BAGIAN 7

86 9 0
                                    

Semua yang berada di tempat ini, kecuali Pendekar Rajawali Sakti, terkejut. Mereka tahu tempat apa yang disebut oleh Anjar Asih. Kubangan lintah adalah sebuah tempat berbentuk kolam berisi lumpur yang di sekelilingnya dikurung kerangkeng besi kuat dan tak mudah dipatahkan. Di dalam lumpur, terpelihara ribuan lintah sebesar jari-jari orang dewasa. Selama ini, tempat itu merupakan ruang penyiksaan bagi mereka yang melakukan kesalahan berat. Dan belum pernah ada seorang pun yang bisa selamat.
Saat itu juga tubuh Wulandari menggigil ketakutan. Wajahnya pucat. Bibirnya kelu untuk berkata-kata.
"Bawa dia sekarang juga!" perintah Anjar Asih.
"Oh, tidak! Tidaaak...!" Wulandari berusaha berontak, ketika dua pengawal meringkusnya. Tapi sia-sia saja. Sebab dengan kedua tangan dan kaki yang terbelenggu, maka tak mampu berbuat banyak untuk mengadakan perlawanan.
"Tunggu...!" teriak Rangga, lantang.
"Hm!" Anjar Asih mengangkat tangannya sebagai isyarat. Sehingga untuk sesaat kedua pengawal yang tengah meringkus Wulandari menghentikan kerjanya.
"Ada apa?" tanya penguasa tempat ini, dingin.
"Kau tidak pantas menghukumnya secara keji. Dia tak bersalah. Kalau mencari siapa yang bersalah, maka akulah yang patut mendapat hukuman!" sahut Rangga, mantap.
"Begitukah menurutmu?" tukas Anjar Asih.
"Lepaskan dia. Dan hukumlah aku!"
"Sayang sekali. Yang menjadi persoalan adalah, bukan siapa yang salah. Tapi hukuman itu kujatuhkan. Karena aku tak suka dikhianati anak buahku. Sudah menjadi keputusanku untuk menghukum mati mereka yang mengkhianatiku," lanjut Anjar Asih tenang.
"Aku yang membujuknya. Dan dia terpaksa melakukan itu!" dalih Rangga.
Rangga memang berkata dusta. Tapi kalaupun berkata seperti itu, niatnya adalah agar Wulandari tidak terlalu disalahkan. Namun tanggapan Anjar Asih justru memojokkan gadis itu.
"Hm.... Jadi kalian telah kenal lama sebelumnya? Hal itu justru merupakan pelanggaran bagi mereka!" sentak Anjar Asih.
"Sebenarnya tidak begitu...," sahut Rangga.
"Lalu apa?"
Pemuda itu tak mampu menjawab.
"Bawa dia cepat!" perintah Anjar Asih lantang.
"Tunggu dulu!" cegah Rangga.
Tapi wanita muda itu tidak memberikan isyarat apa-apa. Sehingga anak buahnya segera menggiring Wulandari keluar dari ruangan ini.
"Ada yang ingin kubicarakan padamu. Namun dengan syarat, hukuman terhadap Wulandari dibatalkan!" lanjut Pendekar Rajawali Sakti.
"Demikian berhargakah yang hendak kau bicarakan?"
"Bagaimana tentang tawaranmu padaku?" sahut Rangga cepat.
"Hm!" Anjar Asih bergumam. Lalu diberinya isyarat pada salah seorang pengawal yang ada di sebelahnya. Dia berbisik sebentar. Dan pengawal itu segera keluar dari tempat ini, setelah mengangguk.
"Aku menangguhkan hukuman terhadapnya. Dan setelah mendengar apa yang hendak kau bicarakan, maka nanti akan kuputuskan, apakah hukuman itu patut diterimanya atau tidak," kata Anjar Asih.
"Aku ingin bicara secara pribadi denganmu."
"Hm, begitu? Baiklah." Penguasa tempat ini tersenyum. Lalu tangannya menepuk dua kali. Maka orang-orang yang berada di ruangan ini segera angkat kaki setelah menjura hormat.
"Nah, mereka telah pergi. Bicaralah! Apa yang hendak kau katakan padaku!"
Rangga terdiam beberapa saat. Dia berpikir tentang Wulandari. Nyawa gadis itu terancam, karena hendak menyelamatkannya. Entah, apa maksudnya. Padahal mereka baru sekali bertemu. Dan itu pun tidak lama. Tapi mestikah dia mendiamkan saja orang yang berusaha menyelamatkannya dengan taruhan nyawa meski gagal?
"Aku ingin agar kau membebaskan gadis itu...," ucap Rangga.
"Itu tidak mungkin!" sentak Anjar Asih.
"Apa yang bisa menyelamatkannya dari hukuman itu? Apakah dia tak punya pilihan?"
"Dia tidak. Tapi kau ada!"
"Apa maksudmu?"
"Kau bisa menyelamatkannya, asal bersedia memenuhi permintaanku. Tidak sulit, bukan?"
Rangga terdiam. Hal ini yang justru tadi tengah dipikirkannya. Tapi tatkala persoalan telah di depan mata, dia kembali kebingungan menentukan pilihan.
"Bagaimana? Atau barangkali kau menunggu gadis itu mati?" desak Anjar Asih.
"Paling tidak dia telah berjasa padamu. Tapi hanya karena kesalahan sedikit, mengapa kau begitu tega untuk menghukum mati terhadapnya?" ujar Rangga untuk mengalihkan perhatian.
"Aku tak tertarik berdebat!" sahut wanita itu tegas.
"Yang ingin kudengar saat ini adalah jawabanmu. Sehingga bisa kuputuskan apakah gadis itu akan dihukum mati atau tidak."
Rangga kembali terdiam. Berpikir untuk beberapa saat lamanya.
"Bagaimana?!"
"Baiklah...," desah Rangga dengan suara berat, setelah menghela napas panjang.
"Hm, bagus! Ternyata kau mampu menentukan pilihan. Nah! Hari ini juga akan kuumumkan hubungan kita berdua kepada semua anak buahku!" sambut Anjar Asih, tersenyum bangga.
Wajah Anjar Asih kelihatan berseri-seri setelah mendengar jawaban Rangga. Maka saat itu juga semua anak buahnya diperintahkan untuk berkumpul di balairung yang besar itu. Agaknya segala sesuatu telah dipersiapkan dengan baik. Termasuk perhelatan untuk upacara ini.
Kini Penguasa Istana Lembah Darah ini memakai seperangkat pakaian sutera. Demikian pula Rangga. Seorang laki-laki berusia lanjut yang bertindak sebagai pemuka agama maju ke depan, untuk mengokohkan hubungan kedua insan itu menjadi hubungan resmi sebagai suami istri.
"Aku tidak akan bersedia sebelum melihat gadis itu bebas," kata Rangga, berbisik.
"Apakah kau tak percaya dengan janjiku? Dia akan bebas. Tenanglah. Begitu berartikah dia bagimu?" sahut Anjar Asih tenang.
Pemuda itu diam tak menjawab. Sementara gadis ini mengerling sambil tersenyum padanya.
"Kau belum menjawab pertanyaanku. Begitu berartikah dia bagimu, sehingga kau mengkhawatirkan keselamatannya?" desak Anjar Asih.
Rangga masih tetap membisu, tanpa peduli dengan pertanyaan gadis ini di sebelahnya.
"Jawablah, meski hanya sepatah kata...," ujar Anjar Asih.
"Lepaskan dia."
"Aku telah melepaskannya."
"Aku tidak melihat buktinya."
"Baiklah."
Anjar Asih lantas berbisik pada pengawal yang ada di sebelahnya. Dan sang pengawal pun kemudian berbisik pada seorang pengawal lainnya, yang segera berlalu dari tempat itu.
Tak lama, Rangga melihat Wulandari di ambang pintu bersama seorang pengawal.
"Nah! Kau lihat dia bebas, bukan?" tukas Anjar Asih.
"Hm... Aku tidak melihatnya begitu," gumam Rangga.
"Apa maksudmu?"
"Dia seperti masih ditawan."
"Setelah urusan kita selesai, maka dia akan kulepaskan!" sahut Anjar Asih menegaskan.
"Dia telah kubebaskan dari hukuman mati. Itu berarti aku tidak mengingkari janji. Nah, apakah kau yang hendak mengingkari janjimu padaku?"
Rangga diam membisu. Pada saat itu, pemuka agama yang akan menyatukan mereka berdua dalam mahligai rumah tangga telah siap di depan sebuah altar yang dipenuhi sesajian. Kedua pasangan calon pengantin mengikuti, lalu duduk bersimpuh di depan di pemuka agama. Namun sebelum segala sesuatunya dimulai....
"Hiaaat...!"
"Aaakh...!" Mendadak terdengar keributan dari arah luar.
Dan sesaat kemudian disusul jerit kesakitan yang saling sambung-menyambung.
"Hei?!" Mereka yang berada di ruangan ini terkejut. Demikian pula halnya Anjar Asih.
"Kurang ajar! Apa itu?"
"Seseorang mengacau di tempat ini, Tuanku!" lapor seorang pengawal.
"Brengsek! Apakah kalian tidak bisa membereskan seorang pengacau?!" hardik Penguasa Istana Lembah Darah geram.
"Biar kami bantu, Tuanku!" sahut salah seorang pengawal.
Saat itu juga beberapa pengawal melompat menghadapi si pengacau. Tapi ternyata hal itu tak merubah keadaan. Tetap saja terdengar jerit kesakitan yang saling sambung-menyambung. Dan korban di pihak penghuni Istana Lembah Darah semakin bertambah.
Dengan terpaksa, Anjar Asih meninggalkan ruangan ini, menuju keluar. Dia diikuti beberapa pengawalnya.
"Hm, si Pemabuk Dari Gunung Kidul rupanya...!" gumam Anjar Asih geram begitu mengenali siapa orang yang mengacau.
"Pantas mereka tak mampu menghadapinya."
Ki Demong alias si Pemabuk Dari Gunung Kidul tampak berkelit-kelit lincah menghadapi keroyokan. Sesekali dia melepas serangan.
"Heaaat...!" Bahkan Ki Demong membarengi dengan semprotan tuaknya.
"Prufhhh...!"
Wusss!
Cairan tuak Ki Demong bergerak cepat menyambar para pengeroyok. Sebagian terlihat memercikkan api.
Pada saat itu juga, berkelebat satu sosok bayangan yang langsung memapak serangan tuak Pemabuk Dari Gunung Kidul dengan pukulan jarak jauh.
Wusss...!
"Uts! Brengsek!" umpat Ki Demong seraya melompat ke samping, ketika tuaknya berbalik menyambarnya. Tubuhnya terus bergulingan, lalu melenting menjauhi sosok bayangan yang tak lain Anjar Asih.
Tapi Penguasa Istana Lembah Darah terus mengejar dengan gesit. Agaknya wanita itu tidak mau melepaskan lawannya begitu saja, sebelum berhasil meringkus atau membunuhnya.
Sementara itu, perkembangan yang terjadi di tempat ini membuat Rangga cepat bertindak untuk meloloskan diri. Namun perbuatannya itu diketahui beberapa orang anak buah Anjar Asih.
"Berhenti! Jangan coba-coba bertingkah. Atau kami terpaksa membunuhmu!" ancam salah seorang seraya menyodorkan ujung pedang ke leher.
Rangga berpikir cepat. Ini adalah kesempatan baik baginya untuk kabur. Dan kalau tidak bertindak, mungkin saja kesempatan itu tak akan pernah datang lagi. Maka seketika dia menjatuhkan diri ke belakang.
"Hei?!" Tiga anak buah Anjar Asih terkejut. Mereka langsung melompat mengejar sambil membabatkan pedang.
Wut!
Pada saat yang gawat ini mendadak satu sosok lain berkelebat, langsung membabatkan pedang ke arah para pengeroyok.
Bret!
"Aaa...!" Tiga orang gadis kontan terjungkal disertai jeritan kesakitan. Mereka ambruk tak bangun-bangun lagi.
Rangga yang telah bangkit berdiri melihat seorang gadis tegak berdiri di depannya dengan pedang di tangan kanan. Pedang itulah yang agaknya menghabisi nyawa ketiga gadis tadi. Tapi agaknya pedang itu pula yang membuat Rangga tersenyum lega. Apalagi ketika gadis itu mengangsurkan pedang di tangannya itu. Lengkap berikut warangkanya.
"Kakang Rangga! Ini pedangmu. Terimalah!"
"Oh, terima kasih! Kau baik sekali. Rasanya aku pernah mengenalmu...."
"Aku Ningsih. Kita tak punya banyak waktu. Sebaiknya, lekas kita keluar dari tempat ini!" ajak gadis yang tak lain Ningsih seraya menggamit lengan Rangga.
"Eh, tapi...."
"Ayo cepat! Kita tak punya banyak waktu. Aku dan Wulandari akan menuntunmu mencari tempat keluar. Cepat!"
"Wulandari?" Tapi Rangga tidak mendapat jawaban, karena gadis itu keburu mengajaknya keluar dari balairung itu. Mereka lari sekencang-kencangnya menuju sebuah terowongan panjang. Di belakang mereka pada jarak beberapa langkah, Wulandari menyusul setelah membereskan beberapa orang anak buah Anjar Asih.
"Cepat, Ningsih! Mereka mengejar kita!" teriak Wulandari.
"Iya, iya!"
"Cepat kesini!" teriak Ningsih memasuki sebuah terowongan lain.
"Hup!"
Brug!
Begitu Rangga dan Wulandari melompat, maka saat itu juga pintu tertutup rapat oleh jeruji besi.
"Untuk sesaat kita aman. Tapi siapa tahu ada yang mengejar. Kita mesti cepat!" seru Ningsih.
"He, di sini banyak sekali terowongan?!" ujar Rangga bingung.
"Jangan khawatir! Ikuti aku!" seru Ningsih, seraya terus berlari menuju terowongan yang ada di sebelah kanan.
Di dalam terowongan itu pun terdapat beberapa cabang terowongan lain yang berjumlah sekitar tujuh. Sangat membingungkan bagi mereka yang tidak tahu. Tapi Ningsih telah hafal semuanya sehingga tanpa ragu-ragu lagi mengambil jalan yang aman.
"Fuuuhh...! Kita harus terjun ke telaga itu!" ujar Ningsih ketika mereka tiba di ujung terowongan, dan di bawahnya terhampar sebuah telaga.
Tanpa menunggu lama lagi mereka sudah langsung melompat ke dalam telaga.

***

184. Pendekar Rajawali Sakti : Kembang Lembah DarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang