𝐢𝐢.

109 27 43
                                    

ii. Tentang Kita Sebenarnya

 Tentang Kita Sebenarnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"mau minum?" tanyaku.

jay duduk di lantai ruang tamu, menyandarkan diri pada kaki sofa sembari memejamkan mata.

apa dia kelelahan?

seharusnya aku tidak egois dengan diam merajuk untuk mencari perhatiannya tadi. aku keterlaluan, ya?

tidak kunjung mendapat jawaban, aku mengambilkan susu kotak yang selalu ada di kulkas, membawa serta camilan asal untuk menemani sore kami.

duduk di sebelahnya, meletakkan camilan dan susu kotak di atas meja. kemudian aku menoleh mengamati profil samping pacarku.

dia tampan—tapi dingin.

tidak heran banyak gadis di luar sana yang menyukainya. bahkan mengejar meski tau aku pacarnya.

bukan aku sedang memulai monolog tentang 'apa aku bahkan pantas di sisinya?' tapi ini tentang seberapa beruntungnya aku yang ternyata dipilih jay.

kami bukan siswa populer, hanya siswa biasa. tapi semenjak kami menjadi pasangan, semua orang tau siapa jay dan aku.

yang mereka tahu, aku hanya gadis biasa yang pacaran dengan jay si kulkas. tapi yang sebenarnya terjadi, jay adalah empat musim yang hanya dilalui beberapa wilayah.

beruntungnya, aku termasuk pada salah satu wilayahnya—meski dominan musim dingin.

"kenapa?"

aku tersentak mendengar jay angkat suara tanpa membuka mata. tertangkap basah, aku hanya sanggup melempar cengiran.

"apa kamu selelah itu?" aku ikut menyenderkan tubuh di kaki sofa, menoleh untuk melihat jawabannya.

jay berdeham, menegakkan punggung dan langsung melihat suguhan di atas meja tanpa menatapku.

"buat aku?"

"iya."

"padahal nggak usah repot." tangannya meraih sekotak susu, lebih memilih menuntaskan dahaga sebelum memakan camilan.

aku masih setia bersandar, melihat jay dari belakang. meski wajahnya tampan, tapi pemandangan favoritku adalah punggungnya.

pernah merasa aman karena memiliki tameng? itu yang selalu aku rasakan saat melihat punggung pacarku.

pundak jay memang tidak selebar milik ayahku, punggungnya juga tidak seatletis itu. tapi rasanya sudah lebih dari cukup untuk aku bersandar.

"apa?" tanyanya.

"boleh... di sini?" aku menepuk pelan pundaknya, meminta ijin untuk sekali lagi merasakan sandaran tamengku.

jay mengangguk, membiarkan aku menjatuhkan kepalaku di pundaknya. terdengar jelas deru napasnya yang bersahutan dengan degup jantungku. sesekali diselingi bunyi kendaraan lewat ataupun tegukan susu kotak yang belum habis.

sore favoritku saat aku mengistirahatkan diri di sebelah jay. karena biasanya, aku hanya sendirian saat langit oranye menyapa.

orang tuaku itu sibuk, pekerja keras dan profesional. bukan berarti mereka lebih mementingkan karir dibanding anak, tapi tugas seorang dokter memang selalu ada untuk pasiennya, kan?

ada ekspetasi yang ditangguhkan sepasang dokter di pundakku. dan hanya jay yang memberi sandaran ketika aku merasa lelah.

sebaliknya, ada tekanan sebagai anak pertama yang ditanggung jay, dan aku di sini berusaha mengerti keadaannya.

di saat aku mulai nyaman dengan suasana sore, tangan besar jay malah menangkup tanganku. memainkan tangan mungilku di pangkuannya dengan santai.

aku mengintip, dia terlihat menggemaskan saat dua tangannya bermain dengan satu tangan kecilku. ini jarang terjadi, jadi aku ingin menikmati tontonanku.

mencocokkan ukuran telapak tangan kami, jay bergumam, "tanganmu kecil sekali."

"itu sih kamu yang kebesaran," sahutku reflek.

jay menautkan jemari kami, berujar, "aku kira kamu tidur."

"hampir. kamu lapar nggak?"

gelengan kepalanya terasa di pucuk kepalaku. menumpukan pipi di atas sana, jay balik bertanya, "kamu lapar?"

"belum..."

"hmm—"

cup

"—kalau lapar bilang."

serius.

aku kapok meminta jay menjadi hangat.

sikapnya yang tiba tiba mengecup pucuk kepalaku tadi membuat tubuhku panas seketika. jantungku berdetak lebih cepat dari sebelumnya, dia berbahaya.

aku menarik diri, berusaha menutupi salah tingkah. seketika linglung harus apa, mengerjap beberapa kali dengan mulut terbuka, akhirnya aku berseru, "aku tiba tiba lapar. m-mau pesan makan?"

"hm, boleh."

pesan makan apanya. memegang ponsel saja agaknya aku gugup.






[continued]

sorry, can you stay? [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang