Prolog Dejavu

10 4 0
                                    

Gesekan besi rel kereta yang melindas roda baja kereta api membahana di tengah hiruk pikuk orang-orang di Stasiun Tugu Yogyakarta. Napas Dian tersengal-sengal. Ia berlari menerobos kerumunan massa untuk mengejar jam keberangkatan kereta, hingga kerudungnya tersibak angin.

"Kak, bisa minta tolong carikan teman saya? Saya terpisah dengan teman, tadi saat saya di parkiran stasiun," ucap Dian tersengal-sengal kepada wanita di meja petugas bagian informasi stasiun.

"Bisa. Saya bantu ya ... dengan menginformasikan menggunakan pengeras suara. Namanya yang dicari?" tanya wanita cantik berparas oriental dengan senyuman terpahat di bibir.

"Dyan ...," ucap Dian masih dengan napas tersengal-sengal.

"Lengkapnya?" tanya wanita berwajah oriental dengan menuliskan di selembar kertas.

"Dyan Pratama," ucap Dian sambil menyenderkan badannya ke meja petugas. Napasnya kini sudah mulai stabil.

"Nama yang mencari?" tanya petugas.

"Dian Pratami," ucap Dian sambil menarik napas dalam-dalam sambil berdoa di hati, penuh harap.

Ekor mata petugas melirik ke arah Dian. Jidatnya mengernyit.

"Pasti dikira kembar ...," batin Dian.

"Saudaranya?" petugas bertanya.

Dian mengangguk saja. Ia tak lagi sanggup berkata-kata. Lelah merayapi tubuhnya. Keringat di pelipisnya menetes berkali-kali.

Beberapa detik kemudian, petugas mengangkat pengeras suara. Seketika membahana suaranya berkali-kali.

"Mohon perhatian! Panggilan untuk saudara Dyan Pratama dicari oleh saudarinya Dian Pratami di depan meja petugas informasi."

Decit suara gerbong kereta api berkali-kali terdengar mengusik hati Dian. Apakah ini pertanda bahwa Dian tak akan bertemu lagi dengan Dyan, saudara kembar jadi-jadian-nya? Entahlah tiba-tiba bulir bening membasahi kelopak matanya. Ia terduduk di pinggiran tembok Stasiun Tugu.

Telponnya tiba-tiba berdering. Nama Dyan Pratama tertera di layar.

"Di ... aku sudah naik kereta. Kamu panggil-panggil aku ya pakai pengeras suara?" ucap suara Dyan diantara gemuruh decitan gerbong kereta.

"Ah ... iya ... Yan ...," ucap Dian dengan linangan air yang mengalir dari kelopak mata. Entah kenapa rasanya menyesakkan dada? Ia tak mampu menahan air itu terjun bebas begitu saja dari kelopak mata.

"Aku baru sadar, nama kita kayak saudara kembar ya?" Suara Dyan terbahak di telepon.

"Iya ... tadi juga dikira gitu," ucap Dian.

"Terima kasih ya ... tadi sudah nganterin aku. Maaf ... tadi enggak sempet pamit, keburu keretanya datang," Seperti biasa, Dyan mengetahui perasaan Dian yang sedih. Kedekatan emosional keduanya bak anak kembar. Bisa saling merasakan perasaan satu sama lain.

"Iya ...," Pipi Dian basah seketika dengan air yang terus menerus bercucuran dari kelopak mata.

"Aku tadinya pengen meluk kamu Di ... untuk terakhir kalinya ... hehehe. Kereta sudah datang, ya sudahlah ...!" Seperti biasa Dyan selalu tertawa.

"Ya ... baguslah! Syukurnya kereta segera datang. Kalau enggak ...," kata-kata Dian terputus.

"Kalau enggak apa?" Dyan dengan nada menggoda dan gelak tawanya mencoba menghibur Dian.

"A-a-ku enggak tahu ...." Dian terbata-bata.

"Terima kasih ya sudah ngajak aku ke kebun binatang Gembira Loka dan pantai Parangtritis!" Nada suara Dyan terdengar renyah. Mendengar itu, degup jantung Dian berdetak lebih cepat.

"Iya ...." Air mata Dian terus menerus bercucuran.

"Sampai ketemu lagi ya!" ucap Dyan riang.

"Aku ... enggak tahu ... kita ketemu lagi atau enggak ...," ucap Dian dengan air mata terus menerus bercucuran membasahi kerudungnya. Sesekali kerudungnya ia pakai untuk mengelap air mata karena malu menangis di tempat umum.

"Loh ...?! Kenapa?" Dyan terperanjat.

R. Fardhany

Majenang

2.49 WIB

Rabu, 02 Juni 2021

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 01, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Gara-gara NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang