“Hidup mahasiswa! Hidup mahasiswa! Hidup mahasiswa! Hidup rakyat Indonesia!” sorak-sorai para mahasiswa yang ada di luar kelas.
“Kepada kawan-kawan yang ada di kelas, harap untuk keluar semuanya.” Seseorang berbicara menggunakan toa di tangan kirinya—tangan kanannya terangkat maju ke atas.
Mahasiswa lainnya yang berada di kelas dan tidak ada dosennya, satu per satu melihat keluar. Penasaran dengan apa yang terjadi. Mulai dari lantai satu, dua, dan tiga, juga ikut melihat aksi yang sebentar lagi akan dimulai. Pak Yunus dari kursinya menoleh ke arah kirinya, menghadap pintu, melihat hal yang terjadi di luar. Fatih dan teman-temannya juga ikut melihat keluar. Satu-dua orang teman Fatih berdiri, penasaran atas apa yang terjadi, karena terhalang mahasiswa perempuan di sisi sebelah kanannya. Sejenak, proses belajar mengajar di kelas Fatih terhenti. Selang beberapa menit kemudian—
“Dah, kalian jangan perhatikan lagi apa yang terjadi di luar itu. sekarang, kita fokus lagi sama kuliah kita!” Pak Yunus mengalihkan perhatian. Membuat mahasiswa di kelasnya kembali melihat ke arah nya.
‘Sedang ada demo kah?’ tanya Fatih dalam hati.
Orang-orang sudah ramai berdiri di dekat taman gedung belajar, satu orang sedang melakukan orasi dengan toa nya. Menyuruh mahasiswa lainnya untuk keluar dari dalam kelas dan ikut bergabung, dan seorang laki-laki dengan postur tubuh tinggi besar dan tegap berlari dari satu ruangan ke ruangan lainnya, meminta izin untuk menutup kelas sementara, serta menyuruh untuk bergabung dengan mahasiswa lainnya di taman. Begitulah hakikatnya mahasiswa, untuk menyampaikan aspirasinya agar didengar oleh sang pemangku jabatan, ia membutuhkan massa untuk menyuarakan agar didengar.
“Assalamualaikum, Pak.” Laki-laki dengan postur tubuh tinggi besar dan tegap itu mengetuk-ngetuk pintu ruangan 102. Mengalihkan perhatian Pak Yunus dan mahasiswa yang sedang fokus menjelaskan dan menyimak.
“Waalaikumsalam. Ada apa kamu? Enggak liat apa saya sedang mengajar di sini, heh?”
“Iya, Pak, saya tahu itu.” Laki-laki itu berjalan masuk menghampiri Pak Yunus di mejanya, melakukan dialog berdua, “Tapi, hal itu bisa dilakukan nanti, Pak, karena sekarang kami sedang melakukan aksi demonstrasi tentang kebijakan kampus yang terjadi sekarang ini. Kami harap, Bapak dapat memakluminya. Dimohon kesediaan teman-temannya untuk keluar, Pak.”
“Ya sudah, kamu silakan keluar dulu sekarang!”
Laki-laki dengan postur tubuh tinggi besar dan tegap itu berjalan keluar, menghampiri mahasiswa lainnya dan berdiri di atas bangku taman. Fatih dan teman-temannya masih diam memperhatikan.
“Dah, kalian semua, silakan keluar. Mood saya sudah terganggu mengajar pagi ini.” Pak Yunus menginstruksi kepada mahasiswanya. Ia membereskan buku-bukunya dan memasukkan ke dalam tas, lalu menyandangnya, dan berjalan keluar melewati mahasiswa yang sedang berkumpul.Di koridor ruangan lantai satu sudah dipenuhi oleh para mahasiswa, juga lantai dua dan tiga. Ada Febry Firmansyah di sana, bersama wakilnya—Dodi Candra. Fatih, Udin, Refki, Rapli, dan temannya yang lain berjalan keluar, melihat dari ambang pintu. Semua teman cewek Fatih hanya menyaksikan dari dalam melalui jendela. Fatih semakin penasaran, ingin melihat lebih dekat, lantas keluar dari ruangannya. Semuanya sedang menyaksikan seseorang di tengah-tengah sana yang akan berorasi dengan toa-nya. Bingung dengan keadaan yang sebenarnya terjadi.
“Permisi, Kak, Bang,” ucap Fatih yang berjalan berhimpit-himpitan di antara kerumunan mahasiswa. Ia menoleh ke kanan, matanya melihat Febry bersama Dodi yang sedang berdiri menatap ke depan. Kemudian berjalan menghampiri mereka berdua.
“Ada apa ini, Bang?” tanya Fatih penasaran kepada Febry.
“Eh, Fatih!” Febry sedikit kaget—merangkul pundak Fatih. Saat ia hendak menjawab pertanyaan Fatih—“Teman-teman semua, untuk membangkitkan semangat perjuangan kita. Satu tangan maju ke atas, salam satu suara, satu perjuangan. Hidup mahasiswa!”
“Hidup mahasiswa!”
“Hidup rakyat Indonesia!”
“Hidup rakyat Indonesia!”
“Hidup perempuan Indonesia!”
“Hidup perempuan Indonesia!”
Teriakan demi teriakan saling sahut-sahutan dari seorang mahasiswa yang orasi dengan mahasiswa lainnya, termasuk Fatih. Itu adalah teriakan yang membangkitkan semangat perjuangan mahasiswa ini.
“Sekali lagi kawan-kawan semuanya, marilah kita menyanyikan mars perjuangan mahasiswa kita,” lanjut sang orator.
Semua mahasiswa mulai mengikuti dan menyanyikan mars perjuangan mahasiswa itu.
Kepada para mahasiswa
Yang merindukan kejayaan
Kepada rakyat yang kebingungan
Di persimpang jalan
Kepada pewaris peradaban
Yang telah menggoreskan
Sebuah catatan kebanggaan
di lembar sejarah manusiaReff:
Wahai kalian yang rindu kemenangan
Wahai kalian yang turun ke jalan
Demi mempersembahkan jiwa dan raga
Untuk negeri tercinta
Wahai kalian yang rindu kemenangan
Wahai kalian yang turun ke jalan
Demi mempersembahkan jiwa dan raga
Untuk negeri tercintaMars perjuangan mahasiswa selesai dinyanyikan. Laki-laki yang tinggi dan berbadan tegap sebagai sang orator dengan semangat yang berkobar dan suara yang lantang mulai menyampaikan aspirasinya melalui sebuah toa. Semuanya sedang menyaksikan sang orator berorasi, salah satu poin yang disampaikannya adalah mengenai kebijakan politik birokrasi kampus yang tidak sesuai dengan mahasiswa di sini.
Mereka melanjutkan aksinya dengan saling bergantian berorasi menyampaikan aspirasinya masing-masing, sedang mahasiswa lainnya membawa bendera jurusan dan organisasinya, lalu mengibarkan di tengah-tengah orasi itu. Tak habis sampai di situ, sang orator meminta mahasiswa yang merupakan teman berjuangnya untuk mengajak seluruh mahasiswa mengeluarkan semua meja kursi dari dalam ruangan, menuntut agar tidak ada yang masuk kelas dan belajar sekarang ini, serta memasang sebuah spanduk di lantai dua gedung dengan tulisan dari cat semprot berwarna merah yang bertuliskan.
“Kami mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum meminta keadilan dan hak-hak mahasiswa kepada pimpinan kampus, atas apa yang terjadi saat ini!!!”
Hingga aksi ini diketahui oleh satpam universitas dan menghampiri massa aksi. Ia menyuruh massa aksi untuk bubar, tapi ditentang oleh sang orator, hingga terjadilah dialog terbuka di antara keduanya. Massa aksi menyaksikan bersama-sama dialog itu. Beberapa menit dialog antara sang orator dengan satpam berlangsung. Namun, tiada titik temu di antara keduanya. Sampai-sampai, satpam universitas itu kembali berjalan keluar gedung belajar, dan meninggalkan massa aksi. Hingga aksi ini sampai kepada pimpinan kampus—Wakil Rektor III. Ia datang bersama dengan satpam yang masih sama.
“Bang, sebenarnya ada masalah apa sampai terjadi seperti ini.” Fatih kembali bertanya kepada Febry di sebelahnya.
“Ohh, itu, Fat, yang orasi pertama kali dan menyuruh mahasiswa lainnya untuk keluar, ia adalah Presma kampus kita ini, yang tahun lalu, namanya Yudi Utama. Namun, ada sesuatu hal yang terjadi, di mana … eee pasalnya itu, kampus ini sudah tidak mencerminkan demokrasi lagi, karena pimpinan kampus dianggap aliansi mahasiswa sudah mengebiri hak demokrasi mahasiswa.”
“Mekanisme pemilihan Dewan Eksekutif Mahasiswa atau Dema ini dipilih oleh rektor. Dengan dipilihnya oleh rektor ini, kita khawatir kalau nanti pimpinan Dema ini tidak bisa menjadi corong mahasiswa, karena dianggap bisa diatur oleh rektor.”
“Dan yang menjadi dasar pemilihan rektor seperti itu, masih dicari permasalahan dan penyelesaiannya, cuma karena aspirasi mahasiswa ini enggak didengar oleh rektor, maka aksi itulah jalan akhirnya. Untuk itu, masalah ini nanti kita diskusikan, ya,” lanjut Febry.
Fatih mengangguk dan menyimak dengan baik penjelasan Febry tersebut. Dalam hati Fatih berkata, ‘Jadi, seorang pemimpin itu adalah ia yang bisa mengayomi dan pro terhadap rakyatnya.’
Ia bertekad mulai saat ini untuk bisa menjadi seorang pemimpin yang memberikan pengaruh baik kepada orang lain. Menjadi seorang pemuda yang berperan, dan bukan baperan.
***
.
.
.Bersambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Pemimpin
Teen FictionAda persahabatan yang diawali dengan jabat tangan. Ada ambisi yang diawali dari mengikuti aksi demonstrasi dan sebuah politisasi. Ada diskusi yang diawali dengan duduk bersama, juga segelintir rasa dari pandangan pertama. Lantas semua cerita berkel...