Chapter 8

3 0 0
                                    

Kang Ryeowo

[Hong Daehwan: Kau harus cek peserta nomor 445. Videonya sudah selesai di-upload di database.]

Kening pria paruh baya itu berkerut melihat isi chat yang masuk ke ponselnya. Mengecek setiap video peserta audisi adalah rutinitasnya setiap malam sejak audisi berlangsung dan Hong Daehwan, salah satu produsernya, tahu benar akan rutinitas itu. Kecuali ada sesuatu yang spesial dari audisi, Daehwan tidak perlu secara spesifik mengirimnya chat untuk menyuruhnya mengecek video seorang peserta.

[Kang Ryeowoo: Kenapa, dia anak tetanggamu?]

[Hong Daehwan: Lihat dulu saja. Video dan formulir pendaftarannya. Nanti aku mampir ke ruanganmu.]

Ryeowoo meletakkan ponselnya, menggelengkan kepala akan Daehwan yang selalu malas bicara panjang lebar di chat. Tangannya bergerak di atas mouse membuka folder audisi hari itu di database kantor. Benar saja, isi video dan formulir pendaftaran setiap peserta sudah diorganisir dengan rapi berdasarkan nomor peserta. Pria itu membuka folder bernomor 445, lalu memutar videonya terlebih dahulu.

Seorang remaja perempuan dengan tinggi rata-rata. Tidak tampak ada yang spesial dari gadis itu selain senyumnya yang tampak kaku. Hal yang wajar, hampir semua peserta menampakkan ekspresi gugup yang sama. Tak urung, Ryeowoo membiarkan videonya terus berputar.

Punggungnya yang hampir direbahkan menyentuh punggung kursi sontak tegak lagi begitu mendengar gadis itu menyebutkan nama dan usianya. Matanya agak membelalak, perhatiannya kini sepenuhnya terpusat pada video di layar komputer. Bahkan Ryeowoo sampai membesarkan volumenya.

Ketukan di pintu terdengar bersamaan ketika gadis itu menyelesaikan penampilannya.

"Masuk," Ryeowoo bersuara tanpa mengalihkan pandangan dari layar komputer. Tidak puas, dia memutar video itu sekali lagi.

Daehwan muncul di ambang pintu dengan dua gelas kertas berisi kopi panas di tangannya.

"Sudah lihat?" Ujarnya tanpa basa-basi.

Ryeowoo mengangguk samar, lalu mengedikkan kepala ke arah layar komputer, memberi isyarat pada si produser senior yang juga adalah koleganya sejak awal pembentukan perusahaan, untuk duduk di sebelahnya. Daehwan meletakkan kedua gelas kopi sebelum menarik kursi ke samping Ryeowoo.

"Maksudmu menyuruhku melihat video peserta ini adalah—"

'Selamat siang. Namaku Baek Seungae, enam belas tahun.'

Kata-katanya terputus oleh rekaman Seungae memperkenalkan dirinya. Daehwan mengangguk, sorot matanya amat serius.

"Pasti kau masih ingat nama anak-anak Seungjoo dan Jinae. Usianya juga pas," ujar Daehwan.

"Sudah lima belas tahun? Aku tidak sadar sudah selama itu," timpal Ryeowoo, matanya agak berkaca-kaca seperti mengingat sesuatu yang menyedihkan. Butuh waktu cukup lama untuk dirinya berdamai dengan duka yang amat dalam itu lima belas tahun lalu, dan kemunculan seorang peserta audisi bernama Baek Seungae mengusik lagi segalanya.

"Kau betulan yakin ini Seungae bayi yang dulu? Bukan Seungae yang lain?" Ryeowoo berkata kembali, seolah masih belum bisa mempercayai apa yang dia lihat.

"Bisa jadi, bisa jadi juga kebetulan saja. Kita kehilangan kabar tentang anak-anak Seungjoo dulu setelah pemakamannya, ingat? Lagipula coba kau lihat formulir aplikasinya," lanjut Daehwan.

Ryeowoo kini membuka file formulir pendaftaran peserta bernomor 445. Keningnya kembali berkerut membaca isi detail keluarga dengan nama-nama asing yang mengisi kolom nama orangtua. Jelas-jelas bukan Baek Seungjoo maupun Hwang Jinae.

"Mungkin nama orangtua angkatnya? Itu mungkin terjadi, kan? Lagipula penampilannya cukup bagus. Apa kita luluskan saja langsung bocah ini?"

"Whoa, tunggu dulu sebentar," Daehwan menahan. "Aku yakin yang punya nama Baek Seungae bukan hanya satu orang di negara ini. Bisa jadi hanya kebetulan. Jangan dulu bertindak gegabah sebelum kita mendapatkan kepastiannya."

"Tapi—"

"Ryeowoo-ah, aku mengerti perasaanmu. Bukan hanya kau yang menyesal tidak mengambil tindakan apa-apa dulu saat dua anak itu ditangani Dinas Sosial. Tapi itu sudah terjadi dan kita tidak bisa mengubah apa-apa lagi. Mau sampai kapan kau bawa rasa bersalahmu?"

Ryeowoo menghela napas panjang dan memijat pangkal hidungnya yang tiba-tiba saja terasa berat. Tak pernah sekalipun dia berhenti menyesal kenapa dulu dia tidak nekat mengajukan diri menjadi wali kedua anak sahabatnya tersebut. Baek Seungjoo, salah satu yang ikut mendirikan KRW Entertainment ini bersamanya dulu. Bersama mengucurkan keringat dan air mata demi menjaga keberlangsungan agensi dengan artis yang bisa dihitung jari sebelah. Melobi investor, rumah produksi, stasiun TV... mereka lakukan semuanya bersama tanpa mengeluh—Ryeowoo, Seungjoo, dan Daehwan. KRW tidak akan menjadi sebesar sekarang tanpa keberadaan Seungjoo. Dan apa yang dia lakukan ketika Seungjoo dan istrinya tewas dalam kecelakaan meninggalkan dua anak yang masih kecil?

"Seharusnya dulu kuambil alih saja hak asuh mereka," Ryeowoo berkata parau. Daehwan mengernyit.

"Stop. Jangan dimulai lagi. Kau masih muda dulu, kau sadar itu kan? Saban hari tidur di kantor, pacar saja tidak punya saking terlalu banyak bekerja. Dan kau berharap bisa mengurus seorang balita dan seorang bayi? Belum tentu juga mereka bisa tumbuh besar dengan baik kalau siklus hidupmu masih begitu dulu," Daehwan menyela, menepuk pundak kawan lamanya dengan penuh simpatik.

"Biarkan aku menyelidiki ini dulu, oke?" Daehwan melanjutkan. "Untuk memastikan apa benar dia anak dari Seungjoo. Untuk sementara proses saja audisinya seperti yang lain. Jangan bertindak gegabah. Nanti malah tambah skandal tidak perlu kalau langsung kau luluskan."

"Yeah, kau benar," Ryeowoo akhirnya mengangguk. "Meski terlepas dari itu, penampilannya cukup meyakinkan untuk bisa lolos ke tahap kedua. Akan kudiskusikan ini beserta juri yang lain. Kabari aku kalau kau menemukan informasi lainnya."

Lama setelah Daehwan pergi, Ryeowoo masih termenung di kursinya. Baek Seungjoo, salah satu produser yang memiliki andil besar dalam perusahaannya ketika mereka baru memulai dulu. Tak terkira betapa berat pukulan untuk dirinya, sebagai CEO dan juga sebagai teman, ketika Seungjoo dinyatakan meninggal setelah kecelakaan naas tersebut. Ryeowoo terlalu larut dalam kesedihan juga tumpukan hal yang harus dibereskan di perusahaan sepeninggal Seungjoo sehingga terlalu abai mengenai nasib kedua anak Seungjoo yang masih kecil.

Pandangannya kembali pada layar komputer di mana video audisi Seungae tengah dihentikan di tengah-tengah. Matanya menelisik perawakan gadis itu. Semakin dia menelaah, semakin dia merasa gadis kecil itu memiliki mata yang sama dengan mata Seungjoo. Lalu bibirnya, bukankah itu bibir Jinae?

Tanpa sadar sebuah senyum samar merekah di bibirnya.

"Selamat datang kembali, Seungae."

BRANDIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang