2. Mas-mas jamet

181 140 145
                                    

"Ada berapa banyak sekolahan sih, sampai-sampai gue bisa ketemu Lo di sini?" ujar Fatin dengan mata yang terus menatap laki-laki itu.

"Oh iya, btw karena gue duluan yang berada di sini. Jadi mau nggak mau, kalian pindah ya." Fatin menaikan ujung bibirnya dengan satu alis yang naik, membuat kecantikannya bertambah.

Laki-laki itu tampak tidak terima, sedangkan kedua temannya yang berada di belakangnya hanya menonton tanpa ada niat untuk memisahkan kedua orang itu.

"Gue pindah? Kenapa nggak lo aja?" tantang laki-laki itu dengan kedua tangan yang di masukkan ke dalam saku celana.

Tina yang melihat pemandangan itu dari jauh sudah merasa tidak enak, dia memang tidak mendengar perkataan Fatin dan kakak kelasnya itu. Tapi, ia sudah memastikan kalau mereka bukan hanya sekedar mengobrol biasa melainkan.....

Tina melotot lebar, ia segera berlari menjauh dari antrean panjang untuk memesan makanan dan segera menghampiri Fatin yang emosinya sudah meluap.

"Aduh Fat! Lo ngapain sih adu mulut sama kak Darren?" bisik Tina yang sudah berada di samping Fatin.

Fatin terkejut dengan apa yang di ucapkan Tina.

"ckckck, nggak nyangka gue punya kakak kelas yang songong kayak lo. Udah tau kakak kelas, kenapa nggak ada niatan buat ngalah sama kita aja sih?!"

"Gue ngalah sama lo?" Darren menunjuk dirinya sendiri.

"Mending lo pergi deh, muak gue liat muka lo. Lo temennya dia kan?" mata Darren mengarah ke Tina membuat Tina mengangguk terkejut. "Bawa dia pergi dari sini, kalau bisa bawa ke rsj," lanjut Darren yang mampu membuat Fatin mengamuk.

"KURANG AJAR YA LO!"

"Aduh, Fat. Mending balik ke kelas aja deh, Lo nggak malu di liatin semua murid?"

Sadar saat di bilang Tina, Fatin menurut begitu Tina menariknya keluar dari kantin. Tapi sebelum itu, Fatin sempat mengatai Darren sesuatu yang membuat Darren melotot kan ke arahnya.

"DASAR MAS-MAS JAMET!"

°°°

"Duh Bun, Fatin udah nggak kuat nih buat sekolah di sana. Kita pindah aja ya?"

Sedari pulang sekolah, Fatin langsung membujuk bundanya tanpa mengganti seragam sekolahnya dahulu.

"Bunda mau pindahin Fatin di mana aja Fatin terima deh. Asal jangan di sekolah itu lagi," rengek Fatin pada Bundanya yang sedang sibuk menonton suara hati pembantu di salah satu channel televisi.

"Emangnya kenapa dengan sekolah mu?" tanya Auryn membuat Fatin bungkam.

"Kenapa malah diam?"

Sekarang bukan hanya bungkam saja, melainkan kegugupan yang tiba-tiba melanda dirinya. Ia bingung mau menjelaskan bagaimana kepada bundanya, tidak lucu sekali kan kalau ia mengatakan, "mas-mas jamet yang ngambil samyang Fatin, ternyata sekolah di sana bun!"

"A-anu, ya pokoknya Fatin mau pindah!" kekeh Fatin membuat suasana hati Auryn kacau karenanya.

"Tanya ayah dulu sana boleh pindah atau nggak, kalau boleh nanti bunda masukkan kamu ke asrama yang angker," kata Auryn sembari beranjak meninggalkan Fatin yang sedang mengamuk.

Ketika malam tiba, Fatin sudah berada di kasurnya dengan posisi tengkurap. Fatin belum juga mengganti pakaian sekolahnya, padahal kalau ayahnya tahu, Fatin akan kena marah.

Malam ini, Fatin akan kembali bercuhat dengan Tina tentang yang di bicarakan dengan bundanya sore tadi.

Dengan hati yang mantap, Fatin menekan tombol telepon di aplikasi whatsApp yang langsung di terima oleh Tina.

"Ngapain Lo curut nelpon-nelpon gue? Mau malu-maluin gue lagi hah?"

"Iiih! Diem dulu deh lo. Gue pengen curhat nih!" balas Fatin tidak kalah ngegas.

"Kok jadi galakkan elu sih? Yaudah mau curhat apa? Tumbenan banget."

Saat ingin menjawab, tiba-tiba Fatin jadi gugup sendiri, dan hal itu mampu membuat Tina menjadi lebih penasaran.

"G-gue–"

"Jangan bilang lo mau curhat tentang cowok, Fat? Oemji, terima kasih ya tuhan. Akhirnya engkau menunjukkan kalau Fatin tidak penyuka sesama jenis." Suara Tina begitu lancang saat memotong ucapan Fatin.

"DASAR TEMEN SETAN LO! GUA BUKAN MAU NGOMONG ITU. ISH TAU DEH, BYE!" Fatin mematikan telponnya tanpa memberikan kesempatan kepada Tina untuk berbicara.

Saat sedang kesal-kesalnya, ada seseorang yang membuka pintu kamarnya membuat Fatin terkejut setengah mati.

Untuk apa ayahnya ke sini? Ia ingin mengomeli Fatin karena berbicara yang aneh-aneh dengan bundanya kah?

"Sedang apa kamu?" tanya Adam -ayah Fatin- sambil duduk di meja belajarnya.

"Kelihatannya?" Fatin enggan membalas ucapan basa-basi dari sang ayah.

"Kenapa mendadak minta pindah sekolah?" Adam bertanya dengan muka galaknya membuat Fatin mengalihkan pandangannya.

Fatin tidak menjawab, ia pura-pura sibuk dengan melihat-lihat kamarnya yang isinya hanya itu-itu saja.

"Anak jaman sekarang, kalau di tanya tidak di jawab." Adam menggeleng pelan dan berjalan keluar dari kamar Fatin.

"Memang kalau Fatin jawab, ayah mau pindahin Fatin?"

Adam menghentikan gerakan tangannya yang sudah berada di gagang pintu, ia menengok menatap putrinya yang juga sedang menatapnya.

"Mau pindah ke asrama? Boleh saja," jawab Adam tenang.

Fatin terkejut. "Ish! Sekalian aja di pondok pesantren!" jawab Fatin asal.

"Kamu mau? Baiklah, ayah daftarkan nanti," kata Adam berlalu pergi meninggalkan Fatin dengan mata berkaca-kacanya.

"ISH, FATIN CUMA BERCANDA!" teriak Fatin dengan air mata yang sudah mengalir membahasi pipinya.

Serius, kalau sudah membicarakan pesantren, Fatin jadi takut sendiri. Entah apa yang di takutkan dirinya.

°°°

Darren berdecak saat telepon seseorang mengganggu tidurnya, saat melihat nama yang tertera di layar ponselnya, Darren mengabaikannya begitu saja dan kembali tidur dengan bantal menutupi kedua telinganya.

"Pengganggu," gumam Darren sebelum ia terjun ke dalam dunia mimpinya.

°°°

Terima kasih telah membaca ceritaku!

Hallo, Sa(m)yang!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang