Chapter 12

5 0 0
                                    

Aku terus berlari sampai kakiku terasa lemas dan dadaku rasanya mau meledak. Paru-paruku protes, aku terengah-engah di pinggir jalan. Mataku menyisiri sekelilingku. Tadi aku berlari tanpa mengindahkan arah mau berlari ke mana, dan baru sadar aku melewati jalan lain yang jarang kulewati. Ketika rasanya paru-paruku agak berdamai sedikit, kakiku meneruskan langkah menuju tepian sungai Han tak seberapa jauh dari sana.

Setelah keringatku kering, barulah aku merasakan seberapa dingin malam ini. Apalagi anginnya bertiup lumayan kencang. Bulu kudukku merinding, menyesal tadi keluar begitu saja tanpa jaket. Namun, kepalaku masih terlalu penuh dan emosiku masih menggelegak untuk pulang sekarang.

"Brandie!"

Sebuah suara yang tak asing terdengar memanggilku. Aku menoleh. Kane terengah-engah menyusul.

Aku membiarkannya datang mendekat, duduk di bangku semen di tepian sungai menunggunya.

"Thanks," aku bergumam pelan saat Kane mengangsurkan jaketku, lalu memakainya. Kane duduk di sebelahku, mengeluarkan isi kantung plastik yang dia bawa. Ada chestnut bakar yang masih mengepulkan uap dan beberapa botol minuman. Rupanya sambil menyusulku Kane mampir jajan dulu beli camilan. Aku mengambil satu butir chestnut, menggerigitinya pelan-pelan.

"Ada apa?"

Aku tak langsung menjawab. Ya, kenapa tadi aku sangat marah mendengar Wee ingin bersekolah sampai kabur dari rumah? Kembali ingatanku melayang pada bagaimana Wee bersikap belakangan ini.

"Aku sebal sama Wee," ujarku, masih dengan amarah yang menggebu-gebu. "Belakangan dia aneh. Makin jarang ngobrol sama aku. Tiba-tiba diam, atau main sendiri keluar gak ajak-ajak aku. Kalau kutanya dia cuma cengar cengir sendiri lalu mengalihkan dengan ngomongin hal lain. Lalu barusan—" tenggorokanku tercekat, seolah ada sesuatu yang menghalangi suaraku untuk berbicara normal. Air mataku jatuh satu demi satu.

"Barusan—dia bilang sama Dad ingin masuk sekolah umum. Nanti aku belajar sama siapa kalau dia masuk sekolah?" aku melanjutkan dengan suara bergetar di sela-sela sedu sedanku.

Aku bisa mendengar Kane menghela napas panjang. Kupikir dia akan membaweliku macam-macam atau setidaknya menjitak kepalaku, tapi dia malah merangkul kepalaku ke pundaknya, lalu mengelus-elus rambutku dengan lembut.

"Urusan beginian kau ini memang tidak peka, ya," celetuknya pelan, membuatku sontak kembali terbangun dari pelukannya dan menonjok bahunya pelan, tidak terima.

"Apa sih? Memang kenapa?!"

"Wee takut kehilanganmu, tahu? Nanti kau bakal tinggal di asrama trainee KRW kalau kau lolos semua tahapan audisi. Kalian kan ke mana-mana selalu berdua seperti anak kembar, nanti dia belajar sama siapa kalau kau di asrama trainee? Makanya dia minta masuk sekolah biar tidak kesepian," Entah Kane sedang dirasuki siapa, kali ini dia menjelaskan panjang lebar dengan sangat sabar. Sama sekali tidak terasa seperti Kane yang biasanya.

Rahangku menganga.

Sama sekali tidak terlintas di pikiranku kalau itu penyebabnya. Habis, Wee duluan yang hilang-hilangan, kok bisa penyebabnya dia takut kehilangan aku?

"Tapi kan dia duluan yang pergi-pergian sendiri tanpa ajak aku!"

"Itu dia sedang menyiapkan diri untuk hidup tanpa kau nanti, Brandie."

Oke, Kane memanggilku Brandie dari tadi. Berarti ini pembicaraan serius, bukan Kane sedang menjahiliku atau apa.

"Terus kalau begitu kenapa dia nggak bilang saja sebenarnya dia kenapa?" aku masih menuntut penjelasan. Otakku rasanya susah menerima penjelasan yang tampak bertolak belakang dengan tingkahnya Wee.

BRANDIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang