Bab 6

1.6K 52 0
                                    

Malamnya, Kamar Claire

Clarissa melihat wajah Claire yang muram, hanya tidur-tiduran di kamar sambil memainkan handphone-nya. "Eh dek, lo knp sih?"

Claire bahkan tidak melirik ke arahnya. "Gapapa kak."

"Ah bohong lo, pulang sekolah lo nangis lgsung msk kamar."

"Gapapa kak..."

"Gapapa-gapapa apa deh, daripada dipendem sendiri, kasih tau gue aja. Enakan sharing kalau ada masalah kan?" Ujar Clarissa lembut, menghampiri Claire di tempat tidurnya.

Claire menarik nafas panjang dan menaruh HP-nya pergi. "Jadi... Marcell tuh... sakit."

"Sakit? Sakit apa?"

"Kanker darah."

"Ya ampun... Kakak turut prihatin."

"Gue sedih kak, masa kita udh pacaran 1 tahun dan dia gak pernah kasih tau gue."

"Lah terus, lo tau darimna?"

"Gue tau dari Michael sama Sheila. Mereka aja kirain dia udah kasih tau gue..."

"Pasti ada alasan kenapa dia gak mau kasih tau lo."

Claire merasakan air mata yang sudah kering, mulai jatuh lagi dari matanya. "Tapi gw gak nyangka aja kak..."

Clarissa memeluk Claire, mengelus punggungnya. "Udahlah, gausah nangis lagi. Kan lo udah tau. Yang sabar ya Claire. Tuhan pasti buka jalan untuk lo."

"Iya kak."



Rumah

Kala itu hujan deras turun membasahi bumi. Aku sedang menonton TV di ruang tamu, terus telpon rumah bunyi.

"Claire, angkat sana." Sahut Christo, yang juga nonton TV sama aku.

"Ih mager banget, lo aja sana."

"Ogah. Antara lo yang angkat atau gak sama sekali. Palingan juga si Clarissa, bilangin lo lagi ada diskon. Dia kan lagi di mal."

"Nyebelin banget sih lo," omelku sambil dengan malas mengangkat telepon tersebut pada dering keempat.

"Halo?"

"Halo, Claire?" Terdengar suara yang familiar di telingaku itu. Suara orang yang lagi tidak ingin kudengar. "Ini Marcell. Sekali lagi aku mau bilang aku minta maaf..."

"Kenapa kamu gak kasih tau aku dari dulu?"

"Aku takut kalo aku kasih tau kamu... kamu bakal jauhin aku."

"Kamu pikir perasaanku itu kayak apa sih, Cell? Yakali aku bakal ngejauhin orang yang kesayang. Selama ini kamu anggap perasaanku itu padamu itu apa?"

Akhirnya, aku mengeluarkan segala unek-unekku.

"...maafkan aku. Aku memang salah..."

Aku menarik nafas panjang. "Aku gak tau aku bisa maafin kamu atau ga."

"...Claire, kamu ke luar rumah deh."

Hujan begini dia datang? Aku mematikan telepon dan segera membuka pintu rumah.

"Kamu ngapain disini?" Tanyaku, melihat sosoknya yang berdiri di depan pintu.

Ia menunduk. "Aku pengen kamu maafin aku. Aku memang salah untuk tidak memikirkan perasaanmu sama sekali." 

"Tapi gak gini caranya..." Aku bergumam, tidak peduli jika ia mende garnya atau tidak.

"Claire," katanya sambil memegang tanganku dan melihatku di mata, "Semua orang melakukan kesalahan, termasuk kepada orang
yang kita cintai. Aku sayang sama kamu. Aku mohon kamu maafin aku. Aku mau kamu menemani aku selama pengobatanku, Claire..."

Wajahnya yang sendu itu menyakitkan hatiku. Bagaimana pun, aku memang masih menyayanginya.

Tanpa berkata-kata dahulu, aku memeluknya. "Iya Marcell, aku maafin kamu."

Setelah aku mengatakan itu, aku merasa badannya melemah dan jatuh dari pelukanku.

"Cell, kamu kenapa? Ma! Pa!" Teriakku dengan panik, memanggil pertolongan. Mama dan papa langsung menghampiriku di pintu yang berusaha membopong tubuh Marcell.

"Kenapa ini? Kok dia pingsan?" Tanya Papaku, membantuku membopong tubuh Marcell.

Mama langsung mengambil kunci mobil dan menyalakan mobil di garasi. "Ayo kita bawa ke dokter!" 

Papa menidurkan badannya di kursi belakang, dengan kepalanya di pahaku. "Christo, tolong kunci rumah! Kita mau ke rumah sakit dulu!"

"Loh kenapa, Pa?" Tanyanya balik, tetapi kita sudah pergi menjauhinya.


Rumah sakit

"Apakah ini keluarga Marcell Aditya?"

Papa menggeleng. "Bukan Pak... Orang tuanya sedang tidak ada bersama kita saat dia pingsan."

"Begini, dia kecapekan dan berhubungan dengan kankernya, dia harus banyak istirahat. Sangat dianjurkan untuk tidak beraktivitas dahulu. Tolong beritahu saya nomor telponnya supaya saya bisa memberitahukan keadaan putranya."

Mama memberikan nomor kontaknya kepada sang dokter, dan kemudian dokter itu pergi untuk menelepon keluarganya. Dari luar kamar aku melihat Marcell yang sudah siuman, dan menghampirinya.

"Marcell, kamu kenapa datang ke rumah aku pas hujan? Jadinya kayak gini. Maafin aku ya..." Kataku dengan sesal. Tidak seharusnya keadaan menjadi seperti ini.

Marcell masih membalasku dengan senyum. "Aku yang seharusnya minta maaf sama kamu. Karena aku, keluarga kamu jadi aku repotin."

"Gapapa Cell. Keadaanmu juga penting. Si dokter udah telpon papa kamu. Mereka lagi di Bandung."

Ia terdiam sesaat. Wajahnya dipenuhi keraguan. "Mereka... ada di Bandung? Mamaku tau gak?"

"Aku nggak tau, Cell. Emang mamamu kenapa?"

"Mereka gak tau tentang kondisiku."

Aku kaget. "Kok... gitu?"

"Aku gak kasih tau keluargaku yang di Bandung. Aku yang bilang ke papaku supaya gak ngasih tau mereka. Aku gak mau keluargaku sedih..."

Saat itu juga seseorang masuk ke dalam kamar perawatan Marcell. Kak Siti datang untuk menjenguk Marcell.

"Kamu gapapa kan?" Tanyanya lembut sambil mengelus kepalanya.

"Gapapa kak."

"Besok keluarga kamu bakal datang ke Jakarta. Mau nemenin kamu. Untuk sementara aku yang temenin dulu gapapa kan?"

Marcell tersenyum lemah padanya. "Iya kak... Makasih."

"Claire, makasih ya tadi udah dikabarin. Terima kasih banyak ya." Kak Sit menghadapku dan tersenyum.

"Iya kak, sama-sama."

Keesokan harinya, keluarga Marcell datang menemaninya. Akhirnya keluarga Marcell berkumpul lagi untuk pertama kalinya sejak papa dan mama Marcell bercerai. Marcell terlihat bahagia berada di tengah-tengah keluarganya lagi. Aku turut bahagia. Marcell mengenalkan aku pada keluarganya.

Melihat mereka, aku bersyukur dengan keluargaku yang utuh.

Terimakasih udah baca! Hari senin udah mulai UAS jadi gak update dulu ya.

Aku dan KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang