Part 6: Lika-liku Hidup Jadi Mahasiswa

1 1 0
                                    

“Hoy! Mau ke mana kalian?” teriak Yasmine dari atas.

Udin, Fatih, dan Rayen yang sudah separuh jalan menuruni anak tangga menoleh ke belakang.

“Mau ke fakultas, Min.” Udin menjawab datar.

“Ohh, mau ngapain kalian ke sana? Kami berdua ikut, ya.” Hani menyahut di sebelah Yasmine.

Mereka bertiga mengangguk dan melanjutkan perjalanan, disusul oleh Hani dan Yasmine. Suasana di gedung belajar ini sudah ramai oleh para mahasiswa, sepertinya mereka mahasiswa baru yang tampak bersemangat kali untuk memulai kuliah di kampus ini.

Saat sampai di depan ruangan admin prodi. Sebuah ruangan yang berada di bagian belakang fakultas, dengan jendela yang panjang dan lebar, untuk tempat mahasiswa-mahasiswi Fakultas Syariah dan Hukum mengurus segala surat-menyurat dan urusan akademik perkuliahannya.

“Ray, itu bapaknya ada, coba kau tanyakan, gih!” Udin berseru menatap Rayen di depannya. Rayen mengangguk, menghampiri admin prodi tersebut, dengan ditemani oleh Hani

Fatih memilih duduk di kursi tunggu bersama Yasmine dan Hani di sebelahnya. Ia celingak-celinguk kiri-kanan, menatap sekelilingnya, ada banyak mahasiswa laki-laki dan perempuan yang berlalu lalang. Saat menatap ke sebelah kiri, matanya melihat sesuatu yang menarik baginya, seorang wanita, yang mengenakan gamis berwarna abu-abu dengan motif bunga berwarna hitam, dan jilbab yang serasi dengan warna bajunya. Wajahnya yang oval dengan kulit putih, tampak cerah sekali pagi ini. Fatih kenal dengan wanita itu—Salsa, ia sedang berdiri bersama tiga orang temannya yang tidak jauh dari tempat Fatih duduk saat ini. Hanya berjarak sekitar tujuh meter. Awalnya Fatih tak menyadari hal ini, tetap asyik menunduk membalas pesan WhatsApp di handphone-nya. Tapi, insting alaminya tentang wanita mulai aktif. Tersenyum malu, dan menahan diri untuk tidak grogi.

Saat urusan Rayen dengan admin prodi telah selesai.

“Fatih, Udin, Yasmine, kemarilah!”

“Haa … ada apa, Wak?” Udin berdiri mendekati keduanya, disusul oleh Hani dan Fatih.

“Ini, aku dah dapat semua nomor yang masuk di kelas kita. Ada yang berani nelpon Pak Afdhol pagi ini?”

“Dah, Ray, langsung aja kau yang nelpon bapak tu.” Fatih menyergah.

“Baiklaaahh.” Rayen mengangguk. Mulai menelpon dosen pagi ini, dengan mata kuliah Pengantar Ekonomi Mikro.

Mereka berlima berjalan menuju bawah pohon rimbun yang ada dekat fakultas itu. Rayen mulai menelepon.

Tiiiiiitt! Tiiiiiittt!

Satu menit berlalu. Nihil, panggilan tak terjawab. Rayen tak menyerah, mengulangi panggilan WhatsApp-nya sekali lagi.

“Iya, halo!” Suara seseorang dari seberang telepon.

“Halo. Assalamualaikum, Pak. Emm ... ini saya Rayen mahasiswa Ekonomi Syariah kelas C semester satu. Jadi, pagi ini, kami ada jadwal masuk dengan bapak. Apakah kita masuk, Pak, pagi ini?”

“Hm … begini, sekarang kan bapak lagi enggak di kampus, dan sedang berada di luar kota. Jadi, kita masuknya minggu depan aja, ya. Gpp, kan?”

“Ohh, kalau begitu baiklah, Pak. In syaa Allah akan saya sampaikan dengan teman-teman yang lainnya.”

“Ya, tolong disampaikan, ya. Assalamualaikum.” Pak Afdhol mengakhiri panggilannya.

“Waalaikumussalam, Pak.” Rayen menjauhkan gadget dari telinganya, dan memasukkan kembali ke dalam saku kanannya.

“Ndak masuk!”

“Hah, maksud kau, Ray?” Yasmine mengerutkan dahinya—bertanya penasaran. Udin dan Hani focus menyimak pembicaraan. Sedangkan Fatih, matanya memantau Salsa dari kejauhan.

“Iya, kita ndak masuk pagi ini. Barusan aku telepon bapak tu, katanya kita masuk minggu depan aja, ya. Bapaknya sekarang engga di kampus dan sedang di luar kota.”

“Ohh, gitu.”

Fatih masih fokus melihat Salsa dan teman-temannya yang berjalan mendekat ke arah ruangan admin prodi. Tanpa sengaja, keduanya saling melihat, Fatih tersenyum, begitu juga Salsa yang dilihat Fatih sedang tersenyum malu. Seperti sedang mengode untuk bertemu, tapi Fatih tidak paham maksudnya.

“Dah lah. Sekarang, yok kita pergi sarapan dulu. Lapar nih!” ujar Rayen mengusap perutnya.
Yasmine, Hani, dan Udin menyetujui usulan Rayen. Tapi berbanding terbalik dengan Fatih, hati kecilnya ingin menemui Salsa sekarang ini. Namun, logikanya tak sejalan dengan hati kecilnya.

‘Jika aku menemui Salsa sekarang, ntar apa ya kata orang-orang ini, dan bagaimana pula dengan teman-temannya yang di sana?’ tanya Fatih dalam hati.

‘Dah lah!’ Akhirnya, Fatih memutuskan untuk mengikuti teman-temannya, meninggalkan Salsa yang jauh di sana. “Yok, Gaes!”

Salsa melihat Fatih yang menjauh, berjalan kembali menuju gedung belajar. Hmm … kenapa dia pergi, ya? Emang laki-laki tidak peka ketika wanita menginginkan kehadirannya, lirihnya dalam hati.

***

Pukul 10.20 WIB, jadwal kedua perkuliahan pagi ini, dengan mata kuliah Metodologi Studi Islam. Kata mahasiswa senior yang pernah belajar dengan dosen ini, orangnya killer, sangat hemat memberikan nilai dengan mahasiswanya, dan mahasiswa perempuan adalah fokusnya dalam mengajar. Mohammad Yunus namanya, seorang dosen tua yang sudah lama mengajar dan menjadi dosen di kampus ini. Pak Yunus—orang-orang biasa memanggilnya. Ruangan 102, adalah kelas yang menjadi favoritnya dalam mengajar, maklum, faktor umur dan kondisi badan yang sudah tua, tidak memungkinkan baginya untuk berjalan lebih jauh lagi untuk mengajar di ruangan lainnya. Ruangan 102 ini lebih dekat dengan pintu keluar gedung dan terletak di lantai pertama, leretan pertama pula.

Dosen itu telah duduk di singgasananya di depan kelas, seluruh meja kursi yang ada di ruangan ini telah dipernuhi oleh teman-teman baru Fatih. Hening dan tegang, ketika Pak Yunus tengah merapikan buku-buku dan tas yang ada di mejanya. Tidak ada yang berani bicara sekarang ini, sampai akhirnya—

“Dah masuk semuanya?” Pak Yunus memulai pembicaraan.

“Sepertinya sudah, Pak,” sahut Rayen yang duduk di meja kursi depan.

“Baiklah. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.”

“Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, Pak.” Semua mahasiswa menjawab serentak.

“Perkenalkan nama Bapak, Mohammad Yunus. Bapak sudah mengajar di kampus ini sejak tahun 1989. Termasuk salah seorang dosen senior di kampus ini. kalian dah lahir di tahun itu, heh?”

“Ada, Pak, Rayen tahun 1985, Pak.” Fatih menjawab—sedikit menahan tawa.

“Heh, kamu jangan bercanda ya saat saya serius mengajar di sini. Baiklah, untuk itu, silakan kalian perkenalkan diri kalian masing-masing. Berdiri langsung di tempat duduk kalian. Mulai dari kamu.” Pak Yunus menunjuk salah satu teman yang duduk di sudut kiri—laki-laki.

Fatih terdiam menelan ludah. Sedikit jengkel rasanya.

Setengah jam berlalu hanya untuk perkenalan diri sebelum belajar. Setelah teman yang duduk di belakang paling akhir memperkenalkan dirinya, Pak Yunus memulai perkuliahan. Mulai menjelaskan kontrak belajar dan materi yang akan dipelajari nanti. Di sela-sela Pak Yunus yang menjelaskan, Fatih menatap ke luar jendela, sekumpulan orang datang beramai-ramai memenuhi taman dan bangku taman. Bersorak-sorak seperti ingin menyuarakan sesuatu. Ada beberapa orang yang membawa bendera jurusannya masing-masing. Hal apakah yang akan terjadi?

.
.
.

Bersambung.

Sang PemimpinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang