Chapter 4

5 0 0
                                    

"Jadi tadi kalian jajan berapa banyak?"

Aku menganga terkejut. Mum menyerang kami begitu membukakan pintu tanpa ba-bi-bu, otakku mendadak kosong gelagapan. Kane, Wee, dan aku serentak berbicara beda-beda.

"Nggak jajan kok—"

"Tadi ngobrol-ngobrol dulu—"

"Cuma tteokbokki satu porsi—"

"YA!"

Beruntun jitakanku dan Kane menghujani kepala Wee, mengumpat tentang dia yang sangat tidak bisa membaca situasi lalu saling menyalahkan. Padahal yang tadi makan paling banyak siapa, coba? Wanita berambut pirang digelung itu geleng-geleng kepala.

"Jangan bertengkar. Baju kalian bau masakan semua, Wee tidak keceplosan pun aku sudah tahu kalian dari mana," gumamannya masih terdengar jelas seiring Mum melangkah kembali ke dapur. Refleks kami saling mengendus satu sama lain. Tercium sangaaaattt samar, tidak ada di antara kami yang menyadarinya. Tapi ini bukan kali pertama Mum membuktikan penciumannya yang dahsyat.

"Kok Mum bisa tahu, sih? Aku saja nggak mencium apa-apa!" Wee masih keras kepala protes ketika masuk. Mum sepertinya meneriakkan sesuatu dari dapur, tapi aku tak bisa mendengarnya di antara celotehan Adelaide (adikku yang kedua terakhir yang kami panggil Addy) tentang kenapa kami jajan sendiri tanpa membelikan sesuatu untuknya dan Fifi (Nama aslinya Fitrani Pertiwi, dan karena kami semua juga susah menyebutkan nama aslinya dengan benar, jadilah kami sepakat memanggilnya Fifi) yang mengompori di samping sementara Janghyuk-Oppa malah ketawa-ketawa tanpa membantu apapun. Aku pusing.

"Kane, kapan kau dan Janghyuk kembali ke asrama?" Mum berseru, kepalanya menyembul dari ambang pintu dapur dengan helai pirang anak-anak rambut yang meloloskan diri dari ikatan.

"Besok, Mum."

"Besok?" Mum mengerutkan kening. "Kalian sudah libur, kan?"

"Yeah, tapi ada beberapa hal yang kami ikuti. Kami harus jadi pendamping mahasiswa asing peserta camp musim panas. Janghyuk juga sedang menunggu hasil aplikasi kerja sambilan di kantor administrasi asrama."

"Kau tidak kerja di supermarket kampus lagi?"

"Masih," Janghyuk-Oppa menjawab. "Tapi di kantor administrasi asrama kerjanya lebih enak. Gajinya lebih besar juga. Makanya ikut daftar. Lumayan," dia mengangkat bahu.

"Jadi malam ini kau tidur di sini?"

Janghyuk-Oppa menggeleng. "Di tempat Minwoo," ujarnya, menyebutkan nama tetangga sebelah kami. Mereka satu sekolah waktu SMA dulu.

Janghyuk-Oppa juga yatim piatu seperti kami anak-anak angkat Katja dan Sam Virakraiseng (...lama-lama rasanya seperti Mum dan Dad keliling dunia buat mengoleksi anak yatim begini) (ya ampun) (ini creepy sekali). Panti asuhan tempatnya tinggal dulu penuh sekali, katanya. Dan seringkali kehabisan uang. Beruntung dia dapat beasiswa di SMA berasrama di Seoul setelah lulus SMP. Nilainya selalu jadi yang tertinggi demi mempertahankan beasiswa yang dia dapat sampai lulus, sampai Minwoo-Oppa sering minta diajari sepulang sekolah di rumahnya. 

Di salah satu hari itu, kami yang baru tiba untuk pindahan berisik gedubrakan di tangga. Pasangan suami istri berbeda ras seperti Mum dan Dad, ditambah lagi enam anak yang semuanya punya warna kulit dan ciri fisik berbeda satu sama lain, mana pernah sih tidak menarik perhatian. Segera saja Janghyuk-Oppa jadi semacam family tour guide tidak resmi—dengan bahasa gado-gado, tentu saja. Bahasa Inggrisnya dulu masih super jongkok. Bahasa Korea kami juga tidak ada yang bagus, sih, dulu.

"Oh iya. Sam ada jadwal seminar di Busan seminggu lagi. Katanya mau sekalian ajak liburan, tapi kalau kalian berdua sibuk di kampus—"

"IKUT!"

BRANDIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang