Chapter 8

3 0 0
                                    

12 tahun yang lalu

Hari itu, terdengar suara bel angin yang dipasang di teras rumah nenekku. Hawanya memang panas disiang hari, tapi dengan adanya semilir angin yang ditandai dengan suara bel angin ini membuat siang hari ini terasa sangat sejuk. Apalagi rumah nenekku ini berada di dekat sawah, yang tidak terlalu jauh dari alun-alun kota. Rasanya liburan sekolah kali ini tidak akan membosankan. Aku akan menghabiskan liburan sekolahku di rumah nenek Irene yang bergaya arsitektur Belanda ini.

"Nenek, Jane datang."

Suasananya tampak sepi dari luar. Tampaknya nenek sedang tidak ada di rumah. Apa mungkin beliau sedang pergi keluar?

"Aduh, nenek kemana ya? Jangan-jangan masih bekerja di ruangannya. Sebentar ya, Jane. Ibu akan belakang dulu. Kamu tunggu di teras dulu ya."

"Baik, bu." Aku terpaksa menjaga barang bawaanku di teras depan rumah nenek. Sementara ibuku mencoba mengecek ke bagian belakang rumah. Sembari duduk di kursi teras, aku menikmati bunyi bel angin saat itu. Tiba-tiba saja terdengar bunyi pintu terbuka di depan teras.

"Kau ini benar-benar keras kepala!"

Muncul sosok seorang kakek-kakek dengan perawakan tegap, berpakaian jas safari berwarna khaki dengan bahan drill yang sangat bagus, dilengkapi dengan kerah Shanghai dan membawa tongkat sambil marah-marah. Kulit sawo matang dengan kumis yang tampak klimis melengkapi penampilannya tegap. Tampaknya untuk usianya jarang ada kakek-kakek berpenampilan seperti dia. Ia juga mengenakan kacamata yang sangat jarang aku lihat. Ia mengenakan sebelah kacamata. Seakan-akan dirinya seperti berada dari kalangan ternama.

Tanpa sadar mata kami berdua saling bertemu. Ada perasaan tertekan yang amat sangat. Seperti sebuah harimau atau macan yang mengincar mangsanya. Nampaknya orang inti bukan orang biasa. Ada hawa kedisiplinan yang sangat kuat terpancar dalam dirinya. Tatapan matanya yang tajam membuatku sedikit terkejut dengan kehadirannya.

"Permisi, (bahasa Belanda) Madame," sapa kakek itu dengan lembut. Wajahnya mendadak berubah menjadi ceria. Padahal belum ada semenit kami saling menatap. Ia menyapaku dengan gerakan tubuh yang sedikit menunduk seperti menyapa seorang putri bangsawan. Padahal aku hanyalah anak kecil.

"Ah..." Tanpa banyak perintah aku langsung menuduk membalas salam darinya. Tampaknya untuk sesaat aku terpesona dengannya. Kakek itu benar-benar hebat karena aku bisa merasakan dua kesan secara berurutan dalam waktu yang relatif singkat. Perasaan tercengkam dan ketakutan dihapus seketika dengan senyuman yang ramah dari wajahnya. Kakek itu melangkah kearah halaman pekarangan rumah nenek Irene. Sejenak ia memandang rumah ini dan memandang pohon besar yang ada dekat gerbang rumah. Tampaknya ia sedikit teringat kenangan yang lama. Tak sampai sekitar 10 menit, ia langsung berbalik meninggalkan rumah nenek Irene. Sosoknya pelahan menghilang dari pandanganku. Entah kenapa saat itu aku merasa kakek pelahan menghilang itu terlihat sedikit misterius. Apa mungkin nenekku mengenalnya ya? Kurasa kalau aku memiliki waktu luang aku akan menanyakan ke beliau secara langsung.

"Jane!"

"Ya?!" Aku terkaget dengan suara ibu yang membangunkan lamunanku.

"Kenapa bengong? Ayo masuk. Nenek ada di rumah."

"Baik bu."

Muncul Ibu Dede yang membantu mengurus rumah nenek Irene dari belakang rumah yang berlarian. Aku memanggilnya BuDe, singkatan dari Ibu Dede. Beliau adalah salah satu murid nenekku yang tidak menikah dan memutuskan untuk mengurus nenek Irene. Oya begitu-begitu nenekku juga seorang pengajar loh. Seperti yang pernah aku bilang kalau nenekku ini pernah mendapat pendidikan Barat. Hal itu ternyata membuka peluang untuk nenek sebagai pengajar. Bahkan dari cerita yang aku dengar dari ayahku, nenekku ini pernah mengajar siswa mancanegara. Sampai sekarang ini pun masih ada satu atau dua orang siswa mancanegara yang tinggal sementara di rumah nenek. Dapat dibayangkan bagaimana mereka bercakap-cakap dengan bahasa yang belum aku pahami saat ini.

Lintang KartikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang