Chapter 9

4 0 0
                                    

Terdengar suara decit kursi yang bergeser entah untuk keberapa kalinya, disusul suara bosan Wee yang bergumam, "Ada yang mau minum gak? Aku haus."

Aku hanya memberinya sebuah delikan tajam. Sudah tak terhitung berapa kali banyaknya Wee bolak balik ke dapur sejak tadi Mum pamit pergi dan ini baru satu jam sejak sesi belajar kami dimulai. Pantat Wee kayak sedang duduk di atas bara api. Nggak bisa diam.

"Nggak ada? Oke," tanpa menunggu jawaban, Wee memburu pintu. Rambutnya yang kasar berantakan tampak semakin berantakan karena dia acak-acak terus sepanjang waktu belajar. Kalau bukan mengacak-acak rambut, dia menggoyangkan kakinya atau mencetuk bolpoin berkali-kali sampai Fifi mencubit pinggangnya saking dia kesal.

Ketika Wee kembali dengan botol air dingin di tangan dan pintu dibuka dengan berisik, Fifi berdecak.

"Kau bisa pelan-pelan gak sih masuknya?"

Kedengarannya mustahil, namun Jay dan Addy terlihat seperti tengah mengerutkan postur tubuh mereka sendiri tepat ketika Fifi mengomel. Sebenarnya, aku sendiri refleks menaikkan buku catatanku sampai menghalangi wajah. Fifi jarang mengomel, tapi sekalinya dia mengomel, wah. Bahkan Kane saja bisa diam mengatupkan mulutnya rapat-rapat seperti kerang kalau sedang diomeli Fifi. Jelas tidak ada yang ingin kecipratan omelannya di pagi hari yang panas ini.

"Itu pelan deh perasaan," kening Wee mengernyit. Dalam hati aku berdecak kagum. Seliar apapun, setidaknya Kane masih punya akal sehat untuk mengunci mulut kalau Fifi sudah mulai mengomel. Sementara Wee? Entah dia merasa punya stok cadangan banyak nyawa, atau kepekaannya hanya sebanyak ujung sendok teh, dia mengabaikan Fifi dan duduk di kursinya dengan santai.

"Pelan apaan?!" Suara Fifi mulai naik. Dia berdiri dari kursinya dan berkacak pinggang dengan mata bulatnya melotot pada Wee. Perlahan, perlahan sekali, Jay yang duduk di sebelahnya menggeser kursi menjauhi Fifi. Kami bertiga berakhir berkerumun di ujung meja terjauh.

"Kau ini ya," Fifi melanjutkan omelannya sementara kami menonton dari jarak aman, "Mentang-mentang Mum tidak di rumah. Dari tadi tidak bisa diam sama sekali! Bolak balik terus, kau pikir yang ada di ruangan ini cuma kau seorang? Bikin pusing, tahu! Coba mana dari tadi kau sudah selesai mengerjakan apa saja!"

Saat Fifi sedang mengomel begini, sama sekali tidak terasa kalau dia anak kelas 6 SD yang sedang mengomeli anak kelas 3 SMP tentang pekerjaan rumahnya. Jakun Wee bergerak saat dia menelan ludah gugup, akhirnya menyadari kalau situasinya memang seserius itu. Kepalanya menunduk, tidak berani membantah apa-apa ketika Fifi memeriksa buku catatannya. Addy mengikik dalam diam, mulutnya bergerak mengatakan 'mampus' tanpa suara.

"Tuh, kan. Soal-soalnya belum ada yang dijawab! Bagaimana sih kau ini!"

"Fi, kan tadi aku lapar..."

"Kau sudah sarapan tadi pagi!"

"...Terus haus..."

"Vittaya Sathisongkram!"

"Iya ampun ampun!"

Aku dan Jay ikutan mengikik tanpa suara bersama Addy. Wajah Wee terlihat memelas sekali, berkali-kali melemparkan pandangan minta tolong pada kami yang sayangnya pura-pura kami abaikan. Hei, tidak ada satupun dari kami yang ingin terciprat diomeli Fifi, oke?

"Aku jadi kangen Kane, deh," Wee menggelosor di tempat duduknya setelah Fifi mengomelinya selama kurang lebih sepuluh menit dan baru selesai ketika Wee berjanji tidak akan keluar masuk lagi setelah mengerjakan setidaknya setengah dari soal-soal yang harus dia kerjakan. Kepalanya terbaring di atas meja dengan ekspresi wajah mengenaskan.

"Setidaknya kalau ada Kane, yang diomeli Fifi bukan cuma aku," begitu dia menambahkan. Aku menggulirkan bola mata, bergumam pelan, "Makin berisik yang ada."

BRANDIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang