Part 3: PBAK Universitas

1 1 0
                                    

Setelah mendengarkan pengumuman dan arahan dari Dekan Fakultas Syariah dan Hukum tadi mengenai acara PBAK Universitas yang akan dilaksanakan besok pagi, semua mahasiswa baru diperbolehkan melakukan hal lainnya di kampus dan di mana saja, asal tidak melanggar aturan dan hukum yang berlaku. Dari barisan depan, Fatih berjalan menuju barisan belakang, karena sebagai orang yang mudah bosan dengan sesuatu hal, membuat Fatih tidak suka berdiri berlama-lama dengan tenang di depan. Ia lebih memilih berdiri di belakang dan ingin bebas melakukan apapun. Tak pernah disangka, Fatih bertemu dengan teman SMP-nya dulu yang kini satu jurusan dengannya—Novi Amelia namanya.

“Ey, Fatih! Engkau, Muhammad Al-Fatih, ‘kan?” Novi tersenyum semringah—menunjuk ke arah Fatih di sampingnya.

What? Dia tahu namaku? Fatih menoleh—berpikir sejenak, sebelum kembali menyahut, “Kamu, Novi Amelia, ‘kan? Anaknya bapak Sugeng Solo itu?”

Novi menggerutu kesal, “Ternyata kau enggak berubah, ya, Fat. Masih saja suka menyebut nama orang tuaku.”

“Haha, sorry, Nov, aku enggak sengaja.” Fatih tertawa menampakkan lesung pipinya, “Btw, kita satu jurusan, ya?”

“Yoii! Ohh … iya, sekarang kau tinggal di mana, Fat?” Novi bertanya—menatap intens ke arah Fatih.

“Ohh … emm, itu, aku sekarang nge-kost sama kawan SMA-ku kemarin, kebetulan dia juga mahasiswa di sini, anak Fakultas Dakwah dan Komunikasi, tepatnya di jalan Manunggal di perumahan elit sana.”

Di sela-sela obrolan keduanya, tiba-tiba dari belakang seseorang menepuk pundak Fatih, membuatnya kaget dan langsung reflex menoleh ke belakang—

“Oy, kau rupanya, Wak! Buat kaget diriku saja kau, Wak.” Fatih membalikkan badannya, tersenyum, lalu menjabat tangan Muhammad Alimuddin—seorang budak suku Bugis yang tinggal di perkampungan Melayu, teman yang sudah berencana untuk bertemu Fatih pagi ini, “Dari mana saja kau, Wak?”

Udin tersenyum membalas jabat tangan Fatih, “Itu tadi, aku telat bangun dari kontrakan tante aku, jadi terlambat lah aku datang sini. Aku tengok kau asyikk aje berdiri yang bercerita di depan tu dengan yang lain, malas pula aku ganggu e. Haha.”

Obrolan dan pertemanan mereka berdua diawali dengan jabat tangan, tak lupa pula Novi yang ikut bercengkrama bersama saling berkenalan dengan Udin. Tak berapa lama kemudian, barisan yang semulanya rapi, kini mulai kacau, orang-orang pada lari kian kemari seperti mencari tempat dan posisi yang mantap, mereka membuat sebuah kumpulan, satu orang di depan memegang handphone dengan posisi horizontal.

“Satu, dua, tiiga!” Laki-laki yang memegang handphone itu memberi aba-aba, “Ganti gaya!”

“Din, Nov, orang-orang itu sepertinya sedang foto bersama. Ayo kita gabung!” Fatih berseru dengan sedikit tertawa.

***

Keesokan harinya. Pukul 06.45 WIB, Fatih telah siap dengan setelan kemeja putih lengan panjang dan celana kain berwarna hitam, tak lupa peci hitam yang menghiasi kepalanya. Tepat pukul 7 sebentar lagi, upacara pembukaan PBAK Universitas akan dimulai. Ada tiga fakultas yang akan mengikutinya, yaitu Fakultas Psikologi, Fakultas Ushuluddin, dan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan.

“Muf, aku berangkat ke kampus dulu, ya. Bentar lagi upacara pembukaan PBAK nya akan dimulai. Aku pamit dulu.” Fatih pamit kepada teman sekamarnya—Mufti Alghifary yang masih tertidur. Mufti Alghifary telah berada di kost ini sejak tadi malam.

“Oy, oke, Fat, hati-hati lu di jalan. Jangan lupa kunci kembali pintunya, ya!” Mufti menyahut dari tempat tidurnya yang masih berpelukan dengan bantal.

Lapangan kampus yang berada di depan gedung rektorat telah ramai oleh para mahasiswa baru, hari ini 17 Agustus 2019, bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-74 tahun. Pukul 7 lewat 15 menit, upacara memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, sekaligus upacara pembukaan kegiatan PBAK Universitas dimulai. Upacara kali ini dipimpin oleh Komandan Resimen Mahasiswa (Menwa) Satuan 042/Indra Bumi dan Pembina upacara langsung oleh Rektor.

Matahari mulai meninggikan cahayanya, setengah jam upacara berlangsung dengan khidmat dan lancar sampai dengan pengibaran bendera Sang Saka Merah Putih oleh anggota Paskibraka Universitas. Hingga setelah pengibaran bendera Sang Saka Merah Putih dilaksanakan, Fatih yang berdiri di barisan belakang mulai gelisah, perutnya mulai bergetar keroncongan dan juga masuk angin.

“Coii, lama lagi kah ini upacaranya?” Fatih bertanya pada teman di sebelahnya.

“Entahlah. Haha aku pun tak tahu, Coii.” Laki-laki itu menjawab—menoleh ke arah Fatih, “Kenapa lu, Coii? Gelisah aja tampaknya.”

“Hooh ni, masuk angin diriku, malah belum sarapan pagi tadi lagi.” Fatih mengerutkan mukanya, “Itu rektor kita, ya? Ngomongin apaan tu bapaknya. Kau dengar, enggak?”

“Haha, tak tahu juga, Coii, aku mana ada menyimak, pencitraan aja aku berdiri rapi macam ni.” Laki-laki itu terkekeh pelan.

Fatih tertawa kecil, mengalihkan pandangannya pada name tag berwarna hitam yang tergantung di dada lelaki itu, “Nama lu, Muhammad Yusuf, ya?”

“Ohh, iya jelas! Salam kenal. Fatih, ya?” Yusuf berbicara cukup keras—mengulurkan tangan kanannya pada Fatih.

“Eh, salam kenal juga, Yusuf!” Fatih membalas jabat tangan tersebut.

Setelah berkenalan satu sama lain, keduanya saling bertanya mengenai hal lainnya, hingga Fatih bosan dengan itu dan mengalihkan pembicaraan—

“Suf, sepertinya teman-teman jurusan kita mayan banyak juga ya cewek-cewek cantiknya.” Fatih menyikut tangan kiri Yusuf, lalu mengalihkan pandangannya pada barisan teman-teman perempuan di sebelahnya.

“Weh, ada yang minat, Fat? Pilih aja.” Yusuf tersenyum menampakkan giginya—ikut melihat barisan perempuan yang dibicarakan Fatih.

“Jika dilihat dari postur tubuh dan segi wajah, ia tinggi dan juga putih. Sepertinya lelaki ini lebih unggul dari diriku, apa aku akan kalah saing dengannya dari lirikan para wanita? Mengingat aku yang memiliki kulit sawo matang dan postur tubuh, yang jika dibilang pendek tidak juga, pun terlalu tinggi juga tidak,” Fatih berpikir sejenak, lalu terkekeh geli dengan pikirannya itu, “Ah, tidak mungkin! Aku kan punya senyum manis yang tak dimilikinya. Haha.”

“Woii, Fat! Kenapa malah bengong dan cengengesan sendiri, heh?”

Mendengar ada yang menyebut namanya, Fatih tersadar dari pikiran anehnya, “Eh, maaf, Coii, enggak apa-apa.”

Yusuf mengangguk sedikit tak peduli.

Sekali lagi, Fatih melirik ke arah barisan perempuan di sebelahnya, retina matanya menangkap seorang perempuan berbaju putih, rok dan juga kerudung yang berwarna hitam. Perempuan itu, kulit putih, tinggi yang semampai, wajahnya yang baby face terlihat sayu karena panas, tapi hal itu menarik perhatian Fatih.

“Heem … cantik juga cewek itu,” ucap Fatih dalam hati.

Terdengar ucapan pembacaan doa dari protokol upacara, sejenak mengalihkan perhatian Fatih dari perempuan itu. Saat pembacaan doa, semua peserta upacara menundukkan kepala dan menengadahkan kedua telapak tangan. Tiga menit berdoa, sesekali Fatih melirik ke arah perempuan itu, mencoba mencari tahu namanya dengan melihat name tag-nya. Beberapa kali percobaan, Fatih gagal mencari tahu namanya, hingga upacara selesai. Semua barisan diistirahatkan dan setelah ini, seluruh mahasiswa baru diinstrusikan untuk berkumpul di gedung Islamic Centre yang ada di samping masjid kampus. Fatih masih belum menyerah dengan apa yang menjadi keingintahuannya, sampai-sampai—

“Ahay! Dia berdiri menghadap ke sini. Yes, mantap! Hoho, jadi itu, ya, nama cewek itu. Annisa Salsabila, kalau diartikan, jadi … maknanya perempuan mata air surga. Masya Allah, nama yang cantik.” Fatih berbicara pelan dengan dirinya sendiri. Tiba-tiba—

“Woii!” Udin dari samping kanan Fatih bersama Yusuf datang mengagetkannya.

“Astaghfirullah, Wak!” Fatih menyergah—kaget dari lamunannya karena teriakan Udin dan Yusuf.

“Haha! Ngapain kau bengong dan bicara sendiri, Wak, Wak.” Udin berbicara—tertawa dengan ekspresi Fatih, “Itu kita dah disuruh berkumpul di IC, lahh kau ngapain diam lagi di sini, ayo pergi!”

.
.
.

Bersambung.

Sang PemimpinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang