BAGIAN 6

92 8 0
                                    

Rangga terdiam. Dia berpikir, apa yang mesti dilakukan untuk keluar dari tempat ini? Tapi dalam keadaan seperti sekarang, apa yang bisa dilakukannya? Tubuhnya lemah. Kedua tangannya terikat Dan..., pedangnya? Hm.... Baru sekarang dia tidak merasakan apa-apa di punggungnya. Dan saat melirik, ternyata Pedang Pusaka Rajawali Sakti tak ada di punggungnya.
Anjar Asih agaknya mengerti, apa yang tengah dipikirkan pemuda ini.
"Pedangmu ada padaku. Kusimpan dengan rapi...," kata Anjar Asih. Rangga diam saja.
"Kalau kau menurut dan tidak banyak tingkah, maka pedangmu akan kuberikan lagi."
"Hm...," gumam Rangga, tak jelas.
"Bagaimana? Kau menerima permintaanku?"
"Jelaskanlah lebih seksama, apa sebenarnya yang kau inginkan dariku? Dalam keadaan seperti ini, rasanya otakku tumpul untuk mencerna isyarat-isyarat yang kau berikan," pinta Rangga.
"Mudah saja. Dampingi aku di istana yang megah ini!" sahut Anjar Asih sambil tersenyum lebar.
"Kenapa mesti aku? Kulihat kau memiliki banyak anak buah. Baik laki-laki atau perempuan. Dan kudenggar pula, mereka memiliki kesaktian hebat. Kau bisa pilih salah satu di antara mereka kalau suka," tukas Rangga.
"Mereka budak-budakku. Apakah pantas seorang budak berdampingan dengan majikan?"
"Lalu setelah kau tangkap aku, apakah derajatku tidak sama dengan mereka?"
"Hihihi...! Otakmu ternyata belum tumpul. Kau cerdik dan pintar bicara. Mungkin itu salah satu sebab yang membuatku suka padamu," puji penguasa tempat ini.
"Terima kasih atas pujianmu. Untuk seorang budak sepertiku, mungkin kelewat tinggi," ucap Rangga.
"Kau bukan budak. Kau adalah tamu yang kuhormati."
"Tamu tidak diperlakukan seperti ini!"
"Kau ingin aku melepasmu?' tanya Anjar Asih.
"Kau majikan di sini. Dan bisa berbuat sesukamu."
"Baiklah. Asal janji tidak membuat keributan. Dan kau akan kuperlakukan seperti layaknya seorang tamu. Tamu istimewaku!" ujar wanita itu.
Anjar Asih bertepuk sekali. Tak lama, seorang penjaga segera masuk.
"Hamba, Tuanku!"
"Buka ikatan tangannya!"
"Baik, tuanku."
Penjaga itu segera membuka ikatan yang membelenggu Pendekar Rajawali Sakti. Dan setelah memberi isyarat pada Anjar Asih kembali dia beranjak meninggalkan ruangan itu.
"Duduklah di dekatku!" ajak Anjar Asih seraya menunjuk kursi di dekatnya.
Rangga melangkah perlahan mendekati. Lalu dia duduk dengan tenang. Meski begitu kewaspadaannya tetap ditingkatkan untuk menghindari perangkap yang mungkin saja akan dipasang wanita ini.
"Jangan curiga. Aku tidak akan menjebakmu...," ujar perempuan ini, seperti bisa membaca pikiran Rangga.
"Kau terlalu mempercayai orang. Apa dikira aku tidak bisa meringkusmu saat ini?" tukas Rangga, seraya bangkit berdiri.
"Kenapa tidak kau lakukan?" tanya Anjar Asih tanpa merubah sikap duduknya.
Melihat sikap wanita ini yang tenang dan tidak khawatir sedikit pun, Rangga jadi curiga. Mungkin dia telah mempersiapkan sesuatu. Makanya niatnya segera diurungkan.
"Di antara kita tidak ada saling permusuhan. Kenapa kau berbuat begitu padaku?" tanya Rangga, membuka percakapan lagi.
"Duduklah di sini. Dan kita akan bicara lebih santai," ujar Anjar Asih.
"Aku bukan budakmu. Maka aku berhak menolak!" tegas Rangga.
"Kenapa? Kau tidak suka berdekatan denganku?"
"Aku tak suka dengan perbuatanmu!"
"Hm.... Kau keras kepala sekali! Tapi selama kau baik-baik dan tidak berbuat keributan, maka selama itu pula aman..."
"Kalau tidak?" tukas Rangga.
"Kalau tidak...? Hm.... Bisa kau bayangkan dengan keadaanmu saat ini. Seorang pendekar biasa pun, bisa melumpuhkanmu. Padahal..., dengan sepak terjangmu selama ini, kau banyak mempunyai musuh. Maka melihatmu tak berdaya, bisa ditebak apa yang akan mereka lakukan terhadapmu."
Memang tak dapat dipungkiri, saat ini Pendekar Rajawali Sakti masih di bawah pengaruh ajian 'Lumpuh Raga'. Badannya masih terasa lemas. Otot-ototnya terasa dilolosi.
"Aku tak takut! Lepaskanlah aku dari sini!" sentak Rangga, setelah berusaha mengangkat semangatnya.
"Setelah semua usaha yang kulakukan untuk menangkapmu? Hihihi...! Tidak semudah itu!"
"Kalau begitu, kau boleh membunuhku sekarang juga!" dengus pemuda itu dingin.
"He, kenapa buru-buru? Lagi pula permintaanku tidak sulit untuk dipenuhi, bukan?"
"Aku tidak akan pernah memenuhi permintaanmu!"
"Jangan buru-buru memberi jawaban. Kuberi kau beberapa waktu untuk berpikir. Ingat-ingatlah! Kalau setuju, maka bukan saja kau akan selamat. Tapi kedudukanmu pun akan mulia di sampingku."
"Jangan mimpi! Aku tak sudi menuruti keinginan perempuan sepertimu!"
"Hm.... Sudahkah kau pikirkan hal itu baik-baik?"
"Aku tak perlu berpikir untuk menolak kemauanmu!"
"Kalau begitu kau tak sayang padanya...," sahut Anjar Asih mengancam.
"Hei? Apa maksudmu?"
"Pandan Wangi. Kau kenal nama itu?"
"Terkutuk! Apa yang kau lakukan padanya?!" bentak Rangga, geram.
"Belum. Tapi kalau kau terus menolak, maka akan kucari gadis itu dan akan kutentukan nasibnya kelak."
"Huh! Kau tak akan berhasil memperdayainya!"
"Apakah dia lebih hebat darimu? Padahal kau saja mampu kuringkus. Dan kalau kau tetap pada pendirianmu, aku akan bersungguh-sungguh mencari kekasihmu itu!" gertak Anjar Asih.
"Dan akan kubunuh dia bila kudapatkan!"
"Celakalah kau, Keparat!" desis Rangga geram.
"Tidak perlu terus memaki, karena tak ada gunanya. Pertimbangkan baik-baik keputusanmu. Dan bila saatnya tiba, maka kau boleh memberi jawaban yang memuaskanku!" sahut wanita itu dingin.
Anjar Asih bertepuk sekali. Maka tiga penjaga muncul di tempat itu.
"Bawa dia ke ruangan khusus. Dan adakan penjagaan dengan ketat!" perintah Anjar Asih, tegas.
"Baik, Tuanku!"
Semula Rangga hendak melawan. Namun sia-sia saja. Seperti yang dikatakan wanita itu, tubuhnya memang tak berdaya. Tenaganya terasa lemah. Sehingga ketiga penjaga itu dengan mudah meringkus dan membawanya keluar dari ruangan ini.
"Bedebah kau, Keparat! Kau akan menerima balasan ini suatu saat nanti!" teriak Rangga lantang. Tapi Anjar Asih hanya tersenyum-senyum saja.
Sama sekali wajahnya tidak memperlihatkan perubahan. Makian dan teriakan pemuda itu seolah-olah tak didengarnya.
Rangga ditempatkan pada ruangan khusus yang agak sempit namun berdinding tebal. Hanya ada dua lubang angin. Dan itu pun berjeruji serta pada ketinggian sekitar tiga tombak dari lantai. Panjangnya sekitar dua jengkal. Dan lebarnya kira-kira sejengkal. Ada dipan. Meja berisi kendi dan cangkir serta buah-buahan di ruangan itu.
Perlahan-lahan Rangga duduk bersila, mengambil sikap bersemadi. Perlahan-lahan pula matanya terpejam. Pikirannya dipusatkan pada satu titik, untuk meleburkan diri dengan kekuatan Yang Maha Esa. Berangsur-angsur Rangga merasakan kesegaran dalam tubuhnya. Kendati demikian, perutnya terasa mual bukan main. Lalu....
"Hoeeekh...!" Rangga mendadak memuntahkan cairan berwarna ke kuning-kuningan. Baru setelah itu tubuhnya benar-benar segar.
Dan baru saja Rangga hendak bangkit, tiba-tiba saja pintu terbuka. Tampak sesosok gadis muncul di ambang pintu, lalu buru-buru menutupnya. Dihampirinya Pendekar Rajawali Sakti.
"Kakang Rangga!"
"Hm!" Rangga cepat bangkit. Matanya tajam mengawasi raut wajah wanita itu di depannya. Samar-samar dia pernah ingat dengan wajah itu.
"Aku Wulandari!" desis gadis itu dengan suara setengah berbisik.
"Ah, ya! Aku ingat! Apa yang kau kerjakan di sini?"
"Jangan ribut! Aku akan mengeluarkanmu dari sini. Sebelumnya, cepat minum obat pemunah aji 'Lumpuh Raga' ini!" ujar gadis itu.
"Bagaimana dengan penjaga-penjaga di depan pintu?" tanya Rangga, seraya mengambil sebutir obat pulung yang disodorkan sosok yang ternyata Wulandari.
"Sudah kubereskan! Ayo cepat keluar, sebelum yang lain melihat kita!" kejar Wulandari.
"Pedangku? Tahukah kau ada di mana?" tanya Rangga, setelah menelan obat pulung itu.
"Aku tak tahu! Tapi Ningsih akan berusaha mencari tahu. Sekarang yang penting selamatkan dulu dirimu."
"Baiklah." Tanpa sungkan-sungkan lagi, gadis itu menggamit lengan Rangga. Mereka mengintip di pintu. Dan ketika melihat keadaan sepi, perlahan-lahan Wulandari membawa Rangga ke dalam sebuah ruangan. Dan dari dalam ruangan kosong, mereka menyelinap keluar lewat jendela. Di situ terlihat sepi. Dan di sebelah kanan tampak sebuah terowongan. Agaknya, terowongan itu yang akan dituju Wulandari.
Sementara Rangga kini telah merasakan benar-benar segar pada tubuhnya setelah ditunjang obat pulung yang berikan Wulandari.
"Di ujung terowongan itu kita akan keluar!" desis Wulandari.
"Kalau begitu, ayo sekarang!" ajak Rangga seraya hendak melompat keluar.
"Tunggu dulu!" cegah Wulandari.
"Kenapa?"
Rangga tak perlu menanti jawaban, sebab tak lama kemudian lima orang penjaga keluar dari terowongan.
"Ini saatnya pergantian penjaga. Kita harus cepat, sebelum penjaga yang lain menggantikan orang-orang tadi," jelas Wulandari seraya melompat turun, diikuti Rangga.
Secepatnya mereka masuk ke dalam terowongan yang cukup besar. Tapi alangkah terkejutnya Wulandari, ketika di dalam terowongan telah menunggu belasan gadis berpakaian merah dengan ikat kepala putih keperakan membuat pagar betis yang berlapis-lapis. Paling depan, berdiri seorang gadis berpakaian sama, namun mengenakan ikat kepala warna kuning keemasan.
"Huh! Akhirnya ketahuan juga siapa pengkhianatnya!" dengus gadis berikat kepala kuning keemasan yang tak lain Sekar.
"Ohh...!" Wulandari terkejut. Wajahnya kelihatan pucat pasi. Untuk sesaat, mereka mundur beberapa langkah. Tapi ketika menoleh ke belakang, kembali dia dibuat kaget.
"Celaka! Tak ada lagi tempat bagi kita untuk melarikan diri. Tempat ini telah terkepung!" desah Wulandari putus asa.
"Kalau begitu aku akan melawan mereka!" dengus Rangga.
"Percuma saja. Jumlah mereka kelewat banyak."
"Hm.... Mudah-mudahan aku mampu mengatasi mereka!"
"Kalau keadaanmu seperti semula, mungkin saja kau mampu mengatasi mereka. Tapi kini keadaanmu mungkin lebih buruk dariku. Kita tidak akan mampu menghadapi mereka, Kakang!"
"Tidak ada pilihan lain. Kita mesti mencobanya!" sahut Rangga bersiap-siap hendak mengadakan perlawanan.
Sring!
Wulandari pun telah siap mencabut pedangnya.
"Ringkus mereka!" teriak Sekar.
"Hiaaat!"
Lebih dari sepuluh orang gadis berpakaian merah menyerang bersamaan. Beberapa batang pedang menyambar ke arah Rangga dengan cepat. Namun lincah sekali Pendekar Rajawali Sakti berkelit. Sayang, tidak demikian halnya bagi Wulandari.
Perlawanan yang diberikan gadis itu tak banyak artinya. Rata-rata gadis berpakaian merah memiliki kepandaian setingkat. Sehingga tak heran gadis itu cepat terdesak.
"Lepas!"
"Ohh...!" Wulandari tercekat ketika pedangnya terlepas dari genggaman, ketika dua gadis lawannya memapaki. Dia berusaha menjauhi lawan, namun tiga orang gadis telah menodongkan pedang terhunus.
"Hentikan perlawanan kalau tak ingin gadis ini celaka!" teriak Sekar.
Rangga tersentak, namun tak bisa berbuat apa-apa. Wulandari telah jadi sandera. Mau tak mau dia mengalah dengan menghentikan serangan. Maka saat itu juga dua orang gadis meringkusnya dengan mengikat kedua tangan yang dirapatkan ke tubuh.
"Bawa mereka kehadapan ketua!" perintah Sekar lagi.
"Baik!"
Seperti membawa tawanan perang, Rangga dan Wulandari yang telah diikat digiring ke dalam ruangan besar yang biasa digunakan pemilik tempat ini. Begitu tiba, mereka langsung diperintah bersimpuh.
"Tuanku! Kami membawa dua orang tawanan. Yang seorang, Tuanku telah mengenalnya. Sedangkan seorang lagi adalah anggota kita yang coba berkhianat!" lapor Sekar setelah menjura hormat.
"Hm...!" Anjar Asih yang duduk di atas singgasana besar memandang keduanya satu persatu sambil tersenyum.
"Siapa namamu?" tanya Anjar Asih pada gadis yang bersimpuh di samping Rangga.
"Wulandari, Tuanku...," sahut Wulandari.
"Kau tahu, apa akibatnya jika berkhianat padaku?" tanya Anjar Asih.
"Ampunkan hamba, Tuanku...!"
"Ampunan tidak cukup bagi seorang pengkhianat! Tugas menangkap pemuda ini kuberikan sendiri. Dan setelah susah payah menangkapnya, lalu kau coba melepaskannya. Lancang sekali kau!"
Wulandari tertunduk lesu dengan tubuh gemetar. Dia tak tahu, bagaimana caranya bisa selamat dari hukuman. Tapi rasanya hal itu mustahil.
"Untuk itu kau akan mendapat hukuman yang paling berat!" lanjut penguasa tempat ini.
"Ampun, Tuanku. Hamba memang bersalah dan patut mendapat hukuman...."
"Hukuman mati terlalu mudah bagimu. Kau harus mati dengan cara perlahan-lahan!" desis Anjar Asih.
Wulandari semakin bergidik ngeri, membayangkan hukuman apa yang akan dilimpahkan padanya.
"Kau akan dijebloskan kedalam Kubangan lintah!" lanjut Anjar Asih.
"Ohh...!"

***

184. Pendekar Rajawali Sakti : Kembang Lembah DarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang