𝐱𝐢𝐢. (a)

93 25 24
                                    

xii. End — (a)

"dokter park!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"dokter park!"

mendengar panggilan, pria yang kerap dikenal sebagai dokter muda itu melenggang santai di koridor rumah sakit.

pasien lagi.

dia sibuk akhir akhir ini—atau mungkin semakin menyibukkan diri, mengingat ini mendekati harinya.

"sudah di cek semua?" tanyanya, memakai kembali masker dan sarung tangannya seraya membetulkan letak kacamatanya.

"sudah."

"kalau begitu kita mulai saja."

◍◍◍

"jay!"

baru tiga menit menghirup udara segar setelah berjam jam di dalam ruang operasi, pria itu kembali di hadapkan dengan rekan kerja.

oh, atau kita sebut saja mantan mertua.

"paman," menyapa sekaligus menunduk hormat, jay mengulas senyum tipis melihat pria berumur itu mendatanginya.

diberi tepukan khas seorang ayah, pria itu bertanya, "nanti mau ikut kami ke sana?"

jay menggeleng pelan, "aku masih ada beberapa pekerjaan. nggak apa apa, paman dan tante duluan saja."

"begitukah? astaga, lagipula sudah aku bilang, panggil saja kami papa dan mama."

"hehe, maaf, kebiasaan."

"ya sudah, jangan lupa makan, ya, nak."

jay mengangguk, mengantar kepergian kedua orang tua yang ditinggal sang anak.

padahal mati matian jay menyibukkan diri agar tidak mengingat gadisnya. tapi ayah si gadis sendiri yang langsung mendatanginya.

"aku dilarang melupakanmu, hm?" jay bergumam, menatap lurus ke langit mendung.

hujan memang tidak pernah merestui mereka.

"oh, jay!"

lagi lagi dipanggil, pria itu menoleh. melihat seorang teman yang masih setia dengan motor merah ketinggalan jaman di parkiran rumah sakit.

"tumben? siapa yang sakit?"

heeseung terkekeh, "istriku duluan kesini tadi, aku menyusul setelah pulang kerja. kamu sedang istirahat?"

"hm, ya sudah sana, temui istrimu."

"iya. oh, omong omong, jay, apa kencan butamu kemarin tidak berhasil?"

jay mengangkat satu alisnya heran, "yang mana?"

"minggu kemarin."

"oh, enggak."

heeseung melotot, "padahal dia cantik. kenapa enggak?"

"heum, rasanya hambar, tidak asik."

"kamu sungguhan harus segera move on, bung. mau sampai kapan? ini sudah sepuluh tahun."

jay menipiskan bibir, bergumam, "nanti saja, kalau dia memberi ijin. ah sudah sana, kamu mengganggu istirahatku!"

begitulah jay, ditinggal pergi tanpa pamit meninggalkan sesak dan luka yang dia simpan sebagai kenangan.

◍◍◍

"aku datang."

jika biasanya dia yang berbicara banyak padaku, kini hanya aku yang berbicara padanya sepuluh tahun belakang.

duduk di sebelah tempat peristirahatannya setelah menjalani hari yang panjang, agaknya aku rindu dengan dia yang selalu bersandar di pundakku.

mengulas senyum tipis, rasa menyesal itu masih ada.

hargai mereka yang masih ada di sisimu, karena kamu tidak akan pernah tahu kapan mereka pergi.

aku menyesal tidak banyak tersenyum di depannya, menyesal tidak sering memeluknya, menyesal tidak pernah berterus terang padanya.

"tadi aku menyelamatkan nyawa lain. kamu bangga, nggak? hehe."

aku merindukan dia yang selalu tertawa, tidak peduli seberapa cuek aku menanggapinya. dia yang bercerita panjang lebar, bahkan senyum cerah yang tidak pernah luntur.

"heeseung tadi datang, menemani istrinya. bertanya kenapa aku tidak tertarik kencan buta lagi."

"apanya yang kenapa? sudah jelas, kan, alasannya? aku masih sayang kamu..."

setidaknya, aku bersyukur diberi kesempatan untuk memeluknya waktu itu. bersyukur diberi waktu untuk mengatakan secara gamblang kalau aku menyayangi dia.

tapi sekali saja, aku ingin bertemu dengannya lagi. memeluk dan bertukar cerita sebanyak mungkin seperti dulu.

dibanding rasa syukur karena pernah mengungkapkan hal yang jarang kulakukan, rasa penyesalanku lebih besar di sini.

maaf, aku tidak memerhatikanmu selayaknya seorang kekasih.

kalau ada yang bisa aku ubah di dunia ini, aku ingin kamu tetap di sini denganku.

"aku menyayangimu, maafkan aku."


[end]

sorry, can you stay? [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang