Chapter 2

13 0 0
                                    

Dari bangku semen di pinggir taman yang salah satunya sedang kami duduki, kami bisa melihat setengah bagian taman. Sisi yang memasang ayunan dan panjat-panjatan penuh dengan bocah lucu minta diculik (...creepy ya? Tapi kau harus mengakui. Anak-anak Korea itu tampangnya gembil-gembil imut bersinar dengan pipi tumpah minta digigit). Ada sekumpulan orang tua sedang senam di ujung barat. Kurasa grup kami pun sudah mulai dengan pemanasan dan gerakan dasar—dari sini terhalang jajaran semak, tidak kelihatan. Lalu kami malah nongkrong berdua sambil makan roti telur.

Ini hari apa? Kenapa seharian tidak ada satupun yang berjalan sesuai rencana? Dan kenapa juga aku mau-maunya terkecoh umpan Wee untuk ikut permainan bodohnya? Memang dia dari awal cuma mau cari-cari alibi saja biar tidak keluar uang untuk jajan, aku yakin itu.

"Sudah dong Bee. Kau jelek kalau manyun terus."

Dia pikir aku manyun gara-gara siapa coba? Kalau bukan karena belum apa-apa aku harus mengeluarkan dua belas ribu won ekstra untuk mentraktirnya (dua roti telur, sebotol air, Hong Cup ukuran kecil, dan setusuk gurita bakar), aku juga tidak akan pasang muka masam seperti ini. Aku buka mulut siap membalas—

"Yo! Seungae!"

—suara bas menggelegar yang bersikeras memanggil nama Korea-ku meski jelas-jelas aku tidak suka, punya siapa lagi kalau bukan punya Kane? Dua sosok sekontras siang dan malam melambai-lambai dari jalan yang mengarah ke tempat kami. Yang satu adalah kakakku, sementara yang satu lagi secara random berkenalan dengan keluarga kami yang baru pindahan dulu karena dia sedang main di apartemen temannya yang jadi tetangga kami. Coba tebak yang mana?

Yak benar sekali. Yang matanya sama sempit denganku dan dagunya sama bulat denganku itu bukan kakakku.

"Asyik banget kayaknya jalan-jalan santai kalian."

Aku tahu mencoba melotot dengan mata segaris begini yang ada malah terlihat konyol, jadi itu tak kulakukan. Aku hanya memberi mereka delikan paling kejam yang aku bisa sambil berkata sekalem mungkin dalam Bahasa Korea. Ini sih gampang. Seonsangnim selalu berkomentar kalau aku ngomong Bahasa Korea nadanya seperti orang marah-marah. Tambah lagi keuntungan orang-orang dengan muka asli jutek dan mata rubah sepertiku—tanpa mengerahkan terlalu banyak tenaga pun, mukaku sudah galak dari sananya.

Sedih sih kadang-kadang.

"Yee, ngambek. Kaliannya juga malah asik jajan," seperti biasa, Kane cengar cengir enteng, barisan giginya yang putih terlihat kontras dengan warna kulitnya. Bukannya minta maaf.

"Ya jelas Wee tenang-tenang saja. Dia kan jajan pakai uangku," belum, omelanku belum selesai. Jadi mungkin aku bakal ngomong dalam nada jutek begini terus sampai—entahlah, sampai uangku dikembalikan? Sampai aku ditraktir balik? Hanya Tuhan yang tahu.

"Cuma dua belas ribu won, Bee," Wee merajuk sambil sedikit meringis. Mungkin mataku sekarang betulan tampak galak. Aku hampir memaafkannya kalau saja detik berikutnya dia tidak balik menyibukkan diri melahap roti telur kedua. Iya, cuma dua belas ribu won. Tapi itu kan dari uang jajan bulananku. Musim panas ini banyak sekali festival dan battle yang ingin aku datangi. Semua itu butuh uang.

"Kau nggak kapok-kapok ya jajan pakai uang orang lain."

"Aduh! Sakit, Hyung!"

Derak nyaring suara buku jari bertemu dengan batok kepala, disusul erangan penuh protes dari Wee. Aku terharu. Janghyuk-Oppa membelaku, seperti biasa. Lama-lama jadi sering bikin aku berpikir kakakku yang sebenarnya ini siapa, kau tahu. Habis Kane mana pernah menunjukkan peran sebagai seorang kakak yang seharusnya? Ada juga dia kerja sama bareng Wee untuk merisakku.

"Sedih banget, Hyung sayangnya cuma sama Bee doang."

Coba, bagaimana orang bisa menganggapnya serius kalau dia mengeluh sambil mulutnya tanpa henti mengunyah? Giliran aku yang menjitaknya sekarang.

BRANDIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang