BAGIAN 5

97 9 0
                                    

Siang yang amat terik, membuat Pendekar Rajawali Sakti mampir di sebuah kedai di desa yang tak jauh dari Lembah Darah. Sejak tadi pagi Rangga berkuda dari Lembah Tengkorak.
Di dalam kedai ini, pembicaraan beberapa pengunjung semula tidak menarik minat telinga Rangga. Tapi ketika seseorang menyebut-nyebut nama Lembah Darah, maka telinganya segera dipasang tajam-tajam.
Mengingat nama Lembah Darah, membuat Rangga juga teringat dengan beberapa kejadian yang dialami. Sejak pertemuannya dengan Wulandari yang mengajaknya ke Lembah Darah, sampai pada seorang gadis yang berhasil meringkusnya, dan hendak membawanya ke sana. Atas dasar ini, Rangga jadi tertarik ingin menyelidiki lebih lanjut.
"Hei, kenapa susah-susah?! Kalau kau ingin bekerja dan dapat uang banyak, kenapa tidak datang saja ke sana? Banyak pekerjaan dan upahnya pun besar!" jelas seorang laki-laki berperut buncit. Mukanya bulat dan lebar.
"Kerja apa di sana, Mbul?" tanya laki-laki lain, berwajah penuh bopeng, bekas luka cacar.
"Apa saja, Bopeng. Di sana, nanti akan dibagi-bagi tugas apa yang mesti dikerjakan," jelas laki-laki yang dikenal bernama Gembul ini.
"Memangnya kita kerja dengan siapa?" tanya laki-laki bernama Bopeng.
"Anjar Asih."
"Anjar Asih? Siapa dia?" tanya laki-laki berbadan kurus dengan mata sayu.
"Alaaah.... Masa' kau tak tahu, Kaspa? Itu..., wanita paling kaya di wilayah barat. Eh! Dia cantik dan kaya, Iho! Siapa tahu saja dia terpikat padamu!" olok Gembul.
"Hahaha...! Anjar Asih mana mungkin mau padanya. Matanya saja seperti orang mengantuk!" ejek laki-laki berkumis tipis.
"Hei, Cakra! Jelek-jelek begini sudah sepuluh gadis yang kutolak cintanya!" sahut laki-laki berbadan kurus yang bernama Kaspa.
"Huu, dasar Kaspa!" seru Gembul.
"Eh! Ngomong-ngomong yang namanya Anjar Asih itu apa betul masih sendiri? Dari mana dia dapat kekayaan begitu banyak? Apa dia putri raja yang dalam pengasingan?" tanya Kaspa, terlihat sungguh-sungguh.
"Entahlah.... Aku sendiri tak tahu. Yang kutahu dia hidup sendiri di istananya yang hampir selesai dibangun. Mungkin saja dia putri raja yang tengah diasingkan di lembah itu," sahut Gembul.
Pendekar Rajawali Sakti terus memasang telinganya. Sebentar keningnya berkerut tajam, sebentar kemudian biasa kembali.
"Hm.... Mungkin hanya kebetulan saja. Wulandari bertempat tinggal di lembah itu," gumam Rangga coba mengabaikan apa yang tengah dipikirkannya saat ini.
"Yang lebih heran lagi..." lanjut Gembul. "...Anjar Asih itu banyak memiliki anak buah wanita muda. Dan rata-rata cantik!"
"Dasar kau, Mbul! Kalau bicara perempuan, selalu saja wajahmu berseri-seri!" celetuk Cakra.
"Kapan lagi? Mumpung masih muda dan belum kawin!"
"Wajah boleh saja mengaku muda. Tapi umurmu kan sudah kepala tiga! Dan sampai sekarang belum laku-laku juga!" timpal Kaspa.
"Dibanding nasibmu, mungkin aku lebih baik. Aku pernah beberapa kali diajak kawin oleh gadis-gadis sekampungku. Tapi kau...? Hehehe...!" Gembul tak melanjutkan kata-katanya karena keburu tertawa sendiri.
"Sudahlah, sudah! Itu terus yang diomongin!" tukas Kaspa kesal.
"Makanya jangan mulai lebih dulu!" kata Cakra.
"Sudahlah. Lebih baik kita pulang saja. Sebentar lagi sore. Nanti kita kemalaman tiba di sana," ajak Kaspa.
"Ayolah!"
"Selamat siang, Kisanak semua...."
"Heh?!" Gembul dan kawan-kawannya tersentak kaget. Mereka langsung mencabut golok masing-masing begitu tahu-tahu di depan berdiri seorang pemuda berbaju rompi putih.
"Tenanglah, Kisanak semua. Aku sama sekali tak bermaksud jahat," ujar pemuda yang tak Iain Pendekar Rajawali Sakti.
"Siapa kau?!" berjtak Gembul, dengan wajah garang.
"Namaku Rangga...," sahut Rangga, kalem.
"Apa maksudmu menghadang kami?!" cecar Gembul.
"Aku sempat mencuri dengar pembicaraan kalian. Dan kalau tidak salah, katanya kau bekerja pada Anjar Asih yang tinggal di Lembah Darah?"
"Hm, memang betul. Lalu apa maumu?!" tanya Gembul masih dengan nada tinggi.
"Kebetulan aku punya dua orang kawan yang berasal dari sana. Dan..., mungkin kau mengenal mereka," sahut Pendekar Rajawali Sakti, ramah.
"Siapa?"
"Namanya Ningsih dan Wulandari. Kau kenal mereka?"
Gembul berpikir beberapa saat, dan coba mengingat-ingat nama-nama yang disebutkan Rangga barusan.
"Anak buah Anjar Asih banyak. Dan aku tak bisa mengingatnya satu persatu. Apalagi yang wanita!"
"Hm, sayang sekali. Padahal mereka mengundangku ke sana. Dan aku lupa menanyakan secara persis rumah mereka...."
"Di sana tak ada rumah, tapi istana milik Anjar Asih!" sahut Gembul masih tetap curiga pada pemuda itu.
"Ah, ya! Aku lupa. Maksudku mereka tidak memberitahu di bagian mana bekerjanya. Mungkin kau bisa bantu? Penting sekali bagiku untuk bertemu mereka."
"Apakah mereka kekasihmu?"
"Hm, bukan," sahut Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti khawatir ada kebijaksanaan lain di tempat yang katanya istana milik, Anjar Asih jika mengaku sebagai kekasih salah seorang dari wanita itu? Mungkin saja nantinya Gembul akan mengatakan kalau Anjar Asih melarang anak buahnya untuk memiliki kekasih.
"Kenapa mesti berdusta? Kalau benar dia kekasihmu, maka Anjar Asih tentu akan senang sekali."
"Sementara ini mungkin belum. Tapi..., kami sudah berkawan dekat," sahut Rangga berdusta sambil tersenyum malu-malu.
"Hehehe...! Kenapa tidak bilang dari tadi?"
"Aku..., malu."
"Sudahlah. Aku mengerti sekarang," ujar Gembul seraya menyarungkan golok.
"Kalau hendak bertemu dengannya, kenapa tidak datang saja ke Lembah Neraka?"
"Eh, bolehkah?!"
"Tentu saja!"
"Tapi aku tak tahu di mana tempat itu...."
"Ikut saja dengan kami. Nanti kita ke sana sama-sama!"
"Benarkah?! Oh, terima kasih! Terima kasih!"
"Sudahlah. Ayo kita berangkat ke sana sama-sama!" ajak Gembul tanpa curiga lagi.
Rangga, Gembul, dan rombongannya tiba di sebuah lembah permai yang dikenal sebagai Lembah Darah. Dari kejauhan terlihat betapa rindang dan sejuknya tempat itu. Tampak sebuah bangunan besar berdiri kokoh di sana. Bangunan yang belum seluruhnya selesai, serta masih dikerjakan oleh lebih dari seratus pekerja.
"Kita lewat sana!" tunjuk Gembul mengajak untuk masuk lewat pintu gerbang kecil.
"Kenapa tidak jalan sana?" tanya Rangga, menunjuk pintu gerbang utama.
"Itu untuk tamu-tamu istimewa Anjar Asih. Tapi kalau untuk orang-orang seperti kita, maka lewat sini yang diperbolehkan. Lagi pula penjagaan di sana sangat ketat. Kalau lewat sini, aku bisa memberi alasan tepat jika ditanya penjaga," jelas Gembul.
"Hm.... Alasan apa yang ingin kau kemukakan jika penjaga bertanya?" tanya Rangga, ingin tahu.
"Apalagi? Kukatakan saja kalau kau ingin ikut bekerja di sini."
"Alasan bagus! Tapi kerja apa yang cocok untukku?"
"Kau bisa silat?"
"Sedikit-sedikit..."
"Nah! Nanti akan kukatakan kalau kau ingin bekerja sebagai keamanan. Setelah segala sesuatunya beres, kau bisa mencari kedua gadis itu," papar Gembul.
"Baiklah," kata Rangga, sambil mengangkat kedua bahunya.
Kini mereka memasuki sebuah lorong yang tidak terlalu panjang. Di ujungnya terdapat sebuah ruangan besar dengan lantai hitam mengkilap, dipenuhi tiang-tiang besar. Di ujung lorong berdiri tegak empat orang penjaga yang langsung mencegat.
"Aku Gembul yang bekerja pada Panglima Sekar, satuan pengawal pribadi Gusti Anjar Asih!"
"Apa yang kau bawa?" tanya salah seorang penjaga.
"Aku membawa teman yang ingin bekerja untuk kami."
"Hm!" Penjaga itu bergumam dingin. Lalu bersama tiga kawannya, dia meneliti Pendekar Rajawali Sakti dari ujung rambut sampai kaki.
"Empat orang?"
"Ya. Kenapa rupanya? Apakah ada larangan untuk mengabdi pada Gusti Anjar Asih?"
"Tidak. Kalau begitu masuklah. Temui bagian penerima pekerja."
"Baik, terima kasih!"
Mereka pun melewati ruangan ini. Tatapan mata Pendekar Rajawali Sakti tidak lepas-lepas mengawasi keadaan sekelilingnya. Ramai sekali orang yang tengah bekerja, atau sekadar lalu-lalang. Entah apa yang mereka kerjakan. Kini tak lama kemudian mereka tiba di suatu ruangan kecil.
"Ruangan ini khusus untuk menerima pekerja baru. Kalian tunggu di sini. Sedangkan aku akan memberitahu petugas yang menerima pekerja baru," kata Gembul.
"Baiklah..."
Gembul segera angkat kaki dari tempat itu. Sedangkan Kaspa, Cakra, Bopeng, dan Rangga memandang ke sekeliling tempat penuh takjub. Mereka berdiri di dekat pintu, mengagumi dinding ruangan yang kokoh itu. Namun ketika Rangga kembali ke dalam dan duduk tenang, buru-buru ketiga teman Gembul melompat keluar.
"Hup!"
"Hei?!"
Breg!
"Keparat busuk!"
Rangga terkejut ketika mendadak pintu ruangan telah terkunci oleh tembok tebal yang jatuh cepat dari atas. Apalagi, keadaan ini benar-benar tak terduga, tanpa Rangga mampu berbuat sesuatu.
"Hei, apa-apaan ini?! Keluarkah aku dari sini. Atau, kuhancurkan tembok ini?!" bentak Rangga garang.
"Tembok ini dilapisi berlembar-lembar baja yang tebal dan kokoh. Akan sulit bagimu untuk menghancurkannya walau kutahu kesaktianmu sangat tinggi!"
Terdengar sebuah suara bergaung di dalam ruangan kecil yang mengurung Rangga.
"Setan alas! Jangan kira aku tak mampu menghancurkannya!" teriak Rangga.
"Mungkin saja kau mampu menjebolnya. Tapi kami telah memperhitungkan hal itu. Makanya telah kami siapkan sesuatu yang khusus bagimu!"
Setelah suara berhenti, dari beberapa sudut ruangan mengepul asap putih yang cepat memenuhi ruangan.
"Uh, setan! Dari baunya, ini jelas asap yang berasal dari aji 'Lumpuh Raga', yang pernah digunakan gadis bernama Kencana...."
Rangga berusaha memindahkan napasnya ke perut. Namun asap putih itu terus memenuhi ruangan, membentuk kabut tebal. Bukan saja menghalangi pemandangan, tapi juga menyusup ke dalam tubuhnya lewat pori-pori. Inilah salah satu kehebatan ajian 'Lumpuh Raga'. Asap ini memang bukan racun, walaupun terbuat dari candu. Bila hanya candu biasa, mungkin Rangga sudah kebal setelah memakan jamur yang terdapat di Lembah Bangkai. Yang jelas, karena asap candu juga diberi mantera-mantera, maka akibatnya kekebalan Rangga tak ada gunanya.
"Ohh...!" Pendekar Rajawali Sakti mulai mengeluh berkali-kali. Tubuhnya lemah dan pandangannya berkunang-kunang. Kepalanya berat. Pikirannya tak terkendali. Entah sampai kapan dia mampu bertahan. Tapi di akhir segalanya, Pendekar Rajawali Sakti memang tak kuasa lagi. Tubuhnya terkulai tak berdaya.
Entah berapa lama Rangga terkulai tak sadarkan diri. Tapi ketika kesadarannya pulih, samar-samar matanya melihat banyak orang duduk bersila dalam sebuah ruangan berlantai hitam mengkilap. Dia sendiri terikat pada sebuah tiang besar dengan kedua tangan di belakang. Yang pertama kali dilihatnya adalah empat orang laki-laki yang membawanya ke sini.
"Gembul! Duduklah kau! Ketua ingin bicara dengannya!" ujar Sekar yang telah berada di sana.
"Baik, Panglima!"
Empat laki-laki yang dilihat Rangga menepi. Mereka lantas duduk bersila. Kini Rangga bisa melihat seorang wanita muda duduk di atas sing-gasana yang terbuat dari logam mulia berkilauan. Wajahnya cantik. Beberapa bagian tubuhnya terbuka, dan secara samar dihalangi rambutnya yang panjang.
"Tuanku.... Hamba telah menyelesaikan tugas yang diberikan!" ujar gadis dengan ikat kepala berwama kuning keemasan itu.
"Ya! Kupuji hasil kerjamu, Sekar," sahut wanita cantik di singgasana yang tak lain Anjar Asih.
"Eh! Hamba ingin...."
"Aku tahu apa yang hendak kau katakan!" tukas Anjar Asih.
"Aku tidak ingkar dari janjiku. Nah! Apa yang kau inginkan? Katakanlah!"
"Mana berani hamba meminta, Tuanku...," kata Sekar.
"Kalau begitu akan kuberikan beberapa emas permata padamu. Pergilah pada bagian perbekalan. Dan minta padanya bagianmu. Aku telah menyiapkannya!" ujar Anjar Asih.
"Terima kasih, Tuanku!" sahut Sekar, girang.
"Sekarang kau boleh pergi!"
"Sekali lagi terima kasih, Tuanku!" ucap Sekar berulang-ulang sebelum angkat kaki dari ruangan ini.
Sesaat kemudian, bersama anak buahnya termasuk empat laki-laki yang telah menjebak Rangga, Sekar meninggalkan ruangan itu. Hanya beberapa orang penjaga yang masih tetap berada dalam ruangan. Tapi tak berapa lama Anjar Asih pun memberi isyarat agar mereka angkat kaki dari sini.
"Hm.... Kini tinggal kita berdua di sini...!" lanjut Anjar Asih, setelah tak ada orang lagi di ruangan ini kecuali dirinya dan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kaukah penguasa tempat ini?" tanya Rangga.
"Ya. Bagaimana? Apakah kau menyukai istanaku?"
"Entah siapa sebenarnya kau. Tapi aku tidak kenal sebelumnya denganmu. Kenapa kau menginginkan aku?" tanya Rangga lagi.
"Mungkin saja. Tapi aku kenal baik denganmu. Namamu selalu mengusik rasa ingin tahuku. Dan wajahmu selalu membayang-bayangi pelupuk mataku...."
"Dengar, Nisanak. Aku tak kenal denganmu. Dan kau seorang diri berada di sini menghadapiku. Apa tidak terpikir olehmu kalau aku terlepas, maka tak seorang pun yang bisa mencegahku menangkapmu!"
"Betulkah? Kalau kau bisa melepaskan diri dari ajian 'Lumpuh Raga'ku, silakan saja. Hm.... Aku telah cukup lama mengawasimu, sehingga bisa memperhitungkan sampai di mana tingkat kehebatanmu. Belum tentu kau bisa menangkapku dengan mudah," sahut Anjar Asih sambil tersenyum-senyum.
Rangga mendengus geram. Apa yang dikatakan wanita itu memang benar. Ajian yang mempengaruhinya masih terasa membelenggunya. Belum lagi tali yang mengikat kedua tangannya. Begitu alot dan sulit dilepaskan. Tenaganya pun kini terasa berkurang. Keadaannya saat ini agak lemah. Entah kenapa. Mungkin juga karena pengaruh asap putih dari aji 'Lumpuh Raga' di ruangan tadi. Dan Rangga perlu bersemadi untuk menghilangkan pengaruh ini. Tapi dalam keadaan begini mana bisa?
"Apa sebenarnya yang kau inginkan dariku?" tanya Rangga.
"Tentu saja dirimu!" sahut Anjar Asih, kalem.
"Aku tak mengerti."
"Kenapa? Bukankah amat sederhana? Aku seorang wanita. Dan kau seorang laki-laki. Aku seorang penguasa, dan kau seorang raja. Aku cantik dan kau tampan. Lalu siapakah menurutmu yang sepadan untukku selain dirimu?"

***

184. Pendekar Rajawali Sakti : Kembang Lembah DarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang