BAGIAN 2

119 9 0
                                    

Selang beberapa saat, anak buah Bilung telah menciut. Kini tinggal empat orang yang berdiri tegak. Sikapnya tampak ragu-ragu. Termasuk Bilung yang tak percaya melihat kehebatan pemuda itu. Hanya bertangan kosong, pemuda itu mampu melumpuhkan mereka?
"Kenapa diam? Ayo, maju lagi!" seru pemuda itu sambil bersedekap pinggang.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Bilung penuh tekanan.
"Siapa pun aku, tak jadi masalah! Yang membuat masalah justru kalian. Nah, jangan harap aku akan mengampuninya!" sahut Rangga dingin dan penuh perbawa kuat.
"Tidak seorang pun berani macam-macam pada Bilung, Ketua Gerombolan Singa Barong yang menguasai Lembah Tengkorak ini!" gertak laki-laki brewok Itu.
"Tidak usah menggertakku, Kisanak! Pikirkan saja keselamatanmu sekarang!"
"Keparat!" Selama ini tidak ada yang berani merendahkan Bilung yang memang sebagai pimpinan kawanan perampok yang menguasai Lembah Tengkorak. Namun pemuda di depannya seenaknya saja menganggap enteng. Itu membuat Bilung betul-betul terhina. Sehingga amarahnya cepat naik ke kepala. Maka tanpa mempertimbangkan apa-apa lagi, diserangnya Pendekar Rajawali Sakti dengan ganas.
"Heaaat!"
Bet!
Golok di tangan laki-laki brewok ini bergerak cepat, dipadu sodokan kepalan tangan kiri serta tendangan untuk menjatuhkan pemuda itu secepatnya. Terasa kalau serangannya lebih berat dan cepat ketimbang tadi. Ini pertanda kalau Bilung telah mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki.
Walaupun telah mengeluarkan kepandaiannya setinggi mungkin, namun dimata Rangga, Bilung hanyalah seorang tokoh yang besar mulut dan keras kepala. Kalau melihat gerakannya pun sangat kaku dan lambat.
Rangga memang tidak sembarangan memperhitungkan kalau tidak dibuktikan. Maka ketika Bilung menyabetkan pedang dengan gerakan indah sekali Pendekar Rajawali Sakti menjatuhkan diri. Dan mendadak kedua kakinya menyapu bagian bawah tubuh Bilung.
Ketua gerombolan itu terkesiap. Cepat dia melompat mundur. Tapi Pendekar Rajawali Sakti telah melenting. Bahkan tahu-tahu tubuhnya meluruk dengan kepalan tangan menghantam perut dan dada.
Buk! Begkh!
"Aaakh...!" Bilung kontan terpental dan jatuh beberapa langkah ke belakang disertai jerit kesakitan. Pukulan barusan terasa berat dan kuat. Isi perutnya seperti diaduk-aduk. Dan tatkala bibirnya diseka, terlihat cairan merah menetes. Laki-laki gemuk ini berusaha bangkit. Tapi belum juga sempurna berdiri, Pendekar Rajawali Sakti siap melepaskan tendangan lagi.
"Akh! Cukup! Aku menyerah...!" teriak Bilung cepat menahan gerakan pemuda itu.
Darah meleleh semakin deras dari sela-sela bibir Bilung. Wajahnya berkerut menahan rasa sakit hebat. Meski begitu sisa-sisa anak buahnya yang masih ada, tak berani berbuat apa-apa. Mereka telah melihat sendiri, bagaimana sepak terjang pemuda itu. Dengan jumlah banyak saja, mereka berhasil dirontokkan. Apalagi dengan jumlah yang lebih sedikit.
"Apa kau kira aku akan mengampuni begitu saja?" desis Rangga, dingin menggetarkan.
"Jadi..., jadi kau hendak membunuh kami semua?" tanya Bilung gelagapan.
"Aku hanya ingin kalian tak melakukan perbuatan-perbuatan busuk seperti tadi!" tegas Rangga, penuh perbawa.
"Kami berjanji, Pendekar!" sahut Bilung cepat seraya memaksakan diri untuk berlutut.
"Hm. Bisa saja kalian mungkir di belakangku."
"Bukankah kau seorang pendekar hebat? Dan kalau terdengar aku mungkir akan janjiku, bukankah kau bisa mengejarku lalu memenggal leherku?"
"Baik. Kau telah berjanji begitu di hadapanku. Ingatlah! Aku akan mengejarmu jika mendengar kau dan anak buahmu melakukan perbuatan-perbuatan busuk lagi!"
"Jadi..., jadi kau mengampuni kami, Pendekar?!" sambar Bilung dengan wajah agak cerah.
"Kalau Yang Maha Kuasa saja mampu mengampuni hamba-hambanya yang bertobat, kenapa aku tidak?"
"Terima kasih, Pendekar. Kalau begitu kami mohon pamit dulu," ucap Bilung, terburu-buru.
Pendekar Rajawali Sakti mengangguk kecil.
"Eh! Maaf, Kisanak. Kalau boleh kami tahu, siapa gerangan nama besarmu agar kami bisa mengingatnya baik-baik?" tanya Bilung sebelum mengajak anak buahnya angkat kaki dari sini.
"Namaku Rangga. Maaf, julukanku mungkin tidak dikenal orang. Meski begitu sebagian orang menyebutku Pendekar Rajawali Sakti," sahut Rangga merendah.
"Ohhh...?!" Bilung terkejut. Jelas dia kenal nama itu sebagai tokoh yang ditakuti oleh tokoh-tokoh hitam sepertinya. Maka tanpa banyak bicara lagi dia buru-buru angkat kaki, setelah mengangguk beberapa kali pada Rangga.
Setelah Gerombolan Singa Barong pergi, Pendekar Rajawali Sakti segera melepaskan kedua gadis yang tadi ditawan.
"Sekarang kalian boleh melanjutkan perjalanan," ujar Rangga, pendek.
"Kami berhutang budi padamu, Kisanak...," ucap Wulandari.
"Namaku Wulandari dan kawanku Ningsih. Kalau boleh tahu, siapa namamu sebenarnya?"
"Bukankah kalian tadi telah mendengarnya pula?"
"Ya! Kau adalah Pendekar Rajawali Sakti. Tokoh terkenal yang disegani lawan maupun kawan. Tapi tidak bolehkah kami mengetahui namamu yang sebenarnya?"
"Namaku Rangga...."
"Oh, Kakang Rangga. Senang sekali bisa mengetahuinya," kata Wulandari disertai senyum manis sekali. Bahkan langsung memanggil kakang pula.
"Sekali lagi kami ucapkan terima kasih banyak atas pertoonganmu, Kakang Rangga," timpal Ningsih.
"Kalau kau tidak menolong, entah apa jadinya."
"Hm, jangan begitu berlebihan. Ini hanya kebetulan. Dan lagi pula, sudah menjadi kewajiban sesama untuk saling menolong...."
"Mulia sekali niatmu, Kakang!" puji Wulandari.
"Kalau boleh kami tahu, ke mana tujuanmu, Kakang?" tanya Ningsih.
"Aku tidak punya tujuan pasti. Sekadar mengikuti ke mana saja langkahku. Kalian sendiri hendak ke mana?"
"Kami.... Eh..., hendak ke rumah saudara," sahut Ningsih sedikit gugup dan melirik sebentar pada Wulandari.
"Hm... Daerah ini memang banyak dihuni kawanan perampok seperti mereka tadi," gumam Rangga.
"Kuharap kalian bisa berhati-hati."
"Ya, kami sendiri agak takut. Kalau tidak keberatan, maukah kau..., menemani kami sampai tujuan?" tanya Ningsih ragu.
Rangga tersenyum.
"Jika kalian berjalan terus ke kanan, maka tidak berapa lama lagi akan ketemu sebuah desa. Tempat itu cukup ramai dan aman bagi kalian," jelas Rangga, menolak secara halus.
"Ah! Kau benar, Kakang Rangga! Maaf, kalau kami merepotkan." Ningsih jadi tersipu malu. Dan sesaat matanya tidak berani memandang pemuda itu.
"Mungkin karena kau tengah ada urusan penting barangkali...," cetus Wulandari memancing.
"Begitulah kira-kira," sahut Rangga, mendesah.
"Kalau boleh tahu, urusan apa yang membuatmu harus buru-buru, Kakang?" tanya Ningsih, memberanikah diri.
"Aku tak bisa mengatakannya," sahut Rangga singkat sambil tersenyum.
"Maaf, mestinya aku tak bertanya seperti itu!" ucap Ningsih menyadari kesalahannya.
"Kurasa tidak ada lagi bahaya yang menimpa kalian berdua. Silakan lanjutkan perjalanan lagi!" lanjut Rangga seraya bersuit pendek memanggil kudanya.
Tak lama, muncul kuda gagah berbulu hitam mengkilat, langsung menghampiri Rangga.
"Kuda cerdik!" puji Ningsih.
"Kakang Rangga, benarkah kau tidak berkenan menerima undangan bila kami mengajakmu mampir barang sejenak?" tanya Wulandari.
"Paling tidak, sebagai ucapan terima kasih...."
Rangga mengusap-usap leher kudanya sebentar.
"Kurasa lain kali saja, Wulandari," tolak Rangga, halus.
"Bagaimana mungkin? Kau tidak tahu tempat kami...."
"Kalau begitu kenapa tidak katakan saja sekarang?" sahut pemuda itu seraya melompat ke punggung Dewa Bayu.
"Datanglah ke Lembah Darah. Di situ tempat tinggal kami," sahut Wulandari cepat. Padahal Ningsih sudah beberapa kali menjawil tangannya memberi isyarat. Tapi agaknya tak dimengerti oleh Wulandari.
"Lembah Darah?" sebut Rangga dengan dahi berkerut.
"Eh! Maksud kami pada sebuah desa dekat lembah itu!" sahut Ningsih buru-buru memperbaiki kesalahan Wulandari tadi.
"Di mana Lembah Darah itu?" tanya Rangga.
"Di sebelah selatan Gunung Arga Kawung."
"O...!" Rangga mengangguk.
"Nanti kapan-kapan kalau ada kesempatan aku berkunjung ke sana."
"Kami akan menunggumu dengan tangan terbuka!" sambut Ningsih cepat.
"Terima kasih. Kini aku pergi dulu! Heaaa...!"
Beberapa saat kemudian, Pendekar Rajawali Sakti telah jauh dari pandangan, dan akhirnya hilang sama sekali di tikungan jalan. Meski begitu, kedua gadis ini belum juga beranjak dari tempatnya.
"Kita kehilangan dia...," gumam Ningsih.
"Tapi dia telah menanam budi pada kita, Ningsih...."
"Kau lupa pesan ketua? Kita tak boleh menyertakan perasaan dalam tugas. Persetan dengan segala hutang budi! Tugas adalah tugas, dan patut dijalankan secara sungguh-sungguh. Kalau tidak, ketua akan murka pada kita!" tegas Ningsih.
"Lalu apa yang mesti kita lakukan?"
"Dia hebat. Dan kita tak bisa meringkusnya berdua. Maka dari itu kita harus menghubungi kawan-kawan!"
"Aku tidak ikut!" sambar Wulandari cepat.
"Terserahmu! Asal saja, kau punya jawaban kalau majikan bertanya."
Wulandari terdiam.
"Hm.... Aku menangkap gejala aneh...," gumam Ningsih menyindir.
"Apa maksudmu?" tukas Wulandari.
"Kau menyukai pemuda itu, bukan?" tuding Ningsih.
"Ningsih! Jangan macam-macam!"
"Kau takut dia menjadi korban ketua kita?"
"Sudahlah!" sentak Wulandari seraya beranjak meninggalkan kawannya.
"Eh, mau ke mana kau?!"
"Bukankah katamu kita harus menghubungi kawan-kawan untuk meringkusnya?"
"Jadi kau akan ikut?"
Wulandari tak menjawab.
"Wulan! Kita mesti mengesampingkan perasaan demi tugas. Ketua telah memberi perintah untuk meringkusnya. Beliau amat mendambakannya. Apakah kita mesti bersaing dengan ketua?" tukas Ningsih, datar.
"Ningsih, bicara apa kau?! Sudahlah! Aku tidak mau mengurusi soal itu lagi, Ayo, cepat! Sebelum dia pergi kelewat jauh!" ujar Wulandari dengan suara tinggi.
Dan tanpa menunggu jawaban kawannya, gadis itu telah berkelebat cepat. Ningsih menggeleng lemah. Dan sambil tersenyum segera disusulnya Wulandari.

***

Kalau Rangga dikatakan memiliki keperluan penting, rasanya tidak juga. Tapi itu alasan tepat agar Wulandari dan Ningsih tidak terlalu memaksanya. Bagaimanapun, jalan bersama dua gadis kelihatan tidak bagus dilihat orang banyak. Apalagi berada di tempat mereka. Rangga bisa membayangkan hal-hal yang akan membuatnya tidak leluasa. Maka lebih baik menolak lebih dini. Soal janjinya dia akan datang, itu terserah nanti.
Setelah merasa agak jauh, Pendekar Rajawali Sakti melambatkan lari kuda. Lalu dia berhenti di dekat sebuah sungai kecil airnya cukup jernih.
"Ayo, Dewa Bayu! Minumlah sepuasmu. Dan setelah itu, merumput yang banyak. Kita istirahat barang sesaat di sini!" ujar Rangga seraya melompat turun dan mengusap-usap leher kudanya.
Dewa Bayu meringkik halus, lalu buru-buru menghampiri tepi sungai. Langsung direguknya air sungai sepuas-puasnya. Hal yang sama pun dilakukan Rangga pada tempat yang tidak seberapa jauh dari tunggangannya.
Meski siang ini matahari tidak bersinar garang, namun udara yang bertiup agak kencang, cukup membuat kantuk Rangga datang. Setelah dahaganya hilang, Pendekar Rajawali Sakti segera bersandar di bawah sebatang pohon. Dan perlahan-lahan matanya mulai terpejam.
"Hieee...!"
"Hei?!" Baru beberapa tarikan napas terlelap, Rangga sudah terjaga ketika mendengar ringkikan kuda di dekatnya. Buru-buru dia melompat, langsung memandang tajam ke sekelilingnya.
"Hm...." Rangga menggumam tak jelas, ketika di sekelilingnya kini belasan gadis berusia muda yang rata-rata membawa pedang telah siap mengurungnya. Semuanya mengenakan pakaian berwarna merah tanpa lengan dengan celana pangsi berwarna hitam pekat. Rambut mereka rata-rata panjang hingga ke pinggul, dengan ikat kepala dari logam berwarna putih keperakan. Hanya seorang yang mengenakan ikat kepala berwarna kuning keemasan.
"Siapa kalian?! Apa yang kalian inginkan?!" tanya Rangga, dingin.
"Meringkusmu!" sahut salah seorang gadis yang di kepalanya terdapat logam keemasan.
"Aku tak kenal kalian. Dan aku tak punya urusan! Atas dasar apa kalian hendak meringkusku?"
"Lebih baik kau tak banyak tanya. Dan menyerahlah baik-baik sebelum kami kasar!" tandas gadis berikat kepala berwarna kuning keemasan yang agaknya bertindak sebagai pimpinan.
Rangga tersenyum dingin mendengar ancaman itu. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri.
"Hm.... Rupanya kalian sebangsa orang yang hendak memaksakan keinginan dengan cara mengancam? Aku ingin lihat, cara kasar yang bagaimana yang hendak kalian lakukan."
"Kalau begitu jangan menyesal! Kau yang memaksa!"
"Apa pun yang kalian lakukan, jangan harap mampu memaksakan kehendak padaku!"
Sambil mendengus geram, gadis berikat kepala kuning keemasan memberi isyarat pada yang lain untuk meringkus Pendekar Rajawali Sakti.
"Seraaang...!"
"Hiaaat...!"
"Hm!"
Tujuh orang gadis langsung meluruk cepat ke arah Rangga. Tiga bersenjata pedang, dua memegang tambang, dan dua lagi bersenjata rantai besi berukuran agak panjang.
"Hm.... Mereka hendak meringkusku! Apa sebenarnya yang diinginkan dariku?" gumam Pendekar Rajawali Sakti di hati.
Wut! Bet!
Tiga pedang meluruk ke arah Pendekar Rajawali Sakti dari tiga jurusan. Cepat tubuhnya mencelat ke atas. Begitu berada di udara, dua gadis yang bersenjata rantai siap menjerat kedua kaki dan pinggangnya.
Cring! Wuk!
Salah satu rantai dibiarkan Rangga menjerat pinggang. Sementara rantai yang lain berhasil ditangkapnya. Begitu tubuh Pendekar Rajawali Sakti berada ditanah, dua gadis itu berusaha menyentak rantai.
Tatkala Rangga membiarkan tubuhnya mengikuti arus sentakan, maka dua gadis lain yang bersenjata tambang berusaha meringkus kedua tangan dan kakinya.
"Hiyaaa...!" Rangga kembali melenting ke atas, lalu meluncur deras melepas tendangan lurus ke arah gadis yang rantainya membelenggu pinggangnya. Pada saat yang sama, rantai di tangannya dibetot keras.
Wut! Desss! Brukkk!
"Aaakh...!"
Dua jeritan keras terdengar. Seorang gadis terjajar ke belakang, terhantam tendangan Rangga pada dadanya. Sementara yang seorang lagi terjerembab, tersentak rantainya. Dan rantai besi itu kini berpindah ke tangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kurang ajar! Yeaaa...!"
Lima gadis yang tersisa mulai kalap. Mereka langsung menyerang Pendekar Rajawali Sakti dengan amarah meluap.
Cring!
"Heaaat...!"
Tapi Rangga tak mau tinggal diam. Rantai besi itu diputar-putamya untuk membendung serangan. Sementara rantai yang membelit pinggangnya dilepas dengan cepat.
Tring! Buk!
"Aouw!"

***

184. Pendekar Rajawali Sakti : Kembang Lembah DarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang