Chapter 6

38 2 4
                                    

Kriiiiiinnnnggg!!!

Ah berisiknya.... Aku masih ingin tidur.

Dengan hawa yang masih diselimuti rasa kantuk yang luar biasa, aku berusaha meraba-raba jam weker di dekat tempat tidurku. Begitu aku mendapatnya, langsung aku matikan alarmnya dan langsung menarik selimut kembali. Aku masih mau menikmati udara dingin dari AC kamarku. Sayang 30 menit berlalu, begitu aku sedang mulai menuju alam mimpi, tiba-tiba saja bunyi alarm lain berbunyi. Kali ini dari handphone-ku. Aku mencoba melakukan hal yang sama seperti alarm wekerku. Rasanya kok, aneh? Kemana handphone-ku? Sembari mengingat-ngingat dan berusaha bangun serta membatalkan ke alam mimpi. Aku baru teringat kalau handphone-ku di-charge sebelum tidur di meja belajar. Terpaksa aku pun bangun dengan wajah yang kumal dan rambut yang acak-acakan.

"Ngantuknya."

Aku bangkit dari tidurku dan mengambil handphone-ku yang sedang di-charge dan mematikan alarm. Begitu aku melihat jam, tak mungkin aku tidur lagi. Aku lekas mengambil handuk dan bersiap-siap untuk mandi. Setelah selesai bersiap-siap, aku langsung ke lantai satu dan menuju dapur. Aku menemui secarik kertas di atas meja makan. Pesan dari orang tuaku ternyata. Ah... sudah aku duga mereka tidak akan pulang selama seminggu ini. Aku sudah terbiasa hidup tanpa mereka sih. Oleh karena pekerjaan orangtuaku sebagai pengacara dan pengusaha, membuat aku jarang bertemu dengan mereka. Aku sudah terbiasa akan hal ini. Bahkan tiga tahun yang lalu aku selalu menghadapi hari-hari seperti ini.

Jujur aku kesal dengan suasana seperti ini, karena situasi inilah yang membuatku berusaha mencari kesibukan lain seperti tiga tahun yang lalu. Akibatnya sejak peristiwa itu, orang tuaku menjadi lebih peduli padaku. Sayang itu tidak berlangsung lama. Orang tuaku sangat amat sibuk, waktu bersama pun hanya bisa dihitung dengan jari. Mereka tetap "menjaga" diriku dengan menempatkan penjaga yang tak terlihat. Aku tidak peduli dengan hal itu. Aku pun bisa menjaga diri sendiri.

Karena terlalu pagi bangunnya, aku mengambil beberapa bahan makanan yang ada di kulkas dan mencoba mengolahnya. Memotong sayuran, membuat telur mata sapi dan sosis goreng, dan memanggang roti untuk sarapan, serta menyiapkan segelas air jeruk dan air putih. Sembari memasak, aku berusaha menyalakan televisi yang dekat dengan meja makan. Aku mulai mencari-cari saluran berita. Siapa tahu ada petunjuk mengenai Robin. Ah... kalau mengingatnya lagi membuatku merasa ingin marah.

Aku menyalakan televisi untuk meramaikan suasana rumah. Terkadang sepi kalau hanya sendirian memasak. Akhirnya sarapan pagi pun siap. Hari ini aku akan sarapan ala London. Segera aku meluncur ke meja makan sambil membawa sarapanku, dan berusaha menganti-ganti saluran televisi. Tampaknya belum ada tanda-tanda kalau ada berita tentang Robin. Ah bukan... maksudku tentang pencurian di Bank BCA cabang Karang Anyar. Apa jangan-jangan Robin berbohong lagi? Tapi bagaimana kalau benar? Lagipula di surat sebelumnya ia sudah berjanji kalau tidak akan melibatkan masyarakat alias menimbulkan korban. Ya... aku harap ia dapat memegang janji.

Hanya suara televisi yang mengaum di ruangan ini. Tampak sepi. Aku menikmati sarapanku dengan perasaan yang sedikit hampa. Perasaan kesepian. Terkadang aku ingin sekali mengundang kak Andani untuk sarapan bareng. Rasanya tidak mungkin. Tadi saja begitu aku selesai mandi, aku mencoba mengintip rumahnya. Ternyata rumah kak Andani masih gelap dan tidak ada yang nyala. Kurasa dia sudah berangkat atau bahkan belum bangun malah, mengingat dia kerja di bagian pertunjukan. Apa aku telpon saja ya. Tidak! Tidak! Hal ini malah menganggu dirinya. Ah... kenapa aku jadi berpikir pesimis seperti ini sih? Ayolah, Jane! Ini masih pagi dan ini hari Senin! Awal hari yang harus dihadapin dengan semangat. Aku menepok kedua pipiku untuk menyadarkan diriku dan memberi semangat agar lebih baik lagi. Rasanya jadi lebih baik dibandingkan beberapa menit yang lalu.

Lintang KartikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang