Chapter 7

2 0 0
                                    

BUSET. PENUH. BANGET.

Pernah merasa langsung sesak napas begitu melihat lautan manusia? Belum? Sini sini, kau harus lihat sepenuh apa tempat ini. Padahal aku tidak claustrophobic. Padahal audisinya diadakan di sebuah gedung pertunjukan umum yang lumayan besar. Lalu dibagi-bagi jadi tiga hari, pula. Tetap saja—kayaknya ada puluhan ribu orang di sini (tolong jangan tanya jumlah tepatnya. Baru menghitung sepuluh kepala, mataku sudah berkunang-kunang). Audisi tahunan memang beda, ya. Kayaknya satu negara tumpah ruah semua di sini.

Oke itu perumpamaan yang agak berlebihan. Bukan secara literal, duh, tentu saja. Maksudku—KENAPA YANG MAU AUDISI BANYAK BANGET?! Sebanyak itukah orang-orang yang bermimpi ingin menjadi idol atau musisi atau aktris atau—entahlah, selebritis dan sejenisnya?

"Grogi, Seungae?"

Ya-me-nu-rut-mu.

"...Euh, banyak banget yang ikutan." Suaraku tidak gemetaran, kan? Tidak? Oke, bagus.

"Iyalah. Kalau cuma kau seorang bukan audisi namanya."

Ya-me-nu-rut-mu part [2]. Aku menggulirkan bola mata dengan malas. Aku tahu Kane berkata semaunya begitu karena dia berusaha mengalihkan perhatianku biar aku tidak grogi. Setengah senang setengah kesal sih, apalagi mengingat definisi Kane dari 'ngobrol santai' adalah mengerjaiku.

Kau tahu, saat seperti ini yang membuatku takjub adalah betapa beragamnya cara yang digunakan manusia untuk mengatasi kegugupan mereka. Coba, berapa banyak ini yang bergumam-gumam sendiri? Mungkin sedang menghapalkan lirik lagu yang akan dibawakan. Mungkin juga sedang berdoa, entahlah. Aku sendiri tidak merasa kalau memanfaatkan detik-detik terakhir untuk mengulang-ulang lagi lirik lagu atau gerakan tertentu itu berguna. Eh, mungkin berguna sih untuk membuat orang lain yang melihat jadi tambah gugup dan tegang.

Sial. Kalau iya itu tujuannya, rasanya kok brengsek.

"Kayaknya banyak yang mikir kau ke sini untuk ikut audisi, deh," aku berbisik pada Kane. Sejak kami datang, ketika registrasi ulang dan mengambil nomor antrian, bahkan hingga sekarang, entah berapa banyak pasang mata yang diam-diam melirik Kane. Yah, tidak heran juga, sih. Sosok jangkung kulit hitam yang menjulang di antara kepala-kepala berkulit pucat itu memang sangat mencolok.

Kane terkekeh. "Bagus, dong. Biar mereka makin gugup." Matanya berkilat-kilat jahil seperti biasa. Aku mendengus. Yaa, bukan Kane namanya kalau tidak sepercaya diri itu, benar?

"Nih, coba kau pakai nomor punyaku biar makin meyakinkan," aku ikutan mengikik geli, menyodorkan kartu nomor yang sebelumnya terpasang di dadaku. Selalu ada cara untuk membuat orang lain makin gugup, yeah? Aku tidak ikut-ikutan komat-kamit macam orang sedang sembahyang, bukan berarti aku tidak bisa ikutan juga—tapi murah sekali sih memang menggunakan Kane untuk menghancurkan dinding kepercayaan diri peserta lain. Ah peduli setan, habis aku super bosan menunggu lama giliran lama sekali dari tadi. Mana giliranku masih sekitar dua ratus lima puluh nomor lagi, pula.

"Menurutmu apakah kakakku ada di antara orang-orang ini?"

Belakangan pikiran itu selalu lewat, kau tahu. Setiap kali melihat pemuda sekitar usia delapan belas di jalan, atau di manapun, aku selalu bertanya-tanya apakah mereka kakakku. Yah, meski aku sadar kebetulan sebagus itu cuma ada di drama, tetap saja aku tak bisa berhenti bertanya-tanya. Apa kakakku punya mata yang sama denganku? Atau hidung dan bibir yang sama denganku? Tapi semakin diperhatikan lagi, fitur wajah orang Korea kok ya mirip semua. Aku sampai tidak bisa memutuskan mana yang mirip karena memang saudara sedarah, mana yang mirip karena mereka sama-sama orang Korea. Apalagi yang pernah mampir dari klinik kecantikan... wah sudah deh. Cetakannya sama semua.

BRANDIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang