Suasana di kamar berukuran sepuluh kali lima meter itu terlihat sunyi dan gelap. Bantal dan selimut tersusun rapi di atas tempat tidurnya, itu karena Fatih telah merapikan kamarnya ini sepuluh menit yang lalu. Fatih berjalan keluar kamarnya menuju ruang tengah, menatap satu koper besar berisi baju-bajunya dan satu lemari berukuran sedang yang terletak dekat koper itu. Fatih menghela napas pelan, matanya menyapu sekeliling, fokusnya teralihkan pada kamar di sebelah kanannya. Ada dua kamar. Satu kamar ayah ibunya dan satunya lagi kamar adiknya.
Fatih berjalan pelan menuju kamar ayah ibunya, menepikan gorden penutup kamar, lalu membuka pintunya. Gelap. Hanya ada sedikit cahaya samar-samar dari luar yang masuk lewat pentilasi udara. Kamar ini telah kosong dan ditutup saat ayah-ibunya meninggalkan rumah tiga puluh hari yang lalu. Sejak hari itu, Fatih tinggal bersama satu orang kakak dan adiknya, karena kakak pertamanya telah berkeluarga dan mempunyai tempat tinggal sendiri bersama istri dan anak-anaknya. Kini ayah ibu Fatih tengah berada di negeri orang, melaksanakan ibadah haji.Fatih menghidupkan lampu, melihat seisi kamar yang kosong. Ia melangkah masuk—melihat foto yang terpampang di dinding kamar. Itu adalah foto kedua orang tuanya yang sedang bergandengan tangan mesra sambil tersenyum. Tulus sekali senyuman di antara keduanya. Fatih mengambil foto itu dan duduk di tepi tempat tidur yang sedikit berdebu. Menatap lamat-lamat foto itu, ada semburat rindu di matanya.
“Ayah, ibu, anakmu sudah dewasa. Hari ini aku akan merantau ke kota, untuk belajar, menambah ilmu agar menjadi manusia yang bermanfaat dan lebih baik lagi,” lirih suara Fatih, “Apa kabar, ayah, ibu di sana?”
Sepuluh detik lengang.
Rumah ini terasa sunyi saat kepergian kedua orang tuanya, tidak ada lagi suara nyaring dari dapur yang selalu membangunkannya tiap pagi. Tidak ada lagi yang membuatkan masakan enak untuknya tiap hari. Dan tidak lagi suara adzan merdu dari ayahnya yang selalu dikumandangkan di mushallah dekat rumahnya. Selama tiga puluh hari ini, Fatih lah yang menggantikan peran kedua orang tuanya di rumah. Mulai dari memasak atau hanya sekadar membeli makanan di luar, berberes rumah, sampai membangunkan adiknya dan mengantarkannya ke sekolah setiap pagi.
Kakaknya saat ini tengah sibuk mengurus dan menyelesaikan skripsinya. Kebetulan Fatih dan kakaknya satu universitas, hanya jurusannya saja yang berbeda. Tapi tidak mengapa, selama itu, Fatih selalu menikmati pekerjaannya di rumah. Selama dia ikhlas mengerjakannya, maka selama itu pula ia akan mendapatkan pahala dari-Nya. Beginilah rasanya jadi orang tua, harus bisa melakukan semuanya dan harus selalu sabar—
Terdengar suara mesin mobil yang dihidupkan dari garasi samping rumah.Fatih mendongak. Ia berdiri dan meletakkan kembali foto itu di dinding semula. Mengelap bagian bingkai foto yang masih berdebu. Pagi ini, ia akan berangkat ke kost- nya yang ada di kota dan tidak terlalu jauh dari kampus. Fatih akan pergi membawa barang-barang perlengkapannya untuk tinggal di kost dengan mobil orang tua yang akan dikemudikan oleh kakaknya dan ditemani oleh adik perempuannya—Humaira Shanum.
“Fatiiih! Cepatlah kau bereskan barang-barang kau itu dan masukkan ke bagasi mobil ni,” teriak Kevin Pramudinata dari dalam mobil.
“Iyo, iyo. Kemarilah, bantu aku angkat ni!” Fatih berseru tak kalah keras.
Kevin datang menghampiri, membantu Fatih mengangkat lemari dan barang-barang lainnya ke dalam bagasi mobil. Lima menit persiapan, dan waktunya berangkat.
***Jarak dari rumah Fatih dengan kost-nya sekitar 60 kilometer, dan butuh waktu sekitar satu jam untuk sampai di lokasi jika tidak macet selama perjalanan. Kini, Fatih telah sampai di tujuannya, sebuah rumah kontrakan dengan beberapa kamar di dalamnya. Kamar berukuran lima kali tujuh meter. Satu kamar untuk dua orang, dengan fasilitas satu tempat tidur untuk masing-masing orang dan juga WiFi untuk bersama satu rumah.
Kebetulan penghuni kost lainnya sedang tidak berada di sini, jadi Fatih bersama kakaknya—Kevin Pramudinata, tanpa bantuan yang lainnya bersiap untuk menurunkan lemari berukuran sedang dari bagasi belakang mobilnya, membawanya ke kamar Fatih dan dilanjutkan dengan koper, serta barang bawaan lainnya. Humaira hanya menunggu mereka berdua di dalam mobil, tidak ingin keluar. Fatih menatap sekeliling kamar kost-nya ini, sebuah kamar bernuansa kuning cerah dan loteng yang terbuat dari gypsum putih.
“Apakah ini kamar yang kau tentukan bersama teman kau waktu itu, Fat?” Kevin yang berdiri di belakang Fatih memulai pembicaraan.
“Yeah, tentu!” Fatih menangguk—bertanya, “Kenapa? Apa kau tak suka, Kak?”
“Tidak-tidak. Kenapa sebelumnya tak tinggal di kost lama kakak saja?”
Fatih menggeleng, “Iya … mau bagaimana lagi? Temannku tak ada yang mau tinggal di sana dan lebih memilih di sini, lagian di sini tempatnya juga bagus, ‘kan? Tuh ada WiFi-nya!” Fatih berseru—menunjuk ke arah belakang Kevin.
Triiiting!
Di sela obrolan keduanya, sebuah pesan masuk dari grup WhatsApp milik Fatih.
From Kating Fakultas to Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum:
[Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, teman-teman mahasiswa baru Fakultas Syariah dan Hukum. Informasi!
Diberitahukan kepada seluruh mahasiswa baru Fakultas Syariah dan Hukum untuk dapat hadir di Pekanbaru pada hari Ahad, 16 Agustus 2019, pukul 08.00 WIB, karena kita akan mendengarkan informasi dari pihak fakultas mengenai teknis untuk acara Pengenalan Budaya Akademik Kampus (PBAK) tingkat universitas yang akan dilaksanakan satu hari setelahnya. Titik kumpul depan Fakultas Syariah dan Hukum, berpakaian rapi, bebas, dan sopan. Tidak ada yang datang terlambat, kalau pun ada yang telat, itu tidak masalah, karena itu bagian dari kehidupan kita. Tapi jangan pernah untuk telat!
Sekian informasi kali ini, semoga dapat dipahami dan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Terima kasih!
Wassalamualaikum.
Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum
Azizul Fikri. Kating—Kakak tingkat]Satu menit Fatih membaca dan memahami informasi yang baru saja dikirimkan di grup fakultas yang berisikan beberapa jurusan di dalamnya, termasuk jurusan Fatih.
Fatih mengangguk-ngangguk pelan, “Hm … yeah, yeah! Pengalaman baru akhirnya dimulai!”
“Kenapa kau, Fat?” Kevin yang masih memandangi Fatih mengerutkan keningnya heran—bertanya.
“Ohh … tidak apa-apa, Kak. Besok pagi aku akan kembali lagi ke sini, tapi aku berangkat sendiri menggunakan motorku, dan akan mulai menginap beberapa hari di sini, karena besok pagi aku ada acara di kampus dan lusa kami akan melaksanakan PBAK Universitas.”
“Okay. Sekarang bereskanlah semua barang kau itu. Bentar lagi kita akan berangkat membawa Humaira jalan-jalan dan kembali ke rumah.”
Setelah mengucapkan itu, Kevin beranjak dari tempatnya berdiri dan berjalan keluar.“Siap, Brother, laksanakan!”
***
Selesai membereskan semua barang-barang dan perlengkapannya, Fatih kembali membuka aplikasi WhatsApp dan mencari sebuah nama di room chat-nya. Nama seorang teman yang belum pernah berjumpa dengannya, tapi sudah akrab layaknya teman lama. Siapapun orangnya itu, tentu ia orang yang penting dan cukup berarti dalam hidup Fatih.
Memulainya dengan mengucapkan salam dan menanyakan kabar, lalu membuat sebuah rencana untuk melakukan suatu pertemuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Pemimpin
Teen FictionAda persahabatan yang diawali dengan jabat tangan. Ada ambisi yang diawali dari mengikuti aksi demonstrasi dan sebuah politisasi. Ada diskusi yang diawali dengan duduk bersama, juga segelintir rasa dari pandangan pertama. Lantas semua cerita berkel...