BAGIAN 4

100 9 0
                                    

Rapanca bukan saja tangannya terasa kesemutan ketika pedangnya menghantam guci. Tapi senjata antik Ki Demong itu pun secepat kilat menyambar ke arah mukanya. Kalau dia tidak cepat jungkir balik kebelakang, bukan tidak mungkin muka akan remuk.
"Hup!"
"Yeaaa...! Kau tak akan bisa kabur dariku, Gadis Liar!" dengus Pemabuk Dari Gunung Kidul seraya mengejar Kencana yang berusaha melarikan diri.
"Matilah kau, Pemabuk Gila!" desis gadis itu seraya berbalik dan menyabetkan pedangnya.
"Hehehe...! Tidak kena! Tidak kena!" ejek Ki Demong, setelah berhasil menghindar dengan mencelat ke atas. Di udara, dia menenggak tuak.
"Pruih!"
"Uts! Bangsat!" Kencana memaki-maki geram ketika tuak yang disemprotkan Ki Demong hampir saja menyiram mukanya kalau tidak mengegos ke samping.
"Agaknya dia tak peduli, apakah tuaknya akan menghantam aku atau pemuda ini!" gumam wanita itu, semakin geram.
"Yeaaa...!" Sementara itu Rapanca kembali menyerang dari belakang. Tapi seperti tadi, Ki Demong tidak mau terlalu ambil pusing dengannya. Serangannya lebih diutamakan pada gadis yang memanggul tubuh Rangga. Tentu saja tanpa melupakan serangan Rapanca.
Wut! Tang!
"Heaaat...!"
Sambil mengibaskan guci menangkis tebasan pedang Rapanca, sebelah kaki Pemabuk Dari Gunung Kidul menyodok perut Kencana. Dengan cepat gadis itu melompat ke kiri dan membalasnya dengan tebasan pedang. Saat itu juga Ki Demong buru-buru menyemprot tuaknya.
"Pruih!"
"Uts! Keparat!" Kencana cepat membabatkan serangannya. Dan dengan kalang kabut dia berusaha menghindar dengan membuang tubuhnya ke tanah. Sementara Ki Demong mengikutinya. Begitu gadis itu bangkit, secepat kilat ia mengirim tendangan telak ke dada.
Duk!
"Aaakh...!" Tak ampun lagi, Kencana terjerembab ke belakang disertai jerit kesakitan. Tubuh Rangga pun ikut terjungkal seperti batang pohon ambruk.
"Hup!" Kencana cepat bangkit berdiri. Lalu dengan cepat tubuhnya berbalik.
"Rapanca! Cepat lari!" teriak gadis itu.
"Hei?! Kurang ajar! Mereka coba kabur!" dengus Ki Demong ketika Kencana dan Rapanca mendadak berkelebat kabur dari tempat ini.
Sementara Ki Demong tidak beranjak dari tempatnya. Dia malah tenang-tenang saja menenggak tuak, tanpa berniat mengejar.
"Dasar pemabok!" umpat Rangga dalam hati.
"Ya, sudah. Biarkan saja!"
Rangga telah selesai bersemadi, untuk mengusir pengaruh aji 'Lumpuh Raga' dalam dirinya. Ajian itu selain menggunakan ramuan khusus yang terbuat dari candu yang sangat hebat daya kerjanya, juga harus menggunakan mantera-mantera tertentu.
Dengan menghirup candu, tubuh Rangga jadi lemas tak bertenaga. Sementara mantera digunakan untuk melumpuhkan kesadarannya beberapa saat. Untuk mengusir candu yang terhirup, karena Rangga tak sempat memindahkan pernapasannya ke perut, terpaksa harus bersemadi. Tadi saja Pendekar Rajawali Sakti muntah beberapa kali untuk mengusir hawa candu yang masih bersemayam di peredaran darahnya.
Setelah bersemadi, Pendekar Rajawali Sakti merasakan tubuhnya jadi segar kembali. Sedangkan Pemaduk Dari Gunung Kidul tampak menunggu sambil sesekali menenggak tuaknya.
"Hm.... Aku ingin tahu, kenapa mereka hendak menangkapku!" gerutu Rangga, kesal.
"Mungkin gadis itu naksir padamu! Dan dia melakukannya dengan cara aneh," sahut Ki Demong asal-asalan.
"Kurasa malah dia naksir padamu!"
Ki Demong malah terkekeh.
"Sayang sekali, aku telah mengecewakannya. Aku tak suka dengan perempuan seperti itu," sahut Ki Demong enteng.
Rangga menghela napas panjang. Bicara dengan laki-laki tua ini akan sinting sendiri karena kesal bercampur gondok.
"Kau hampir mencelakaiku, Ki...."
"Kapan? Kapan?!" tanya laki-laki tua ini pura-pura kaget.
"Tuak yang kau semprotkan secara sembarangan itu."
"O, itu. Hahaha...! Kenapa? Apakah kau takut?!"
"Bukan. Aku hanya tak ingin ketularan bau mulutmu," sahut Rangga.
Tapi Ki Demong malah ketawa ngakak.
"Dengar, Ki! Ada hal aneh yang dalam waktu dekat ini yang membingungkan," lanjut Rangga sungguh-sungguh dengan harapan Ki Demong akan menanggapinya.
"Hm, soal apa?" tanya Ki Demong setelah menyeka sisa tuak di bibirnya.
"Ada orang-orang yang ingin menangkap dan meringkusku. Kau tahu, ada apa di balik semua ini? Dan, siapa orang-orang itu?"
"Kau banyak punya musuh. Kenapa mesti heran kalau ada yang ingin menangkap dan meringkusmu? Bahkan kalau ada yang beramai-ramai membunuhmu pun aku tak heran," sahut Pemabuk Dari Gunung Kidul enteng.
"Belum lama sekelompok perempuan coba menangkapku. Lalu yang baru saja terjadi. Sepertinya mereka ingin menangkapku hidup-hidup untuk diserahkan pada ketua mereka," jelas Rangga melanjutkan, tak mempedulikan tanggapan orang tua itu.
"Wanita? Gila! Tampangmu lumayan juga. Tapi kalau sekelompok wanita menginginkanmu, apa tidak gempor kau meladeni mereka?!"
"Sial!" gerutu Rangga.
"Coba dengar baik-baik, Ki. Bukan hal seperti itu yang kumaksudkan. Mereka menangkapku karena mendapat perintah dari ketua mereka."
"Perempuan atau laki-laki?"
"Aku tidak tahu!"
"Pasti perempuan!" tebak Ki Demong.
"Tidak mungkin laki-laki menginginkan laki-laki. Kalau majikan mereka laki-laki, maka perintahnya pasti membunuhmu. Huh! Perempuan di mana-mana sama saja. Kalau punya kedudukan dan sedikit kekuasaan, niatnya selalu ke laki-laki untuk melampiaskan nafsu kewanitaannya!"
"Kau ini bicara apa, Ki? Aku bahkan tak tahu, apa yang diinginkan pemimpin mereka."
"Kau kira apa? Jelas dia menginginkanmu.'"
"Untuk apa?"
"Dasar tolol! Dia menginginkanmu, apakah kau tidak mengerti? Seorang wanita menginginkan seorang laki-laki! Masih tak mengerti juga?!"
"Hm, entahlah...," desah Rangga mulai malas meladeni ocehan Pemabuk Dari Gunung Kidul yang dianggap semakin melantur.
"Eh, kalau tak ada masalah lagi sebaiknya aku pamit dulu...."
Sebelum Rangga menyahut, Ki Demong telah lebih dulu berkelebat cepat. Sebentar saja tubuhnya telah lenyap dari pandangan.

***

Kencana duduk bersila bersama beberapa gadis lain di depan seorang wanita muda berkulit putih. Rambutnya panjang menjuntai hingga ke lantai, menutupi sebagian tubuhnya yang agak terbuka. Kepalanya dihiasi mahkota dari emas bertatahkan berlian. Wajahnya cantik dengan sepasang mata bulat dan alis lebat. Bibirnya merah merekah. Sulit rasanya bagi seorang laki-laki dewasa untuk berpaling setelah melihat wajahnya.
"Hamba menghadap bersama kawan-kawan, Tuanku...!" ucap Kencana seraya menjura hormat.
Gadis ini tampak sudah berpakaian merah dengan celana pangsi hitam. Di kepalanya tampak ikat kepala dari logam berwarna kuning keemasan. Ada seorang gadis lain yang berikat kepala sama dengannya. Sedangkan gadis-gadis lain mengenakan ikat kepala putih keperakan.
"Hm, apa yang kau bawa untukku, Panglima Kencana?" tanya wanita itu dengan suara halus.
"Ampunkan kami, Tuanku Anjar Asih," ucap Kencana lagi.
"Kalian gagal?"
"Begitulah agaknya, Tuanku Anjar Asih," sahut Kencana ragu.
"Kurang ajar!" Wanita yang dipanggil Tuanku Anjar Asih mendadak bangkit. Dan matanya memandang marah pada Kencana serta kawan-kawannya.
"Berapa jumlah pengawal yang menyertaimu untuk meringkus pemuda itu?!"
"Lima belas, Tuanku."
"Dan ternyata gagal? Apa yang bisa kalian lakukan? Membelai dan merayunya? Atau hanya tertawa-tawa menggoda?!"
"Kami telah berusaha dengan segala daya, Tuanku. Bahkan dalam satu kesempatan, hamba berhasil meringkusnya dengan bantuan Rapanca. Tapi saat itu datang seseorang yang mengacaunya...," jelas Kencana.
"Siapa?" cecar Anjar Asih.
"Pemabuk Dari Gunung Kidul."
"Hm....!? Orang itu rupanya. Sungguh lancang dia berani mencampuri urusanku!" desis Anjar Asih.
"Kami tak tahu lagi harus berbuat apa untuk meringkusnya, Tuanku...."
"Tolol! Goblok! Kenapa mengerjakan tugas begitu mudah saja tak mampu?! Buat apa kalian membekali saputangan yang berisi ajian 'Lumpuh Raga'?!" maki wanita itu dengan muka berkerut menahan marah.
"Ampunkan kami, Tuanku...," ucap Kencana lirih dengan kepala tertunduk.
"Kalau mereka tak mampu biar kami yang meringkus pemuda itu, Tuanku!" kata seorang gadis berikat kepala kuning keemasan, seraya menjura hormat.
"Hm. Apa rencanamu, Sekar?" tanya Anjar Asih, menoleh ke arah gadis yang dipanggil Sekar.
"Serahkan saja pada kami, Tuanku. Maka segalanya akan beres!" tegas Sekar, mantap.
"Kau yakin, Sekar?"
"Apakah selama ini hamba pernah mengecewakan Tuanku? Hamba selalu melakukan yang terbaik bagi Tuanku!"
"Ya! Tapi aku perlu mendengar, apa rencanamu untuk meringkusnya?"
"Pertama-tama kami akan menggunakan kekerasan...."
"Kalian tak akan mampu. Pendekar Rajawali Sakti bukan orang sembarangan."
"Mungkin saja, Tuanku. Tapi kalau tak kena juga, maka akan kami gunakan cara halus."
"Cara halus bagaimana yang kau maksudkan?"
"Kita sebagai wanita, punya segala macam cara untuk memperdaya kaum laki-laki. Nah! Daya ini yang hamba maksudkan untuk meringkusnya," jelas Sekar tanpa menyebutkan secara terperinci, cara halus bagaimana yang dimaksudkan.
Dan agaknya wanita muda itu tidak mau terlalu bertele-tele.
"Baiklah, Sekar. Kuberikan tugas ini padamu. Kalau gagal, maka kalian semua akan mendapat hukuman, karena berani mengajukan diri dan merasa mampu meringkus pemuda itu!"
"Bagaimana kalau kami berhasil, Tuanku?" pancing Sekar, dengan bola mata berbinar penuh harap.
"Apa yang kau minta akan kukabulkan!" tandas Anjar Asih.
"Terima kasih, Tuanku."
"Nah! Sekarang juga kuperintahkan padamu untuk berangkat!"
"Baik, Tuanku!" Maka tanpa menunggu banyak waktu lagi, Sekar segera angkat kaki dari balairung yang menjadi tempat pertemuan ini.
"Dan bagi Kencana dan kawan-kawannya, hukuman telah menanti!" lanjut Anjar Asih.
"Tuanku, kami siap menerima hukuman yang diberikan!" sahut mereka serentak.
"Kalian semua akan kuikat pada tonggak-tonggak kayu di Padang Neraka selama tiga hari!"
"Ohhh...?!"
Para gadis yang hadir di sini berseru kaget mendengar keputusan itu. Padang Neraka adalah suatu tempat yang amat tandus, dan jarang ditumbuhi rerumputan. Suhu di sana panas sekali, dengan udara kering. Apalagi dalam musim panas seperti sekarang. Jarang ada yang selamat dari hukuman itu. Apalagi selama tiga hari!
"Terima hukuman itu atau kupenggal leher kalian satu persatu?!" bentak Anjar Asih.
"Kami terima hukuman itu, Tuanku...!" sahut mereka.
"Bagus! Jadi bila ada di antara kalian yang masih hidup setelah waktu tiga hari, maka boleh kembali mengabdi padaku."
"Terima kasih, Tuanku!"
"Hm!" Anjar Asih lantas memberi isyarat. Maka belasan pengawalnya yang terdiri dari laki-laki dan perempuan segera menggiring rombongan yang dipimpin Kencana.

***

184. Pendekar Rajawali Sakti : Kembang Lembah DarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang