar Dimas sambil berkacak pinggang.

"Lagian, lo ngapain sih pake acara senyum-senyum segala? Sawan lo?" Tanya Gita. Gadis itu meletakkan tasnya di samping Gebby.

"Bukan. Jadi tu-"

"EYYO WASAP GAYS.... "

Ternyata Geo. Melihat laki-laki itu, Gebby semakin menahan senyum-senyum tidak karuan.

"Ooo ... jangan-jangan tuh anak yang bikin lo kayak orang kesambet ini ya?"

Belum sempat Gebby menjawab, Geo sudah berbicara. "Wih ... ada apa nih pagi-pagi udah ngumpul aja? Ghibah ya?" Tanya Geo dengan senyum pepsodentnya. "Eh ada Neng Geulis. Apa kabar, beb? Semalam tidur nyenyak kan setelah Babang Geo nyanyiin?" tanyanya pada Gebby.

"Eh lo berdua ada hubungan apa?" Tanya Dimas curiga. Pasalnya Gebby dan Geo tidak pernah sedekat itu semenjak persahabatan mereka terjalin.

"Hah? Enggak kok, kita berdua gak ada apa-apa. Emang kayak situ." Sindir Geo.

"Gue? Emang gue kenapa?" sewot Dimas.

"Hilih. Pura-pura gak tau." Ujarnya sambil mendelik. "Maksud lo apa coba pergi bareng Gita? Biasanya juga lo pergi bareng gue. Atau emang lo yang ada apa-apanya?"

"Eh iya tuh bener. Gue baru sadar."

"Heh burung beo! Denger ya, gue sama Dimas itu gak ada hubungan apa-apa. Dan lo, Geb. Jangan ikutan jadi kompor."

"Wih, kok ngamuk?"

"Awas lo berdua jodoh."

"Ogah!" Sanggah Gita. "Ogah gue berjodoh sama buaya berjalan macam dia."

"Dih, gue juga ogah kali."

"Eh btw, Deo mana, Ge?" Tanya Gita.

"Kebo tuh anak. Kesel gue, ya gue tinggalin."

***

Seorang gadis tengah meratapi gerbang sekolah yang sudah tutup. Dia merasa sial pagi ini.

Pertama dia bangun kesiangan. Bahkan tak sempat untuk sarapan. Dan sekarang lihatlah, dirinya harus menunggu satpam sekolah untuk membukakan gerbang itu.

Rasanya semalam dia sudah bersusah payah untuk memejamkan matanya. Namun nihil, yang ada dia terjaga sampai jam tiga pagi. Dia kira setelah acara 7 bulanan semalam dapat membuat orang tuanya berubah pikiran. Tetapi nyatanya tidak sama sekali.

Orang tuanya akan resmi bercerai ketika adiknya lahir. Dan Papanya akan berjanji untuk membiayai hidup mereka sampai dewasa nanti. Meskipun begitu, hati Ata tetap sakit sekaligus kecewa. Padahal dulu, keluarga mereka sangat harmonis tanpa ada masalah sedikitpun.

Gadis itu mendengar deru sepeda motor di dekatnya, refleks dia menoleh. Namun ketika melihat siapa si empu sepeda motor itu, Ata mengalihkan pandangan ke sembarang arah. Bertambah satu kesialannya sekarang.

"Zhia." Panggil cowok itu pelan sembari melepaskan helmnya. "L-lo terlambat juga?"

Udah tau pake tanya, batin Ata.

Ata hanya diam saja. Dia juga masih kecewa dengan laki-laki yang ada di sampingnya ini. Gadis ini bingung, mengapa semua membuat nya kecewa secara bersamaan?

"Zhi ... gue ngomong sama lo nih." Kini posisi Deo tepat di depannya.

Lagi-lagi Ata bungkam. Malas berurusan dengan Deo lagi.

"Gue– gue mau minta maaf, Zhi." Tangan kekar Deo menggenggam lembut tangan mungil gadis itu. "Maaf udah bikin lo kecewa. Gue nggak ada maksud untuk ini semua, Zhi. Gu-"

"Gausah jelasin, De. Makin lo jelasin, makin bikin gue sakit hati. Mending lo pergi aja, gue males ketemu lo."

Mendengar itu hati Deo mencelos. Tidak ada Ata yang lemah lembut, murah senyum. Kini gadisnya berubah menjadi dingin, sama seperti dirinya.

"Kalau gue pergi, lo sama siapa?" ujar Deo.

"Gue udah terbiasa sendiri, sana!" jawab Ata ketus.

"Gak, Zhi. Mending lo ikut sama gue aja, yuk." Deo masih bertahan di posisinya seraya merayu Ata dengan omongannya.

"Gak, De. Lo pergi sana."

"Nggak. Udah ayo. Gue gak terima bantahan." Kalimat terakhir Deo yang cukup tegas itu membuat Ata mau tidak mau harus mengikutinya.

"Plis, gue mau move on!" teriaknya dalam hati.

Deo menarik Ata agar menaiki motornya, dia memutuskan untuk bolos sekolah bersama Ata, dan meluruskan apa yang seharusnya diluruskan.

Deo mengendarai motornya dengan kecepatan standard, dia ingat jika sedang membonceng gadisnya, iya gadisnya, Deo sangat mencintai Ata, namun, gara-gara dare sialan itu dia jadi merasa bersalah dan sangat kesal terhadap dirinya sendiri karena telah menyakiti pujaan hatinya.

Mereka sampai di danau yang bersih, danau yang jarang diketahui orang karena terdapat di tengah-tengah pedesaan yang jauh dari kota. Tempat itu biasanya digunakan Deo untuk menenangkan dirinya jika sedang ada masalah.

Deo mengajak Ata turun dan duduk di pinggir danau, Ata terlihat begitu damai melihat pemandangan itu. Deo jadi merasa senang karena bisa membuat perasaan Ata sedikit tenang. Ya, sedikit.

Dia tersenyum melihat Ata yang tampak sangat senang. Hatinya nampak menghangat melihat senyuman insan di depannya.

"Gue mau minta maaf karena macarin Lo karena dare. Tapi rasa sayang gue ke elo bener-bener nyata sekarang," terang Deo.

Ata termenung mendengarkan penjelasan Deo, dia masih sangat terpukul dengan kejadian itu, dia ingin menangis sekencang-kencangnya.

"Kenapa? Kenapa harus gue yang dijadikan taruhan?" balas Ata.

Ata tidak bisa membendung lagi air yang sudah menggenang di pelupuk matanya, perlahan-lahan Deo mendekati Ata dan menarik ata ke dalam dekapannya, dia juga merasakan sesak yang dirasakan Ata.

5 menit berlalu, suara tangisan itu perlahan meredup. Ata menjauhkan diri dari Deo, lalu meluruskan pandangannya. Tatapan kosong, itu yang kini ditangkap Deo. Hatinya nyeri melihat hal tak mengenakkan ini.

Fokusnya terpecah saat menyadari tangan Ata terdapat banyak hansaplast. Bibir pucat Ata, kantung mata yang mulai menghitam dan membesar. Sungguh dirinya merasa benar-benar bersalah.

Beberapa saat mereka saling terdiam. Ata yang menahan sakit di tubuhnya, dan Deo yang sedang bergelut dengan perasaan bersalahnya.

Tanpa Deo sadari, Ata bangkit lalu berjalan di tepi danau tersebut. Ata tak terlalu memperhatikan jalan yang licin itu. Hingga akhirnya … Byur!

"Zhia!"

Hai! Selamat datang di Part 11 Kelompok 1 jangan jadi silent reader's yaa^^.

- Sabrina
- Gebby
- Arina
- Syifa

Salam Sayang❤️

ATAZHIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang