Chapter 1

36 1 1
                                    

"Apa katanya?"

Kepala dengan rambut hitam mencuat ke segala arah itu berusaha mengintip layar ponsel yang kugenggam, beberapa helai rambutnya menyodok wajahku. Kudorong agar menyingkir.

"Baru transit di City Hall," jawabku kesal. Kuberikan ponselku padanya. Bibirnya langsung mengerucut, kurasa sama jeleknya dengan wajahku sekarang. Ah, siapa juga yang tidak kesal kalau disuruh menunggu tidak jelas begini?

"Hidih!" dia mencela. "Padahal mereka yang nyuruh ketemu di sini jam tiga."

"Yeah, menyebalkan," aku mengirimkan emotikon menjulurkan lidah dan wajah merengut marah sebagai balasan. Kane dan Janghyuk-Oppa baru masuk Kyunghee University musim semi lalu dan tinggal di asrama kampus. Memang jarak dari Hoegi, stasiun terdekat dari kampus mereka, ke Hongdae itu lebih jauh daripada jarak lokasi apartemen kami di daerah Dongbinggo-dong ke Hongdae, tapi kan mereka harusnya berangkat lebih awal kalau tahu jauh?

Kuhitung jarak yang mereka tempuh dalam hati. Masih ada lima stasiun lagi dari City Hall sampai Hongdae ditambah jalan kaki dari peron ke gerbang keluar. Paling cepat baru sepuluh menit Kane dan Janghyuk-Oppa sampai. Hari Minggu sore di awal liburan musim panas, stasiun Hongdae sudah mulai ramai. Area dekat pintu keluar ini sempit, tidak ada tempat untuk menunggu dengan tenang bila semakin penuh.

Belum lagi Wee yang selalu tidak betah berdiam diri lama-lama. Tuh kan. Sekarang saja dia sudah mulai kelayapan.

"Wee!" aku melangkah tergesa menyusul adikku—yang sebenarnya hanya berbeda usia dua bulan itu—sambil setengah berteriak memanggilnya. "Mau jalan duluan, nggak?"

Dia berputar arah dengan cepat sampai aku khawatir dia akan pusing. Matanya berbinar-binar seperti sepasang mata bayi tak berdosa. "Mampir Hong Cup, ya! Terus aku pingin beli roti telur juga. Sama—"

"Tadi bukannya kita sudah sarapan ya di rumah," gumamku, setengah menahan diri untuk tidak menggulirkan bola mata meski ini bukan kejadian baru. Eh, sebenarnya kalau diingat-ingat, Wee selalu yang jajan paling banyak setiap kami pergi bareng. Yang aku tidak habis pikir, badannya masih sekurus tiang listrik meski makannya bisa sampai tiga kali lipat porsiku. Kami tidak ada mirip-miripnya.

Yang mirip dari kami cuma warna kulit, selesai. Dia lebih jangkung dariku meski usia kami cuma terpaut dua bulan (hal kedua yang bikin aku kesal), hidung besar dan rahang panjang (aku tidak iri dengan hidungnya, tapi dagu Wee bagus) dan rambutnya lebih mirip sarang burung daripada rambut manusia (ini sih tidak iri sama sekali. Meski warna rambutku jelek sampai kucat biar mendingan, rambutku tidak sekasar Wee). Saat orang lain melihat kami jalan bergandengan begini, mungkin mereka akan menebak kami pasangan anak SMP sok gaul (karena ngomong pakai Bahasa Inggris) yang lagi kencan alih-alih adik kakak. Padahal secara hukum kami ini adik-kakak.

Kalau kau mengintip sertifikat keluarga kami, mungkin keningmu akan berkerut dan otakmu jumpalitan mendapati nama-nama aneh yang bikin lidah keseleo berjajar di sana. Ya bagaimana tidak aneh, Mum orang Belanda sementara Dad asli Thailand. Kakak sulung kami, Kane (yang sampai sekarang belum ada yang bisa dengan benar melafalkan namanya sampai dia minta dipanggil Kane saja), dicomot dari Ethiopia. Wee sendiri (demi segala yang dimuliakan, aku bersyukur orang Thai punya kebiasaan pakai nama panggilan yang hanya satu suku kata. Karena kebiasaan ini juga, Wee panggil aku Bee—biar praktis, katanya.) sama-sama berdarah Thai seperti Dad. Dia anak sahabat Dad yang kemudian diadopsi masuk keluarga kami setelah ayahnya meninggal. Lalu masih ada tiga orang adik kami yang juga berlainan satu sama lain dari ujung kepala hingga ujung kaki. Yang orang Korea tulen hanya aku sendiri. Kalau kau melihat kami sekeluarga jalan di tempat publik, pasti kau punya dorongan kuat untuk meneriakkan 'GOTTA CATCH 'EM ALL!' sambil melemparkan Pokeball.

Tapi tolong jangan tanya kemampuan bahasa Korea-ku. Kami sudah mau tiga tahun tinggal di Seoul, dan bahasa Korea-ku masih belum bagus juga. Habis di rumah kami memutuskan pakai bahasa Inggris saja biar tidak pusing. Belum lagi kami homeschool karena sejauh yang kuingat, pekerjaan Mum dan Dad membuat kami harus berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain. Tidak jarang dengan pemberitahuan mendadak (seperti waktu mereka mengumumkan kami akan pindah ke Pulau Rotuma dua minggu sebelum pindah, misalnya. Nggak, aku nggak bercanda. Tidak usah bersedih kalau tidak tahu Pulau Rotuma itu di mana. Andaikan kami tidak pindah ke sana, mungkin seumur hidup aku tidak bakal tahu juga). Tiga tahun belakangan menetap di Seoul adalah yang paling lama kami menetap di satu tempat.

"Bee, suit yuk!"

"Haaaahh?" aku membelalakkan mata. Tidak berniat memberi reaksi seheboh itu padahal. Wee hanya cengar cengir lebar memperlihatkan barisan giginya yang rapi.

"Yang menang boleh maju satu langkah. Yang belakangan sampai di gerobak Ahjusshi roti telur itu," dia menunjuk pada tenda penjual roti telur yang mangkal di cabang pertigaan gang sekitar lima ratus meter ke depan, "harus traktir!"

Oh iya. Satu perbedaan lagi: Wee ini tidak punya rasa malu.

"Ngapain? Kayak orang bego!" aku mendengus, tangannya kutarik agar kami terus berjalan. Trotoar ini ramai. Kalau jalan terlalu pelan di tengah, bisa-bisa kami menghalangi orang lain yang mau lewat. Bisa dibayangkan kalau kami main suit seperti yang diusulkan Wee?

"Alaah, pasti kau takut kalah. Iya kan iya kan?" matanya berkilat-kilat jahil dengan cengiran miring yang mengundang untuk dicabik-cabik. Sungguh personifikasi yang sempurna dari seorang Setan.

"Mana ada!" aku berkelit ketus. "Kau saja yang bego! Main kayak gitu nanti menghalangi jalan, kau ini!"

"Oh, ayolah!" Wee masih keras kepala. "Sekalian mengulur waktu sampai Kane dan Janghyuk-Hyung sampai, kan?"

Masuk akal, tapi memangnya tidak ada cara lain, apa? Mampir warung hotteok misalnya untuk nongkrong dan mengobrol. Meski dipikir-pikir lagi, harusnya yang mencetuskan ide barusan itu Wee yang perutnya tidak ada beda dengan lubang hitam.

"Pokoknya enggak ya enggak," aku mengetatkan genggaman tanganku, kini setengah menyeretnya untuk jalan lebih cepat di pinggir. Taman yang jadi tujuan kami mendadak saja terasa jadi berkali-kali lipat lebih jauh. Telinga Wee sepertinya sudah tertutup selaput tebal. Dia malah mengulang-ulang senandung seperti 'Bee takut kalah' dan 'Bee lemah' serta senandung lainnya yang sejenis. Siapa yang tidak jadi panas kalau begini?

"Aaah kau ini berisik sekali sih!" taruhan wajahku pasti sudah memerah sampai telinga. Mungkin sekarang orang-orang lewat yang memberi tatapan tajam dengan kening berkerut itu berpikir kami pasti pasangan cupu yang sedang bertengkar saat berkencan. Sama tidak enaknya dengan dikira membawa bayi besar norak. Kupikir dengan mengiyakan, Wee bakal berhenti teriak-teriak macam bocah lima tahun baru lihat komidi putar, tapi tidak. Sekarang dia malah jingkrak-jingkrak kesetanan. Ingatkan aku untuk bertanya pada Dad apakah tadi pagi dia menumpahkan setoples gula ke gelas susu Wee.

"Ayo mulai! Aku ngga akan kalah darimu. Suit!"

Kalau aku kalah, pokoknya Kane harus bertanggung jawab.

***

BRANDIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang