Chapter 5

3 0 0
                                    

"Kenapa nggak ke kedai patbingsoo Geumja-ahjumma saja, sih? Gerah, nih," aku menyebutkan nama pemilik kedai kecil di pinggir jalan sekitar tiga ratus meter dari komplek apartemen kami. Patbingsoo-nya enak. Janghyuk-Oppa mengajak kami jajan di situ di malam pertama kami di Seoul, dan sampai sekarang selalu jadi langganan kami. Kane mengangkat alisnya, seolah tak percaya.

"Kau bercanda? Tempat itu kan penuh terus kalau panas kayak gini," dia mendengus. "Beli es krim saja di minimarket."

Aku cemberut. Harap catat: Musim panas di Seoul, malam hari pun terasa panas. Aku hanya pakai kaus tipis tanpa lengan begini saja masih merasa kegerahan. Kane ngajak nongkrongnya di taman di tepi Sungai Han, pula. Jaraknya mungkin ada sekitar satu kilometer. Bikin makin panas saja jalan kaki sejauh itu.

"Memangnya taman nggak penuh juga? Cuaca kayak gini yang jalan-jalan juga banyak."

"Sungai Han itu panjang, Seungae," lagi-lagi, Kane menjawab seperti tengah menerangkan bahwa api itu panas untuk yang keseribu lima ratus tujuh puluh dua kalinya ke anak TK. "Penuh di satu tempat bisa pindah cari spot lain."

Agak horor juga membayangkan skenario terburuk menyusuri Sungai Han hingga menemukan tempat yang nyaman untuk ditongkrongi. Bagaimana kalau kami benar-benar harus menyusuri dari ujung ke ujung—nggak. Ya ampun Brandie kau kok bego banget. Satu Korea harus tumpah semua ke area sungai buat bikin tepian itu penuh sesak dari ujung ke ujung.

"Pertunjukan kembang api kan masih akhir bulan nanti."

"Kau pikir aku sepikun itu sampai lupa?"

Kadang-kadang aku pingin mencuci mulut Kane pakai sabun sampai bersih. Pakai pemutih sekalian.

"Terus ngapain kau ngajak aku ke sana sekarang?"

"Pingin aja."

"Jangan bohong," mataku menyipit—nggak kelihatan juga sih bedanya, mataku kan sudah segaris dari sananya. Tapi mengerti lah maksudku apa.

"Benar-benar, kau ini," dia geleng-geleng kepala. Kalau tangannya tidak penuh memegang es krim dan kantung plastik berisi botol minuman dingin di tangan lain, mungkin dia sudah menjitakku habis-habisan. "Kayaknya waktu Tuhan menciptakanmu, Dia kesandung atau apa sampai menumpahkan sekaleng besar rasa kepenasaran di adonanmu."

"Ha." Kutonjok lengan atasnya. "Daripada kau. Jatah jahil dan sombong satu planet tumpah ke adonanmu semua."

Dia terkekeh. "Aku nggak sombong, Seungae," menurutmu, kalau ada orang yang berkata dia tidak sombong tapi dengan nada seolah dia tahu seluruh rahasia alam semesta ditambah bonus seringai yang seperti berkata 'I'm your God' atau sesuatu seperti itu, mana yang lebih kau percaya? "Aku cuma menyatakan fakta."

Tuh, kan. Apa namanya kalau bukan sombong. Membalasnya lagi cuma membuang energi dan bikin makin panas di malam yang lembab dan panas ini. Belum lagi bangku tempat kami biasa nongkrong sudah ditempati dua orang yang—kayaknya—sedang pacaran (pacaran atau berantem, sih? Euuhh. Jauh-jauh deh). Taksi air membelah permukaan sungai yang berkilauan memantulkan cahaya lampu dari seisi kota ketika lewat, deru mesinnya menggema di sela-sela riuh lalu lintas. Kami menyusuri tepian sungai sampai ke area taman di bawah jembatan. Ada bangku kosong di samping petak bunga.

"Jadi kau mau ngomong tentang apa?" meski aku berhenti mengoreknya sepanjang perjalanan tadi, rasa penasaranku belum hilang. Untuk apa Kane sengaja membawaku jauh-jauh nongkrong di sini kalau yang dibicarakan bukan sesuatu yang penting? Atau, yah, sesuatu yang mungkin tidak boleh diketahui oleh siapa-siapa lagi. Awas saja kalau tidak penting.

"Kau betulan mau ikut audisi, nih?"

Aku menganga tak percaya. Jadi ini 'hal serius' yang mau dibicarakan?

BRANDIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang